klub-membaca-buku

Mengintip Kehidupan Para Anggota Klub Membaca

Mary Alice Monroe adalah seorang penggiat lingkungan hidup dan penulis lima belas novel. Salah satu novelnya The Book Club, yang ada di hadapan kita ini. Ia mengaku bahwa penulisan novel itu didasari pengalamannya ikut menjadi anggota banyak klub pencinta buku atau bisa juga kita istilahkan klub membaca, semacam kumpulan orang-orang yang mengaku gemar membaca buku. Sebut misalnya; Klub Membaca Rabu Malam, Klub Membaca Charleston, dan Klub Membaca Island. Meski ia menulis novel berdasar pada pengalaman pribadi, namun pembaca perlu menyadari bahwa novel ini tetaplah karya fiksi, bukan novel yang benar-benar realis sesuai dengan orang-orang dan alur kehidupan yang melingkupi dirinya. Bukan.

Sebab, ini telah ditandaskan Monroe, begini: “Dalam setiap klub, aku berbagi banyak cerita, baik fiksi maupun pribadi, yang tak satu pun tercantum dalam buku ini! Alih-alih cerita, yang kubagikan dan kucoba sampaikan dalam novel ini adalah rasa persaudaraan, persahabatan, dan dukungan yang ada dalam klub-klub membacaku.”

Pengakuannya membuat diri kita (pembaca) jadi tahu seketika, bahwa novel ini, tetap fiksi. Meskipun fiksi, kita juga tak segera melupakan apa yang disampaikan dalam novel ini, yakni rasa persaudaraan, persahabatan, dan dukungan dalam klub-klub membaca. Ini seperti telah terepresentasikan oleh lima tokoh wanita yang tergabung dalam suatu klub membaca di novelnya. Tokoh Eve Porter misalnya, merasa bahwa klub membaca adalah sebuah tempat perlindungan baginya ketika segala keamanan dan kenyamanan hidup yang telah direncanakannya direnggut karena suaminya mendadak meninggal. Atau bagi Annie Blake, tokoh cerita yang lain, seorang pengacara hebat yang berniat memiliki keluarga meski sudah terlambat, klub itu adalah kesempatan untuk menurunkan pertahanan dirinya, dan memimpikan banyak kemungkinan lain. Sementara bagi Doris Bridges, klub membaca merupakan penopang  saat dia menyadari pernikahannya sekarat dan memperoleh kebebasan yang sesungguhnya dalam pengkhianatan suaminya. Lain lagi bagi Gabriela Rivera, seorang istri, ibu, dan sahabat ‘sempurna’ yang menawarkan dukungan bagi semua orang tapi enggan meminta dukungan bagi dirinya sendiri, klub itu memberinya nuansa kekerabatan. Dan bagi Midge Kirsch, seorang seniman yang selalu menjalani hidup melawan arus, klub membaca itu bagai surga yang bersedia menerimanya apa adanya.

Dari kisah para anggota klub membaca dalam novel ini, kita dapat meneropong atau setidaknya merefleksi pada kehidupan di sekitar kita mengenai kebiasaan membaca, keberadaan klub membaca, dan juga kehidupan di luar budaya literasi. Apa manfaat dari bergabung dengan klub membaca, selain yang telah disebutkan Mary Alice Monroe melalui tokoh-tokoh dalam novelnya itu? Apa yang menjadikan budaya membaca dalam lingkungan kita tak sekental dan sekuat dengan budaya membaca di negara-negara maju? Atau, benarkah klub membaca ‘hanya’ semacam tempat pelarian dari persoalan lain, atau semacam topeng agar terlihat lebih cerdas dan berpendidikan meski membaca satu lembar bab sebuah novel pun tak pernah tuntas? Ini bila kita merasakan realitas sosialnya seperti itu.

Yang cukup menarik dari novel Alice Monroe ini barangkali, kemampuannya menulis dengan kedalaman emosional, dan narasi yang membuat kita harus melanjutkan membaca setiap babnya. Kelebihan ini juga yang mengajak kita untuk mengembara ke padang kata-kata dari kehidupan tokoh-tokoh yang tak lepas dari budaya membaca. Pengembaraan ini membuat kita sedikit demi sedikit cermat dalam membaca, menyerap, menangkap, hal-hal menarik, dan hal-hal apa yang membuat narasi novel atau kita sendiri untuk ‘bergerak’-hidup. Apakah ini dipengaruhi buku-buku, puisi-puisi, dan kutipan-kutipan yang dipilih untuk setiap bab oleh Monroe? Ataukah, ini dipengaruhi dengan tersematnya tiap-tiap kalimat filosofis, seperti “Didengarnya panggilan itu dalam hatinya, dalam jiwanya, dalam setiap unsur eksistensinya”; lalu, kalimat ini, “Begitu banyak wanita memberi, memberi, memberi hingga mereka tak punya apa pun yang tersisa. Lalu pada suatu hari mereka bangun, bercermin, dan tak bisa mengenali bayangan mereka sendiri?”

Banyak narasi-narasi atau hal-hal menarik lainnya untuk dibaca, diapresiasi, dikupas, tanpa melupakan perefleksian dari membaca. Lalu, setelah kita membaca novel ini, ada satu hal cukup penting untuk kita jawab selanjutnya yakni setelah membaca lalu “apa”, apakah kita masih punya ‘energi’ tersisa untuk mengerjakan lain-lainnya lagi?

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan