bakat-menulis-di-mana-saja

Menulis: Hasil Belajar Atau Bakat?

Rasa-rasanya, saya ingin mengamini ucapan Thomas Alva Edison bahwa kesuksesan adalah buah dari 1% bakat dan 99% kerja keras. Apalagi dalam dunia tulis-menulis. Sebagian orang berpendapat kalau menulis itu susah. Sesusah mengeruk laut selatan. Tetapi, sebagian ada yang menganggap mudah. Serasa membalikkan telapak tangan.

Terlepas anggapan yang terkesan sombong tidaknya, saya berpendapat kalau menulis itu tidaklah mudah, tetapi bukan berarti kita tidak bisa mewujudkan. Kendati sampai sekarang saya terus berusaha belajar menulis yang baik, nyatanya, menulis adalah aktivitas yang harus berkesinambungan. Baik memiliki potensi atau tidak, menulis tidak bisa dilakukan sebulan sekali atau setahun sekali. Kecuali, sedang mengalami writer’s block yang setiap orang memiliki cara berbeda mengatasinya.

Kalaupun terdapat pandangan menulis merupakan bakat, hal ini tidak bisa disalahkan. Sebab bakat adalah fitrah dari Tuhan dan setiap orang memiliki bakat berbeda-beda. Tetapi, sesungguhnya, kemauan menulis-lah yang berperan besar dalam karir seorang penulis. Entah novelis, cerpenis, kolumnis atau blogger, hanya kemauan yang senantiasa mendorong penulis itu sendiri untuk selalu menulis. Seandainya seseorang memiliki bakat menulis, tetapi tidak menulis, tentu tak bisa disebut penulis. Sebab seseorang disebut penulis karena dia menghasilkan tulisan. Seperti halnya pelukis. Dia disebut pelukis karena menghasilkan lukisan.

Pertanyaannya, bagaimana memelihara kemauan untuk menulis? Setidaknya, jawaban dari pertanyaan ini berhubungan erat dengan motivasi menulis itu sendiri. Ada yang mencari rezeki dari menulis, ada pula yang berbagi ilmu lewat tulisan. Semua kembali kepada masing-masing pribadi yang tentu memiliki beragam alasan.

Kalau boleh menyumbang pendapat, saya tidak menampik dengan dua motivasi di atas. Meski begitu, yang membuat saya terngiang untuk belajar menulis adalah syair Imam Syafi’ie, yakni:

“Ilmu bagaikan hewan buruan dan tulisan/pena adalah ibarat tali pengikatnya. Oleh karena itu, ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah tindakan bodoh ketika berburu rusa kemudian rusa itu berhasil ditangkap, kamu biarkan saja dia tanpa diikat di keramaian.”

Inilah nasehat sang Imam. Yang menyarankan agar kita mengamalkan ilmu lewat tulisan. Entah berupa buku atau yang lain. Apalagi di era milenial seperti sekarang. Media untuk menulis tak lagi berupa media cetak seperti koran atau buku. Platform dan portal menulis tak terhitung jumlahnya. Dan inilah kesempatan untuk mengikat ilmu tersebut. Dengan mengikat ilmu yang tak seberapa yang kita miliki ini, itu artinya kita berbagi. Mari kita belajar menulis lalu kirim ke media. Tujuannya, agar tulisan kita dibaca lebih banyak orang, juga mampu menjernihkan pikiran.

Ya, selain meningkatkan produktivitas, ternyata menulis mampu menjernihkan pikiran yang terasa sesak. Buktinya, saat Anda merasa sumpek, naluri Anda menuntut untuk mengeluarkan kesumpekan tersebut. Biasanya, dengan bercerita pada orang terdekat. Curhat dengan sahabat. Begitu pula dengan menulis. Hanya saja, dengan menulis kita tidak sekadar bertatap muka dan berbicara ngalur-ngidul. Justru lewat tulisan kita bisa mengungkapkan gagasan. Semisal, Anda sedang sumpek dengan keadaan politik di negeri ini. Apalagi menjelang suasana pemilu. Semakin kisruh dan saling menghina. Anda bisa menuangkan dalam tulisan yang mengademkan banyak orang, di tengah kegersangan perpolitikan.

So, mari menulis. Sebab menulis itu proses panjang yang tidak instan. Tidak cukup bermodal bakat, harus ditambah usaha keras nan berkesinambungan. Harus senantiasa belajar dan tidak putus asa. Bukankah, keajaiban hanya terjadi pada orang yang berani mencoba dan mewujudkan meski gagal berulang-ulang?

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan