berani-menumbuhkan-keberanian

Menjadi Penulis Bernyali

“Seberapa keji dan sakit kau ditindas, menulislah dengan berani. Sebab ketakutan itu sendiri sudah merupakan penyakit.” Saya membaca kutipan ini dihalaman akun media sosial saya. Di bawah kutipan, dicantumkan nama Promedya Ananta Toer. Saya tak bisa memastikan sumber kutipan itu, tapi yang pasti, kutipan ini berkesan bagi saya.

Ada film yang menarik tentang kisah keberanian seorang penulis berjudul “Hannah Arendt”. Film yang disutradarai Margarethe von Trotta ini berkisah tentang seorang filsuf perempuan berkebangsaan Yahudi bernama sama dengan judul film ini, Hannah Arendt.

Hannah salah satu dari sekian banyak orang Yahudi yang lolos dari kekejaman Hitler. Sejarah pembantaian orang Yahudi adalah sejarah tragedi kemanusiaan. Sama seperti Yahudi yang lain, pengalaman itu merupakan sejarah kelam yang menggoreskan luka mendalam dalam perjalanan hidup Hannah. Kemarahan, kebencian, dan mungkin juga dendam bercampur dalam diri Hannah dan orang Yahudi yang lain.

Kontroversi terjadi ketika Hannah meliput pengadilan Adolf Eichmaan di Jerusalem. Eichman adalah orang penting di kesatuan tentara Hitler yang diduga bertanggung jawab atas pembunuhan 4-6 juta orang Yahudi pada peristiwa hollocaust. Banyak orang menduga, Hannah, penulis dan filsuf besar di zaman itu, akan mengutuk dan mencaci maki habis Eichmann dalam ulasan yang akan dikirimkannya ke majalah The New Yorker. Tapi, kenyataan justru bicara sebaliknya.

Hannah, dengan analisanya, mengambil jalan yang berbeda. Dia tidak menyalahkan Eichmann pada tragedi itu, apalagi mengutukinya. Hannah, seorang mantan penghuni barak kamp konsentrasi Nazi, sebaliknya seperti “membela” Eichmann. Hannah berkeyakinan bahwa Eichmann (sebagai manusia individu) tidak bersalah atas semua tragedi itu. Hannah menuduh sistem, struktur, dan ideologi yang berkembang saat itulah yang menciptakan Eichmann sebagai pembunuh berdarah dingin. Sistem, struktur, dan ideologi itulah yang membuat Eichmann menjadi manusia yang tak bisa berpikir dalam setiap keputusannya. Begitulah hasil analisis Hannah.

Sebelum tulisannya dimuat, sahabat-sahabat Hanna sudah menasehati kalau tulisan itu akan memancing kemarahan publik. Tapi Hannah tidak bergeming. Dia tetap maju karena yakin dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Dia cukup bernyali untuk melawan semua dengan konsisten menurut pandangannya.

Apalagi, ada bagian dalam tulisan Hannah, yang sampai sekarang masih tersimpan di laman website The New Yorker, yang mengatakan bahwa para pemimpin Yahudi juga bertanggung jawab atas pembantaian massa itu. Hannah tidak mengarang cerita. Fakta itu memang terungkap di pengadilan. Hannah hanya menuliskan peristiwa yang memang ada.

Betul saja, ketika tulisan itu dimuat, hampir semua lapisan masyarakat Yahudi mencaci maki Hannah. Majalah The New Yorker mendapat tekanan. Puncaknya adalah kampus tempat Hannah mengajar, memaksa dia untuk berhenti mengajar.

Hannah tidak terima dengan keputusan kampus. Itulah cikal bakal dia mengajukan pembelaan publik di hadapan semua staf dosen dan mahasiswanya. Dalam pembelaan publik itulah, Hannah mengungkapkan sebuah kalimat yang begitu mengesankan saya. “Tanggung jawabku adalah untuk memahami. Ini adalah tanggung jawab bagi siapa pun yang punya nyali untuk menuliskannya.” Begitu kutipan dialognya dalam film berdurasi hampir dua jam ini.

Hannah seperti sedang mengajarkan pada saya bahwa tugas penulis bukan untuk menghakimi. Tugas penulis adalah untuk membawa pencerahan pada pemahaman-pemahaman yang membuat kualitas manusia menjadi lebih baik. Seringkali, tugas ini membawa penulis berkonflik dengan opini publik, dicaci, dimaki, dan dijatuhi sanksi sosial. Tapi itulah sebuah resiko. Bahkan seorang Sokrates, seorang filsuf besar Yunani klasik, harus meregang nyawa karena dituduh menyesatkan generasi muda di zamannya.

Camilee Moffat, dalam salah satu artikelnya “Why Write?” yang dikumpulkan dalam buku “A Cup of Comfort for Writers” menuliskan beberapa alasannya untuk menulis. Salah satu alasan yang menarik perhatian saya adalah, “I write because I have something to say…about me, about you, about being alive.” Menulis menjadi sesuatu yang penting untuk kemanusiaan dan kehidupan.

Namun, kehidupan bukanlah sesuatu yang datar. Di dalamnya banyak konflik dan pergesekan. Ketika apa yang ingin dituliskan harus berlawanan dengan kenyataan yang umumnya diterima, di sinilah nyali dibutuhkan. Untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, ternyata tidak hanya membutuhkan penulis yang cerdas. Kehidupan ini juga menuntut penulis yang bernyali dan penuh keberanian. Penulis yang tidak hanya tunduk pada keinginan “pasar”, tapi penulis yang berpihak pada kebenaran, dan mampu memahami apa itu arti cinta dan kehidupan.

Kisah Martin Luther, seorang teolog Jerman, tokoh penting dalam sejarah Reformasi Gereja abad 16, pernah juga mengalami kisah serupa. Dia diancam mati oleh Gereja Katolik karena tulisan-tulisannya dianggap melawan Gereja kala itu. Buku “Sejarah Pemikiran Reformasi” tulisan Alister E. McGrath menceritakan, Luther dibawa kepersidangan untuk mengingkari tulisannya dan membakar buku-bukunya. Namun, di hadapan sidang itu, Luther berkata, “Di sini aku berdiri; aku tidak dapat berbuat yang lain.” Luther tidak mau membakar buku-bukunya.

Sejarah akhirnya menunjukkan, buku-buku Luther itu ternyata salah satu pilar yang membentuk peradaban dan kebudayaan Eropa. Max Webber dalam bukunya yang terkenal, “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme” menunjukkan kepada kita kalau pemikiran Luther adalah satu pemikiran yang membangun sistem perekonomian yang membuat Eropa jadi raksasa dunia seperti sekarang ini. Buku-buku Luther jadi tonggak sejarah dunia.

Buku-buku Luther tidak akan pernah mewarnai dunia jika saja nyalinya ciut di hadapan mahkamah sidang Gereja. Jika saja dia takut dan memilih tunduk pada ancaman, maka namanya tak pernah dikenang. Andai saja Luther memalingkan wajahnya dari kebenaran yang diyakininya, maka buku-buku tulisannya hanyalah debu sisa-sisa bakaran.

Menulis membutuhkan keberpihakan. Tidak ada penulis yang netral. Tidak ada penulis yang mampu menyenangkan semua pembacanya. Setiap gagasan yang dilahirkan oleh tulisan akan selalu memancing pro dan kontra. Situasi inilah membuat penulis harus berani menentukan sikap. Berani melawan tekanan. Tapi juga berani untuk dikoreksi.

Kita memang butuh penulis cerdas. Tapi, sejarah menunjukkan, kehidupan juga butuh penulis yang bernyali.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan