sudut-pandang-linda-christanty

Menulis, Sebuah Sudut Pandang

             Menulis, pada akhirnya seperti melancarkan misi, usaha untuk bersuara. Menulis adalah sikap. Tak heran, bila dalam tulisan kita ada yang berbeda, mungkin lain dari yang lain, menggaungkan suara lain. Baik fiksi, maupun nonfiksi sekalipun. Kita boleh mengingat Pram, tulisan-tulisan Pram adalah sikapnya, suaranya, protes-protesnya, teriakan-teriakannya. Saat itulah, barangkali ada yang terganggu, ada yang tak suka, atau bahkan membenci, takut, dan terancam.

            Meski zaman sekarang sering identik dengan kebebasan, tapi suara penulis bisa jadi tak seperti dulu. Ia ibarat bom, tapi kecil, tak memiliki daya ledak sehebat seperti di Hirosima atau Nagasaki. Namun, penulis tak boleh menyerah oleh keadaan yang seperti ini, meski suara penulis lebih mirip riak-riak kecil di tengah samudera. Pembacalah kelak memainkan peranan membuat riak-riak itu menjadi gelombang besar.

            Melalui buku Para Raja dan Revolusi(2016) Linda Christanty menulis “Negeri ini tidak hanya dibangun oleh pengorbanan para pahlawan, dan diantara mereka yang gugur itu adalah para kakek, nenek, ibu, kekasih, dan sahabat kita. Diantara para raja yang berkuasa penuh dulu, tak sedikit yang menyerahkan harta-bendanya untuk negeri yang dikhayalkan, selain menyumbangkan pikiran mereka untuk menemukan bentuk ideal dari negara baru yang lahir, sebuah republik, dan ada pula yang mempertaruhkan jiwa raganya. Saya tidak ingin negara kerajaan berjaya kembali dan menjadi tuan putri atau ratu. Namun, peran para raja adalah bagian yang tak dapat dipungkiri serta tak terpisahkan dari revolusi Indonesia”.

            Linda hendak menulis orang-orang tak umum, tak banyak ditulis di buku sejarah kita, tapi memiliki peranan dalam ikut serta membentuk negeri ini. Linda menulis dampak peraturan di masa lampau juga ikut berpengaruh sampai hari ini. Satu contoh misalnya Landreform. Pada 20 Mei 2016, Raja Denpasar IX, Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan ditangkap polisi Denpasar Bali. Ia dituduh menjual tanah milik Puri Denpasar. Dalam pembelaannya ia menyatakan bahwa menjual tanah adalah haknya sebagai raja dari Puri Denpasar. Tidak ada yang menggubris pernyataan Tjokorda. Haknya sebagai raja sudah dilucuti oleh dua hukum. Yakni Undang-Undang Tentang Penghapusan Wilayah-Wilayah Swapraja Nomor 29 tahun 1959 oleh Soekarno. Kedua, oleh Undang-Undang Pokok Agraria atau Landreform tahun 1960. Tanah puri terpecah atas nama beberapa orang dalam rangka mencegah perampasan oleh negara dengan alasan Landreform, sehingga raja yang menjual justru jadi pelanggar hukum.

            Suara Linda ini pun nampak di akhir tulisan : “pemerintah Indonesia sudah seharusnya mengakui eksistensi wilayah swapraja sebagaimana pemerintah telah mensahkan masyarakat adat dan hukum adat berdasarkan UUD 45, yaitu dengan memberikan peran yang bersifat formal kepada para pemimpin bekas swapraja dalam pemerintahan. Menurut Linda, memberi peran kepada bekas swapraja untuk berperan merasa mempunyai kepentingan untuk turut mempertahankan negara ini.”

            Cara Linda menulis sejarah, cerita masa lalu, sampai dengan fenomena mutakhir begitu lentur. Ia tak hanya mengisahkan diri, tapi juga menjangkau masa kini, sejarah, dan juga orang-orang disekitarnya. Kita bisa menyimak caranya mengkritik Jokowi yang seperti pemulung yang berasal dari Cina. Dulu, cina pernah punya program yang dikenal “Operasi Mengerami Telur Naga.” Operasi ini adalah operasi mengirim pemulung dan menggaji mereka untuk mencari barang bekas di seluruh negara-negara dunia. Pembaca jadi tergelitik, dan terkejut saat di akhir tulisan ternyata memberikan tamparan keras Jokowi saat di forum KTT G-20 seperti pemulung yang gagal membawa pulang barang pulungan alias hanya mendapat pepesan kosong.

menulis-linda-christanty

Judul buku     : Para Raja dan Revolusi
Penulis           : Linda Christanty
Penerbit         : IRCiSoD
Tahun             : 2016
Halaman        : 212 Halaman
ISBN               : 978-602-769-618-1

Di esai lain berjudul Percakapan Yang Hilang Di Pagi Hari, Linda menulis teman yang berada di daerah konflik. Ada kesedihan, kegetiran yang ditulis. Cara Linda seperti menulis cerita pendek. Ada keinginan untuk menulis sosok yang dekat, yang barangkali oleh banyak orang tak memiliki arti, tapi bagi Linda memiliki arti mendalam. Melalui tulisan ini, ia hendak menggambarkan betapa konflik menghilangkan banyak hal. Konflik merampas persahabatan, merampas ketenangan, dan membuat was-was.

            Yang menarik adalah saat Linda menulis kisah Mustafa Alaydirus yang berhubungan dengan kisah Gunung Tambora. Dulu, Mustafa Alaydirus mengusir anjing raja Tambora. Ia hanya menghalaunya, tak menyakiti anjing itu. Raja pun mengundang Mustafa untuk makan bersama. Mustfaf pun disuguhi daging anjing. Raja mengejeknya mengapa seorang habib tak tahu daging anjing apa bukan. Mustafa tak marah, tapi ia membiarkan sang raja berbuat demikian. Belum puas raja menganiaya Mustafa, ia pun menyuruh orang untuk membawa Mustafa di kaki gunung. Disana ia dibunuh, kepalanya dipecah dengan batu. Darahnya mengalir, Gunung Tambora pun meletus. Lahar gunung itu pun menenggelamkan tiga kerajaan sekaligus. Kerajaan itu adalah Pekat, Sanggar dan Tambora. Sisa-sisa kerajaan itu pun tertimbun lahar puluhan meter.

            Kebiadaban tidak boleh terjadi pada siapapun dan atas nama apapun demikian tulis Linda. Inilah cara unik linda menuliskan sikapnya. Tulisan Linda barangkali adalah suara lain itu, cara lain untuk menyatakan sikap pada ketidakadilan, penindasan, dan kebiadaban. Di tulisan lain, Linda juga mengkritik tentang jawanisme yang membuat Soeharto maupun pemerintah setelahnya yang hanya menganggap situs-situs dan peninggalan kerajaan yang ada di jawa tengah, yang dinilai sebagai cagar budaya. Sedangkan di Jawa Barat, perlakuan tak secantik peninggalan cagar budaya yang ada di Jawa Tengah. Sehingga banyak peninggalan kerajaan di Jawa Barat seperti kerajaan Sunda tak begitu terawat seperti yang ada di Jawa Tengah.

            Meski menyoroti banyak hal, setidaknya tulisan Linda memiliki benang merah ia menulis orang-orang pinggir, tak ramai, sepi dari perhatian tapi memiliki moralitas, heroism yang patut dicatat oleh sejarah pula. Ia meneroka kisah sejarah keluarga, jadi cerita panjang tentang sejarah perjuangan di masa lampau sama seperti saat ia menuliskan cerita kakeknya. Ini mengingatkan saya tentang cerita para korban lumpur Lapindo yang tak dicatat, tak ditulis. Mereka seperti pahlawan yang tenggelam, mati dan dilupakan.

           

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Koordinator Sarikat Taman Pustaka

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan