nama-kuburan-bantal-mayit

Menuju Bantal Mayit

Hari sudah larut malam dan anak-anak di Panti Asuhan Al-Ikhlas terlelap kecuali Awi yang berdiri dalam bayang-bayang dedaunan pohon yang menghalangi cahaya lampu listrik. Ia senang berada di sana. Suasananya sunyi seakan menelan semua kegembiraan. Tempat sempurna untuk mengasingkan diri, berlatih membaca puisi.
Bocah berumur dua belas tahun itu berhenti. Dia meneguk segelas air putih, melepaskan dahaganya. Tiga jam setiap hari adalah waktu yang ia berikan pada dirinya sendiri untuk menghafal, menghayati, dan melantunkan puisi-puisi karya sastrawan agung. Karena dua jam terkesan tidak memuaskan; dan satu jam terlalu singkat.
Tiba-tiba saja Awi dikejutkan dengan kedatangan Fatima, gadis itu mencubit tangan Awi. ”Kamu kalau jadi orang jangan teledor dong! Sampai lupa makan dan mandi. Lihat saja tuh bajumu sekarang compang-camping kaya gembel. Kaus robek. Celana robek. Rambut kaya mangkuk. Umur segini seharusnya sudah bisa merawat diri.”
Awi dan Fatima terpaut dua tahun. Saat ini Fatima tengah menjalani tahun ketiganya di Sekolah Menengah Pertama; sementara Awi sedang berusaha menikmati hari-harinya sebagai plonco di sekolah yang sama. Keduanya juga memiliki gaya hidup berbeda. Fatima tinggi, cantik dengan rambut panjang bersinar yang mengingatkan Awi akan iklan-iklan shampoo di televisi. Sementara Awi memiliki postur tubuh ceking dengan rambut lepek dan kode pakaiaan seenaknya. Awi adalah satu-satunya teman yang dimiliki Fatima, lantaran tidak ada yang mau berteman dengan gadis bongak. Setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang kepada Fatima. Sedangkan Awi merupakan tipe anak yang senang menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi sambil membaca syair Chairil Anwar. Tak heran teman-teman sebaya memanggilnya Penyair Gila. Mereka sama-sama dibesarkan di panti asuhan, tidak pernah mengenal siapa orangtua mereka. Satu-satunya hal yang mereka ketahui adalah selembar foto yang sering di bawa Awi ke manapun ia pergi, di mana terdapat gambar seorang wanita muda menggendong bayi mungil nan lucu. Sedang di balik foto tersebut terdapat tulisan: ROMNA. BARONG TONGKOK, BANTAL MAYIT: 1995.
”Apa-apaan sih,” timpal Awi.
Fatima tersenyum, menunjukkan deretan gigi yang tidak terlalu rata. ”Anak laki-laki kok nangis,” gerutu Fatima. ”Nggak malu sama cewek?”
Awi menghela napas berat, mengusap matanya yang berkaca-kaca. ”Bisakah kau pergi?”
Begitu Fatima duduk di hadapan Awi yang sedang bermuram durja, ia mengganti topik pembicaraan dan mengutarakan maksud kedatangannya.
”Puisi siapa yang kau hafal?”
”Zamawi Imron.”
”Kau masih memikirkan Ibu?”
”Sepertinya begitu.”
”Ya sudah, ayo kita kunjungi Ibu!” seru Fatima.
”Apaaa?” Awi terkejut, seakan tidak percaya dengan yang dikatakan Fatima. ”Bagaimana caranya?”
”Coba kamu perhatikan. Caramu memandang masalah begitu mudah ditebak. Santai saja. Kau akan menyukainya, Penyair Cengeng!” ejek Fatima. Lalu, ia meraih buku catatan Awi dan membolak-baliknya.
Awi terhasut oleh ajakan Fatima, kemudian ia menyetujui rencana yang dipaparkan gadis itu. Mereka berjanji bertemu sebelum larut malam. ”Ingat! Besok. Di koridor utama panti. Jangan sampai telat!”
Nantinya akan terbukti malam itu bukanlah malam yang normal.
*
”Kita sudah keluar, sekarang apa?” tanya Awi.
”Di dekat sini ada terminal bus. Kalau beruntung, kita masih sempat naik bus malam.”
Berlari menuju terminal bus, napas mereka tersengal. Tempat itu gelap tanpa cahaya. Jalan masuk ke dalam tertutup oleh sebuah portal panjang. Kerat-kerat kayu ditumpuk di setiap sisi jalan masuk. Awi nampak kesal, lalu dengan satu kaki ditendangnya portal kayu tersebut hingga mengeluarkan suara keras.
”Selamat! misi berhasil,” ucap Awi sebal. ”Aku harap kau punya ide cadangan.”
Tak jauh dari tempatnya berada, Fatima tak sengaja menangkap pembicaraan sepasang laki-laki yang tengah memasukkan muatan ke dalam mobil boks di depan sebuah toko. Suara mereka terdengar seperti orang berkumur, tetapi cukup jelas di telinga Fatima. ”Cepat-cepat, semua barang ini harus ada di Barong Tongkok besok siang,” suara Pria Berperut Tambun.
”Awi, kau dengar?” tanya Fatima.
”Dengar apa?”
”Ayo, ikut saja!”
Awi dan Fatima perlahan menyelinap masuk ke belakang mobil boks tersebut. Bersembunyi di balik kardus-kardus berbentuk kubus. Setelah beberapa saat menunggu, terdengar suara porseneling. Kendaraan yang mereka tumpangi berjalan, dengan harapan membawa mereka ke tempat tujuan. Mobil boks melaju dengan kecepatan aman. Kabut yang turun malam itu membuat Pria Berperut Tambun tak bisa melihat garis pemisah dengan jelas, jadi ia hanya berusaha menyetir di dekat lampu jalan.
*
Mobil boks berjalan semakin cepat menembus kegelapan malam. Duduk saling berhimpitan, menyebabkan kaki Awi keram. Lalu, tiba-tiba saja mobil yang melaju menghantam sebuah lubang besar. Fatima terjungkal dan membuat tumpukkan kardus jatuh berguguran. ”Aduhhh!” erang Fatima seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan.
”Diam!” kata Awi dengan nada berbisik. ”Kita bisa ketahuan.”
Pria Berperut Tambun yang menyadari ada kegaduhan di belakang mobilnya menepi di dekat sebuah pohon. Dengan langkah gemetar sambil membawa senter, ia berjalan ke belakang mobil dan membuka bagasi. ”Hei, ngapain kalian di sini,” Pria Berperut Tambun mengarahkan sinar senternya persis ke arah wajah Awi. Bocah itu tak berkutik, tertangkap basah. ”Kalian kira ini angkutan umum? Keluar cepat! Keluar cepat!”
”M-a-a-aafkan kami pak,” suara Awi tercekik.
”Maafkan kami Pak. Kami anak yatim, mau menumpang ke kampung,” kata Fatima lirih.
Pria Berperut Tambun diam sejenak. Senter di tangannya masih menyoroti wajah Awi, lalu berpaling ke wajah Fatima. ”Kenapa tak bilang dari awal? Kalian berdua ingin pergi ke mana?” tanya Pria Berperut Tambun.
Setelah menjelaskan tujuan mereka – Awi menunjukkan tulisan di balik foto, Pria Berperut Tambun bersedia mengantar Awi dan Fatima dengan perasaan iba. Bahkan Pria Berperut Tambun meminta mereka duduk di kursi depan. Awi dan Fatima masih tak percaya di dunia ini masih ada orang baik seperti si Pria Berperut Tambun.
*
Mereka berada di atas bukit, melesat menelusuri jalur aspal yang meliuk, di samping kanan-kiri mereka terdapat area perkebunan kelapa sawit lebat. Sesekali Pria Bertubuh Tambun menoleh ke kiri untuk mengamati kondisi bocah-bocah yang sedang terlelap. Kepala Fatima bersandar pada bahu Awi yang kurus.
Pada kecepatan standar, Pria Berperut Tambun membawa mobil boks tersebut menaiki kaki lereng yang tidak terlalu curam, dan kemudian menukik turun. Dua roda di bagian belakang mendesis di antara bubuk-bubuk pasir dan terlihat mengambang ketika mobil boks itu melalui tikungan mematikan. Pria Berperut Tambun mempertahankan lajunya ke kiri saat mendekati pagar pembatas, memegang erat kemudi dan memutarnya seperti mengencangkan sekrup, membuat mobilnya berputar tajam ke kanan dan kembali ke jalan raya. Adakala mereka berpapasan dengan kendaraan lain. Sekarang, mereka meniti jalanan yang mulus dan lenggang membuat Pria Berperut Tambun bisa memacu mobil boks agak cepat, meskipun jalannya tak terlalu lebar. Di kanan-kiri sudah mereka jumpai rumah-rumah penduduk dan lampu-lampu di rumah tersebut nampak seperti kilat ketika mobil boks mencapai kecepatan penuh.
Bias cahaya matahari melewati rongga-rongga ranting pohon yang menyusul masuk melewati kaca depan mobil membuat Awi terbangun. Ia mengucek kedua matanya, lalu membuka jendela mobil barang sejenak untuk menikmati aroma pagi. Dalam diam, Awi melihat penampakkan warna-warna agraris, yang datangnya dari hijau rerumputan, kuning jerami, merah bunga mawar, serta biru langit.
Kemudian ia membangunkan Fatima yang masih tertidur. ”Fatima, kita sudah sampai,” kata Awi. ”Ayo bangun!”
Pria Berperut Tambun memarkir kendaraannya di seberang sebuah masjid. ”Di belakang masjid itu terdapat tempat yang kalian cari,” kata Pria Berperut Tambun. Mereka keluar dari dalam mobil. Fatima yang terlihat masih mengantuk berjalan lunglai. ”Terimakasih Pak, sudah mengizinkan kami menumpang,” ucapnya.
”Sama-sama,” kata Pria Berperut Tambun seraya memeluk Awi, sekaligus jadi lambang ucapan perpisahan. Namun Pria Berperut Tambun terlihat bingung ketika Awi dan Fatima menapakkan kaki. ”Mana ada rumah di dekat sini,” ucap Pria Berperut Tambun pada dirinya sendiri sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Lantas ia pun masuk kembali ke dalam mobil. Perlahan menjauh.
Matahari pagi mulai menyengat kulit Awi dan Fatima. Wajah dan tubuh mereka terasa hangat. Alangkah terkejutnya Awi dan Fatima ketika memandang sebuah gapura dengan papan nama: Selamat Datang di Bantal Mayit. Mereka menatapnya lama-lama, berpikir. Saat berjalan menuju arah gapura tersebut, mereka tak sengaja berpapasan dengan Laki-Laki Berwajah Renta. ”Permisi Pak,” kata Awi. ”Apakah Anda tahu di mana alamat ini?” Awi memperlihatkan tulisan di balik foto.
”Betulkah namamu Sarkawi?” tanya Laki-Laki Berwajah Renta. Matanya menilik Awi dari ujung kepala hingga ujung kaki.
”Betul Pak,” Awi nampak bingung. ”Bagaimana Bapak bisa tahu?”
Dalam sekejap Laki-Laki Berwajah Renta memeluk Awi. ”Oh, Sarkawi. Sudah lama aku menantikan kedatanganmu. Kau pasti mau menemui Ibumu. Mari sini! Mari sini!”
Kedua bocah itu saling bertukar pandang, lantas mengikuti langkah Laki-Laki Berwajah Renta yang lebih dulu berjalan. ”Ini dia Ibumu,” sambil menunjuk sebuah batu nisan Laki-Laki Berwajah Renta melanjutkan ucapannya, ”Aku membersihkannya sekali seminggu. Aku yakin bahwa kau akan datang untuk menemui Ibumu!”
Awi benar-benar tidak tahu harus mengucapkan apa. Jadi ia hanya mengatakan, ”Terimakasih Pak.”
”Silahkan! Lepaskan kerinduanmu!” seru Laki-Laki Berwajah Renta. Lalu ia melenggang keluar dari Tempat Pemakaman Umum itu.
*
Fatima menggenggam erat tangan Awi. ”Kau tidak pernah cerita kalau Bantal Mayit adalah nama kuburan,” kata Fatima dengan suara lemah.
Awi tidak merespon. Semua bekal yang terdapat di dalam tas ranselnya diletakkan di dekat salah satu batu nisan yang tertera: Romna Binti Syahriansyah – Lahir: 12 Januari 1960 – Wafat: 13 Februari 1995 (16 Ramadhan 1415 H).
Awi mengambil buku catatan yang berisi kumpulan puisi yang ia salin dari buku-buku prosa klasik yang telah ia baca. Awi membolak-baliknya dan berpikir keras. Lantas dia teringat. Lalu dengan suara lirih –
”Kalau Aku merantau lalu datang musim kemarau,” Awi memulai membaca puisi. ”Ibu adalah gua pertapaanku dan Ibulah yang meletakkan aku di sini…”

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan