menjadi-pembaca-yang-baik

Menjadi Pembaca

Kemarin, di hari Senin (22/8/2016) aku ke Kendal. Aku diundang oleh teman-teman dari TIDAR (Tunas Indonesia Raya). Di perjalanan banyak yang kurasakan aneh, ada beraneka selebaran dan spanduk bertuliskan Kendal Kawasan Industri, … Kata selanjutnya tak mampu kuingat karena bahasa inggris, dan asing.

Orang-orang sekarang memang lagi kecanduan bahasa inggris. Aku hadir di sana dalam rangka mengisi pelatihan jurnalistik. Pelatihan bertema Jurnalistik itu Asyik. Di sana sudah hadir teman-teman anak-anak muda SMA/SMK se-Kendal. Ada perwakilan juga dari IPM,IPNU, kontributor Suara Muhammadiyah.

Di sana aku juga ketemua Riza, remaja yang lagi gandrung-gandrungnya menulis berita, menjadi jurnalis. Riza Fitroh Kurniasih pun didapuk menjadi pembicara setelahku. Acara dimulai jam 10.00 WIB. Aku pun mulai membagi pengalaman menulisku. Menulis itu berat, tapi sebelum menjadi penulis, lebih baik jadilah pembaca.

Jadi pembaca tak cukup, tanpa memiliki etos membaca. Dan setelah itu, barulah kita menulis, menuangkan apa yang menjadi hasil pembacaan kita. Orang-orang terlanjur menganggap jadi penulis itu enak, bergelimang harta, dan penggemar, ah.. kayaknya gak di negeri kita.

Aku mengutip kata-kata Seno Gumira Adjidarma, bahwa membaca di Indonesia masih sekadar untuk sesuatu. Untuk tugas sekolah, untuk tugas dari bu guru, sampai tugas kuliah. Membaca seperti inilah yang tak disertai etos membaca.

Ada pertanyaan yang sebenarnya menantang dan membuatku berfikir ulang. Ada anak SMK yang bertanya : Mas, mengapa setelah anda tahu tulisan anda belum tentu dibaca banyak orang, dan menulis itu tak begitu menguntungkan, anda masih menulis?.

Pertanyaan ini membuatku tercenung. Bisakah, atau akankah kita berhenti dalam usaha untuk menjaga keteguhan kita berliterasi sampai mati?.  Pertanyaan ini sempat diajukan oleh mas Bandung Mawardi kepada teman-teman di Bilik Literasi. Kenyataannya, sampai sekarang, setelah berkeluarga pun, aku mesti memaksakan diri untuk berliterasi.

Rasanya akan menyedihkan ketika usaha yang kita bangun dengan keteguhan, pengorbanan waktu, dan segalanya mesti dihentikan hanya karena kita menjadi guru, pejabat, dan lain sebagainya.

Setelah usai memberikan materi, aku pun membaca buku berjudul Be A Reader (2013). Buku garapan Antoni Ludfi Arifin memang mirip buku motivasi lainnya. Ia berbeda karena menceritakan tekad untuk hidup untuk membaca, hidup berliterasi.

Buku yang terdiri dari 8 tulisan ini memuat berbagai gagasan penulis dan pengisahan penulis tentang makna membaca. Menurutnya, membaca memang tak bisa tidak, harus dimunculkan sejak dini. Sebab, tanpa pembiasaan membaca sedari dini, akan sangat susah untuk mengajarkan kebiasaan membaca.

Sebagaimana ungkapan yang dikutip dari Jean Grambs  yang mengatakan : Kegemaran membaca tidaklah timbul begitu saja, ia adalah suatu kebiasaan yang harus terus ditumbuhkembangkan.

Pembiasaan membaca di sekolah-sekolah kita memang semakin lama semakin berkurang. Hal ini karena kurikulum kita memang telah menghilangkan materi dan pembiasaan membaca. Bila dulu kita mengenali buku bacaan untuk sekolah rakyat, buku bacaan anak, sampai buku bacaan remaja, kini buku-buku itu boleh dibilang semakin hilang. Buku cerita anak, buku bacaan anak, bahkan sampai remaja telah hilang di sekolah-sekolah kita. Yang ada buku-buku pelajaran yang ada bacaan anaknya.

Inilah problema yang ada dalam hal persoalan membaca di negara kita. Orang ketika sudah menjadi direktur, atau apapun itu cenderung meninggalkan membaca. Hal ini sama dengan yang dialami oleh Ludfi Arifin.

Ia pun sempat berhenti menulis, dan baru memiliki gairah menulis dan membaca setelah ia bekerja. Di saat ia bekerja itulah, ia merasakan manfaat membaca. Buku-buku yang dibaca pun berubah. Ia pun mesti membaca buku-buku dari Rhenald Kasali, Hermawan Kerjatajaya, sampai dengan buku-buku yang berhubungan dengan kerja.

Inilah yang membuat penulis memotivasi untuk menulis buku dan berliterasi. Pengalaman-pengalaman membacanya pun bisa kita lihat di buku berikut. Meskipun diformat dengan bahasa naratif, buku ini bukanlah buku tips menulis atau menjadi penulis.

Buku ini menganjurkan kita menjadikan membaca sebagai etos dan cara kita mengurusi hidup. Akhirnya literasi, membaca, menulis dan menerbitkan buku adalah upaya yang diyakini bukan hanya mengikat makna, tetapi juga bisa membagikan sesuatu kepada orang lain.

Bila etos membaca tak melekat dalam hidup kita, tentu saja hidup kita menjadi terasa kering. Ada yang hilang ketika kita mesti merelakan hilangnya aktifitas berliterasi dalam kehidupan kita, itulah yang dirasakan oleh penulis buku ini. Apakah perasaan serupa juga hinggap dalam benak tuan dan puan saat kehilangan momen berliterasi?. Tentu saja tuan dan puan sendiri yang mampu menjawabnya.

*) tuan rumah pondok Filsafat Solo

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan