negeri-senja-novel-seno-gumira

Menunggu Senja

Senja tak datang, aku mengerang pada ombak dan bulir pasir yang sedari tadi menggelitik ujung kaki. Aku terpaku senja yang kutunggu tak juga muncul. “Apa dia lupa?” Sedang remang semakin pekat, semakin mesra mencumbu malam. Aku iri pada remang, aku iri pada malam, tapi senja tak juga datang, ‘Biadab’. Aku diam dalam pekat yang memikat, dalam sepi dan gigil yang melekat. Kepalaku semakin subur menanam sepi, menanam puisi dan huruf, menjejalinya dengan berbagai kenangan tentang aku dan senja. Lagi-lagi ‘Biadab’ Semuanya kadung membuku dalam batok kepalaku, dan aku masih menunggu. Menunggu senja membiaskan jingga di mataku.

Mungkin ombak sudah mulai bosan mendengar keluhanku tentang hidup, melihatku berteman muram, hingga dia marah, meludahiku dengan buih dan pasir. Aku membisu, menunggu andai waktu tak saling bersekutu lindap dalam gelap yang terapung, seperti buih yang hanyut dan lenyap di dasar laut.

Pernahkah kau merasa telinganmu berdenging ketika mendengar suara ombak yang membentur karang, bahkan ketika buih-buih seperti menjerit, atau mungkin menertawakan, ya menertawakanku yang menunggu, menunggu sambil menghitung berapa banyak jejak kaki yang kubuat sendiri. “Kau gila!” Aku hanya tersenyum ketika orang-orang mulai memakiku dan menganggapku gila. “Dia gila karena menunggu kekasihnya” Atau mereka hanya akan memandang sekilas kemudian berlalu sambil menggelengkan kepala. “Kasihan…” Gerutu mereka. Mereka tidak tahu, aku sedang menunggu senja, di pantai ini aku menunggu lengkung senja yang memerah, sinarnya yang keemasan memantul pada riak air laut. “Ini adalah senja untukmu” Ucapnya, tiga tahun lalu.

Yu, kekasihku yang pergi bersama ombak setelah mengalungkan senja pada leherku. “Tuhan begitu mencintaimu Yu..” Aku tahu kau begitu mencintaiku, sehingga kau selalu mengirimkan senja untukku. Aku dapat melihat wajahmu dalam cahaya senja yang mulai meredup, setiap kalinya aku menatap senja aku seperti melihat wajahmu, hanya dengan ini aku bisa melepas rindu. “Kau tahu kenapa tuhan menciptakan senja?, senja adalah hadiah untuk siang dan malam” Awan-awan itu seakan mementaskan setiap gerak dan ucap dari bibirmu tentang senja.

Kau bilang kau sangat menyukai pantai, suara ombak yang berdebur mampu menutup pendengeranmu tentang bagaimana orang-orang bergunjing, memaki, bahkan mengutukmu. “Menyelamlah, maka kau akan tahu betapa tuhan begitu sempurna menciptakan keindahan di bawah sana, akan kutunjukan padamu terumbu karang dengan segerombolan ikan badut” Katamu.

“Aku tidak mau, aku takut, aku tidak bisa berenang, bagaimana kalau di bawah sana ada ikan hiu. Lebih baik aku mencari cangkang kerang di pesisir pantai sambil menunggumu mengagumi para ikan badut di bawah sana” Dan kau selalu bercerita tentang indahnya bunga sakura yang mekar pada saat musim dingin tiba. Putihnya butiran salju yang membasahi mantelmu, saat kau berselancar di atas gunung Hakuban. Sedang aku begitu mengagumi edelweis yang tumbuh subur di puncak Pangrango tempat di mana beberapa capung dan kupu-kupu beranak pinak. “Sudahlah aku tak mungkin ke sana, tempat itu begitu jauh dan aku tak punya cukup tenaga untuk berselancar di atas tumpukan es” Kataku.

“Bukan kau tak bisa, tapi kau tak pernah mau mencoba”

****

Mentari tak menampakkan rona merah di wajahnya, mendung tebal bergelayut, tak ada angin yang meniup kabut “Apa kau sedang berduka?” Tanyaku. Aku ingin berlari menuju hutan puisi, sama seperti ketika kutemukan huruf-huruf yang kau rangkai jadi kalung, dan hujan memenuhi matamu. “Aku pergi dulu” Katamu. Kemudian kau membalikan punggungmu, langkahmu semakin menjauh meninggalkan aku yang masih termangu menatap punggungmu. Masih kukenali punggungmu diantara lalu lalang orang. Kereta datang dan membawamu pergi, hatiku senyap. Setelah itu tak lagi kulihat wajahmu, hingga suatu malam kau datang dengan sayap putih, kau terlihat begitu tampan.

“Kau seperti malaikat”

“Di mana kau tinggal sekarang?”

“Surga kah?”

Kau hanya diam, tak sepatah kata pun terucap dari senyum simpul bibirmu, kau berbalik memunggungiku, sama persis ketika kau meninggalkanku di stasiun kereta waktu itu. “Tunggu aku ikut” Teriakku. Kau berbalik menatapku “Tetaplah di sini, karena aku mencintaimu. Akan kukirimkan senja untukmu” Kau terus berjalan tanpa memperdulikan teriakanku, aku berlari kakiku terasa begitu lelah. Aku terbangun, hujan deras di luar sana. Berita pagi mengejutkanku, berita tentang kepergianmu, kau benar-benar pergi, pergi meninggalkan kabut di mataku.

****

Kini pantai ini menjadi tempat menunggu untukku , menunggu senja yang kau kirimkan. Meski senja tak semesra dulu, saat kau mengalungkan sinarnya untukku. Pantai ini terlihat lebih murung, ketika ombak tak lagi menyampaikan pesan pada karang, ketika senja mengubah warna, merah kekuningan, kemudian hitam direnggut malam. “Pekat…” Ada dingin yang kau selipkan pada setiap senja yang kau kirim, masih bisakah kuhirup embun dari daun?. Sementara raga semakin renta. Tutup usia.

Senja memang indah untuk dikenang tapi tidak mudah untuk dijalani, begitulah senja pergi saat remang mulai mencumbu malam, dia meninggalkanku sendiri, memaksaku berdamai dengan sepi. “Semestinya kau pergi saat senja beranjak pergi, lalu menyongsong malam serta asik mencumbunya tanpa membiarkan diri disayat sepi” Aku mencari sumber suara itu, namun tak ada seorang pun yang berdiri di dekatku, lantas siapa yang berbicara tadi?, malam kah? Atau ombak?. Mungkin memang benar sudah saatnya aku pergi, aku tak akan menunggu senja di kemudian hari. Aku sudah tidak tahan selalu disayat sepi, dan biarlah aku melebur bersama ombak, menyongsong malam. “Aku datang Yu……”.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan