klimaks-pada-cerita

Menulis adalah Tanggung Jawab pada Peradaban

“Gerakkanlah juga penamu sampai ujungnya menyala-nyala.” Begitu kata Ir. Sukarno dalam “Mencapai Indonesia Merdeka”. Sebuah seruan untuk para pemuda agar menyebarkan gagasan kemerdekaan lewat tulisan. Bung Karno pernah berpesan agar tidak memandang remeh perjuangan-perjuangan kecil, seperti menulis propaganda dan pamflet. Perjuangan kecil itu, kata Sukarno adalah mata rantai yang menghubungkan perjuangan dalam revolusi besar.

Menulis memang sebuah kegiatan yang jarang ditemui dalam masyarakat Indonesia. Ini wajar karena budaya literasi kita masih tergolong rendah. J. Sumardianta dalam buku “Habis Galau Terbitlah Move On” mengatakan, “Bangsa Indonesia baru belajar membaca, belum menulis.” Menulis adalah  budaya setelah didahului kebudayaan membaca. Walau banyak melihat kenyataan, tanpa dibarengi membaca, tak ada kata yang bisa keluar untuk dituliskan.

Arif Wicaksono, dalam artikelnya yang berjudul, “Senjakala Literasi Kita” diterbitkan di Geotimes seolah mengatakan wajar jika negara kita terus menjadi negara konsumen. Kita tidak akan mungkin berpindah sebagai produsen karena miskin inovasi. “Inovasi tak berasal dari mental masyarakat yang tak giat  membaca buku,” begitu kata dia. Sehingga tak mengherankan, jika kita harus terpuruk terus sebagai negara miskin yang konsumeris. Ketidakmampuan kita mencipta semakin memperkukuh status kita sebagai terjajah secara ekonomi oleh negara-negara industri maju. Penolakan kita terhadap neo-imperialisme disatu sisi dilanggengkan oleh minat baca yang rendah.

Kalau mencermati para pejuang kemerdekaan dulu, kita akan disajikan sebuah kisah betapa akrabnya mereka dengan buku. Sebut saja Bung Hatta. Ketika dia sedang dalam pembuangan, berpeti-peti buku selalu jadi temannya. Ariel Heryanto, seorang pengamat pendidikan Indonesia, pernah memberi komentar tentang polemik kebudayaan tahun 1930-an antara Sutan Takdir, Sutomo, Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, dkk. “Mereka yang berpolemik itu memang luar biasa, bacaannya luas sekali.” Begitu komentar dia dalam sebuah wawancara yang direkam tahun 1995. Singkatnya, tokoh-tokoh  kemerdekaan dulu adalah mereka yang membaca dan tentu sudah menulis.

Entah apa yang membuat budaya literasi kita menurun drastis. Terlalu cepatnya teknologi digital dan banjirnya media sosial disinyalir merupakan penyebab utamanya. Ditengah proses beranjaknya kita dari budaya lisan ke tulisan, media sosial tiba-tiba datang menghantam. Dia memaksa kita untuk bisa “multitasking” dengan segera. Dia menciptakan budaya membaca sedikit tapi berkomentar banyak. Perilaku pengguna media sosial yang sangat egosentris, menulis status hanya tentang aku dan perasaanku, semakin memperparah kedangkalan berpikir kita yang tidak pernah akrab dengan buku.

Kata Bung Karno, menulis adalah mata rantai kecil yang menghubungkan kita pada sebuah revolusi besar. Menulis adalah sebuah alat perjuangan untuk menciptakan kesadaran kolektif betapa pentingnya kemerdekaan. Menulis itu berperang. Dia berperang melawan pembodohan. Dia berperang mengusir gelapnya kedunguan yang menumpulkan kesadaran.

Namun, untuk jadi seorang pejuang yang handal, tentara harus melewati serangkai pelatihan. Seorang penulis yang berperang dengan pena, harus rajin mengasah penanya dengan bacaan. Buku harus dijadikan lawan tanding untuk menganalisa keadaan. Buku adalah alat uji pertama apakah gagasan ini berguna untuk perjuangan. Tanpa menjadikan buku sebagai sahabat, sangat kecil kemungkinan munculnya imajinasi, yang kata Einstein, lebih hebat dari ilmu pasti.

Menulis seharusnya melampaui sebuah hobi. Didalam menulis ada tugas-tugas penting demi kemajuan peradaban. Menulis tidak hanya bicara aktualisasi diri. Menulis adalah menuntun sebuah generasi pada sebuah masa depan yang lebih baik. Menulis adalah sebuah tanggung jawab pada kemanusiaan. Tak ada bangsa besar yang lahir tanpa tulisan. Bahkan peradaban kuno mewarisi generasinya ilmu pengetahunan melalui ukiran di celah-celah batu dalam gua yang pengap.

Kita mengeluh karena membaca adalah “hobi” yang mahal. “Buku terlalu mahal harganya” begitu kita beralasan. Tapi disisi yang lain, akal kita bergerak kreatif untuk menyisihkan uang jajan demi kebutuhan ponsel pintar kita. Kita lebih memilih membeli tiket bioskop dari pada buku. Kita lebih memilih pelesiran dari pada buku. Bahkan ketika kemudahan buku digital banyak hadir dalam bentuk yang gratis, kita memilih berdalih, “Tidak nyaman membaca buku di layar ponsel.”

Kemajuan sebuah negara ditentukan rakyatnya. Survey membuktikan negara yang maju demokrasinya adalah negara dengan tingkat literasi yang tinggi. Negara yang tinggi tingkat kesejahteraannya adalah negara yang rakyat membiasakan diri membaca dalam setiap kesempatan sekecil apa pun; di ruang tunggu, di halte bahkan di angkutan umum. Sebaliknya, negara miskin dan tingkat demokrasi yang rendah adalah negara yang rakyatnya enggan bersahabat dengan buku.

Kemiskinan yang ada di jaman ini bisa jadi adalah hasil dari bentuk penjajahan baru. Kita harus berjuang sekali lagi untuk ini. Kita butuh rakyat yang sadar. Dan kesadaran ini bisa disebarkan lewat tulisan. Jadi jelaslah, menulis adalah kerja pembebasan. Menulis adalah tanggung jawab pada peradaban.

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan