menjaga-perdamaian

Menjaga Semangat Perdamaian

Mewujudkan perdamaian secara konkrit berarti memberikan ruang kepada setiap orang untuk dapat berkembang dan menjadi kreatif sesuai dengan kemampuan serta anugerah-anugerah yang dimilikinya. Di sini, kesadaran bahwa setiap manusia memiliki hak-hak asasi, sejatinya menjadi pemahaman yang tertanam mendalam dalam diri manusia.

Vamik D. Volkan, salah seorang psikolog dan peneliti perdamaian, menyatakan bahwa manusia pada dasarnya mengembangkan beberapa jati diri. Di samping jati dirinya sebagai seorang pribadi, ia juga memiliki jati diri sebagai anggota sebuah keluarga atau klan; dan di samping itu terdapat jati diri bersama yang mencakup unit-unit etnis dan kebangsaan. Volkan menjelaskan jati diri kolektif yang lebih kompleks ini, yang mencakup suatu kelompok atau masyarakat secara keseluruhan sebagai “payung”. Para pemimpin politik memperoleh banyak pengaruh dari kemampuan mereka untuk merumuskan dan mewakili jati diri kolektif ini.

Ancaman terhadap Perdamaian

Pertama-tama kita patut menghaturkan kepada setiap orang, salam dan harapan kebahagiaan dari lubuk hati kita: Damai kepada kita semua! Damai bagi semua hati! Kita semua tentu mengamini bahwa, dari dulu sampai sekarang bahkan sampai selama-lamanya, perdamaian adalah suatu nilai yang begitu penting dan yang mau tak mau harus diproklamasikan serta diusahakan oleh semua orang. Tak ada manusia yang tidak akan beruntung dari perdamaian. Tiada hati insani yang tidak menjadi lega bila damai itu terasa ada di mana-mana. Kita semua sedaerah, sebangsa dan sedunia, secara penuh akan mencapai akhir tujuan kita yang saling berkaitan, hanya bila kita semua bersama-sama mengejar perdamaian sebagai nilai universal.

Akhir-akhir ini, ancaman terhadap perdamaian bukanlah suatu rahasia lagi. Umat manusia menjadi gelisah dan berkecil hati tatkala mendengar kericuhan yang terjadi karena rasa sentimental tertentu, aksi saling menjatuhkan, konflik sosial yang terus meledak bahkan perang yang berkecamuk di mana-mana. Inilah pertanda bahwa perdamaian memang telah dipasung oleh ambisi golongan-golongan tertentu. Inilah alasan mengapa daerah kita begitu goyah oleh kecenderungan dan ambisi manusia-manusianya sendiri.

Bukti krisis perdamaian dapat kita temukan dalam pelbagai realitas minor di sekitar kita. Sebut saja kasus perampokan serentak pembunuhan terbesar di Jakarta Timur pada Selasa, 27 Desember siang. Kasus pembunuhan ini terjadi di rumah Dodi Triono, ketua RT terkaya se-Jakarta Timur dan menewaskan beberapa penghuni rumah. Sadis sekali. Belasan orang ditumpuk seperti barang dalam kamar mandi berukuran 1,5 x 1,5 meter persegi. Kita juga mendengar aksi demonstrasi anti-Ahok pada 4 November yang pada mulanya berjalan damai, akhirnya ricuh setelah lewat Isya. Sebetulnya masih banyak lagi tindakan minor yang terjadi di bumi pertiwi ini seperti kerusuhan antaragama, aksi teror di mana-mana, penistaan agama, radikalisme yang ekstrem dari kelompok-kelompok tertentu dan masih banyak lagi. Semua fakta di atas mengindikasikan bahwa kita sedang dilanda krisis.

Maka, dengan mengemukakan realitas minor di atas, kita mestinya sadar bahwa dalam situasi sekarang ini, perdamaian sebagai suatu nilai yang menjadi dasar hidup, menjadi sangat rapuh. Sepintas kilas tujuan menyatakan perdamaian sebagai suatu kepentingan mutlak nampaknya seperti suatu utopia. Dunia, bangsa dan daerah kita memberikan cukup banyak bukti tentang adanya usaha cari untung diri yang berlebihan dalam hal politik, ideologi dan ekonomi. Terperangkap dalam jaringan sistem ini, para pimpinan dan pelbagai kelompok terbawa arus untuk mencari tujuan-tujuannya sendiri. Secara khusus, mereka mengejar ambisi akan kekuasaan, kemajuan dan kemakmuran, tanpa memperhitungkan secara cukup kepentingan dan tugas untuk menggalang solidaritas internasional, nasional atau daerah. Kerja sama dari semua rakyat guna keuntungan kepentingan umum jadi terabaikan.

Mencari Damai?

Dalam situasi kini, perdamaian sebagai suatu nilai universal berada dalam bahaya besar. Bagaimana pun, suatu situasi damai dalam pengertian yang penuh tak mungkin berdampingan dengan ketidakadilan. Perdamaian tak dapat diartikan semata-mata sebagai tiadanya konflik. Ia lebih berarti ketenangan dan ketertiban yang penuh. Perdamaian lenyap akibat eksploitasi sosial dan ekonomi oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan istimewa atau berfungsi sebagai elite dalam kelompok-kelompok lemah. Perdamaian sirna akibat perpecahan-perpecahan sosial di mana yang kaya melawan yang miskin. Perdamaian tak mungkin diciptakan dengan jalan kekerasan karena cara demikian hanya akan membuahkan kebencian dan perpecahan. Tak ada perdamaian bila penindasan ekonomi dan ketegangan-ketegangan intern mengenai struktur sosial membuat orang tak berdaya dan kecewa, sehingga bila disulut sedikit saja, akan mudah berkobar menjadi kekuatan-kekuatan yang dapat membawa kehancuran. Sebagai suatu nilai, perdamaian terus-menerus dibahayakan oleh kepentingan-kepentingan pribadi, oleh penafsiran-penafsiran yang menyimpang dan bertentangan dan bahkan oleh manipulasi-manipulasi yang cerdik demi ideologi-ideologi dan sistem-sistem politik yang pada hakikatnya bertujuan mempertahankan kekuasaan.

Sesungguhnya, suatu realisme yang sehat menghendaki bahwa perdamaian tidak bisa dipaksakan dari atas atau dari luar, atau disebabkan oleh metode dan teknik-teknik tertentu. Soalnya, akar-akar paling dalam dari pertentangan dan ketegangan-ketegangan yang menghambat perdamaian dan pembangunan terdapat di dalam hati manusia sendiri. Karena itulah, di atas segala-galanya, hati dan sikap manusia harus diubah, dan perubahan ini memerlukan suatu pembaharuan, suatu pertobatan dari individu-individu. Kita perlu sadar bahwa cita-cita perdamaian dan keadilan antarindividu dalam suatu masyarakat lokal, nasional maupun internasional bukanlah semata-mata suatu himbauan mulia bagi segelintir orang idealis, melainkan suatu persyaratan bagi kelangsungan kehidupan seluruh manusia. Jalan yang benar menuju kepada masyarakat dalam mana keadilan dan perdamaian akan berjaya tanpa batas-batas di antara semua individu, semua daerah, semua bangsa dan meliputi semua benua adalah jalan solidaritas, dialog dan persaudaraan universal. Hanya inilah jalan yang mungkin. Hubungan-hubungan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan serta sistem-sistem harus diserapi dengan nilai-nilai solidaritas dan dialog. Untuk mewujudkan secara efektif suatu masyarakat seperti ini, orang harus meninggalkan sikap-sikap mental dan pandangan-pandangan politik yang sudah dikotori oleh nafsu akan kekuasaan, oleh ideologi-ideologi dan keinginan mempertahankan hak-hak istimewa dan kekayaannya sendiri, lalu menggantikannya dengan suatu keterbukaan untuk berbagi dan bekerjasama dengan semua dalam semangat saling percaya.

Presiden Joko Widodo dalam peringatan Natal Bersama Nasional 2016 di Gedung Wale Ne Tou Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara pada Selasa, 27 Desember lalu menyampaikan sebuah pesan persaudaraan dan perdamaian. Ia mengatakan bahwa perdamaian adalah kekuatan besar bangsa Indonesia. Perdamaian akan lahir apabila seluruh elemen bangsa menghayati Pancasila. Sebagai bangsa yang berspiritkan Bhineka Tunggal Ika, kita semua dipanggil untuk membuka hati pada pesan keselamatan: agar kita mencintai perdamaian, agar kita memeluk yang kecil, yang lemah dan yang miskin. Hal ini tentu membawa kita pada dunia baru di mana berbagai macam penderitaan diusahakan untuk dihilangkan; sebuah dunia di mana semua penghuninya benar-benar disembuhkan dari berbagai macam keremukan hidup. Di saat perdamaian sungguh meraja, di situ tidak akan ada lagi relasi tuan-budak.

Memang benar, damai itu bukan ‘tempat’ seperti saat berada di taman yang indah. Damai bukan juga ‘waktu’ seperti ketika kita beristirahat sambil mendendangkan sebuah lagu indah. Damai itu suatu sikap batin karena ia menunjuk pada suatu keselarasan hidup antara apa yang ada dengan apa yang diharapkan, dalam diri manusia sendiri. Oleh sebab itu, mencari damai seharusnya mencari dalam hati manusia sendiri. Atau, seperti kata Mother Theresa dari Calcutta, “Kita hanya bisa hidup dalam kedamaian jika kita mampu melihat Allah dalam diri sesama kita”.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan