syair-mistik

Menyelami Syair Mistik Rumi

Jalaluddin Rumi, bisa dikatakan milik Barat dan Timur. Barangkali kalimat itu yang bisa kita ungkapkan untuk menggambarkan sesosok Rumi. Suara Rumi seperti menggema tak hanya di Timur, tetapi juga di Barat. Apa yang membuat Rumi tampak bersinar di Timur dan Barat? Mungkin karena yang ditinggalkan bukan sesuatu yang rasional, melainkan sesuatu yang menyentuh jiwa, yakni puisi. Atau khalayak juga lebih mengenalnya sebagai puisi sufi, syair mistik.

Meminjam ungkapan dari Rumi: Puisi adalah notasi-notasi kasar dari musik yang adalah (keseluruhan) diri kita”. Puisi begitu mudah memasuki relung hati dan perasaan siapa saja yang menerimanya. Puisi Rumi tidak sekadar puisi, tetapi puisi Rumi adalah puisi mistikus, puisi religius, puisi yang berisi persembahan dan sebuah pujian kepada Tuhan. Di puisi Rumi, kita menemukan sesuatu yang lain, yang membuat kita merujuk ke dalam, dan kedalam. Ada kedamaian, ada keindahan dan kesejukan yang kita rasakan dalam puisi-puisi Rumi.

Jalaluddin Rumi semula adalah seorang intelektual, seorang ulama terkemuka. Ia dididik dan dibesarkan oleh Ayahnya Bahauddin Walad, yang juga seorang ulama terkenal. Ia juga belajar dari berbagai guru yang dalam usia belia membuat banyak orang terpukau. Tapi, apa yang dialami Rumi berubah seketika, ketika ia mengalami transformasi spiritual setelah bertemu dengan Syamz dari Tabriz. Banyak riwayat menyebutkan, bahwa Syamzlah yang membuat perubahan spiritual pada diri Rumi. Syamz seperti merubah tabiat intelektual dan ulama dari Rumi menjadi pribadi yang halus, lembut dan menjadi penyair yang mahsyur. Syair-syair Rumi dikenal luas bukan hanya karena keindahannya, tetapi lebih dari itu, syair Rumi juga dipercaya sebagai syair mistik, yang hadir seperti wahyu. Karena itulah, syair mistik Rumi tak bisa diucapkan ulang oleh Rumi. Rumi pun mengucap syair itu, dan ditulis oleh juru tulisnya. Bahkan dalam pengantar buku ini, Haidar Bagir menyitir pendapat Jami tentang Rumi: “Apa yang harus kukatakan untuk memuji pribadi yang luhur ini?, ia bukan nabi, tapi ia mempunyai kitab”. Kitab puisi itulah yang ditinggalkan oleh Rumi yang dikenal sebagai Matsnawi.

Sebagai penyair sufistik, Rumi seperti memasukkan kebijaksanaan, ilmu dan pengetahuan yang ia punya ke dalam syairnya. Selain itu, syair-syairnya membawa kita kepada Tuhan, kepada diri, kepada kedalaman. Syair Rumi seperti para darwis yang membawakan tarian sema. Semakin kedalam, semakin berada dalam hakikat diri yang memabukkan. Karena itulah, puisi-puisinya terkesan menenteramkan, menyejukkan, dan membawa kita kepada permenungan diri lebih kental.

Buku Belajar Hidup dari Rumi (2015) yang ditulis oleh Haidar Bagir ini adalah serpihan puisi-puisi Rumi yang mencoba untuk memberikan gambaran betapa menakjubkan dan mengagumkan puisi Rumi. Dari puisi-puisi Rumi ini, kita diajak untuk semakin belajar tentang hidup kita. Kita bisa menyimak kutipan puisi berikut ini:

Jiwa adalah  cermin bening
Tubuh adalah debu diatasnya
 kecantikan dalam diri tak tampak
 karena kita tersuruk di bawah debu.

Puisi ini memiliki makna bila berkehendak untuk mendapatkan pencerahan, kita mesti mengendalikan nafsu badaniah. Kutipan puisi di buku ini memang sengaja pendek dipilih oleh penulis yang semula untuk twitter. Namun, meski pendek, kutipan puisi Rumi ini tak menghilangkan pesona puisi Rumi.

Pada syair-syair Rumi, kita diajak untuk masuk ke dalam hati kita, memasuki ceruk terdalam dari jiwa kita.

Jangan gerak! Diamlah!
bertemanlah dengan kesenyapan, masuklah
menyelamlah kedalam hatimu
cutilah sehari dari kebisingan.

Di syair lain, kita akan menemukan syair menggunakan kata ‘hati’. Hanya dari hatimu / kau bisa sentuh langit (h. 160). Rumi seperti sengaja menggunakan kata “hati” untuk menguatkan dan menunjukkan pesan syairnya. Sepertinya syairnya memang sengaja diciptakan untuk menyentuh jiwa, menyentuh hati.

Selain banyak menyebut kata “hati”, syair-syair Rumi juga banyak menyebut tentang cinta. Pasrahlah pada cinta / tanpa berfikir (h. 266). Cinta adalah jalan yang melaluinya / pesuruh dari kegaiban mengajari kita segala sesuatu (h. 277). Mari jatuh cinta lagi / mari terbangkan debu-debu emas keseluruh dunia / kembalikan cinta / hanya itu yang dapat dunia bersinar bahagia (h. 260). Kata “cinta” di sini merujuk pada tuhan. Syair-syair Rumi memang merujuk kepada Tuhan. Ia seperti tenggelam dalam pujian yang indah kepada yang dicintainya, yakni Tuhan pemilik cinta.

Sebagai seorang ahli kalam, Rumi pun pernah mengalami apa yang dialami oleh Al-Ghazali yang merasa kurang puas dalam belajar ilmu kalam. Ia pun akhirnya mencari sesuatu yang lentur, dan bisa menggugah kesadaran manusia. Pada akhirnya, pilihannya jatuh pada : puisi. Melalui puisi, syair, dan kata-kata, seperti keyakinan Rumi, kita mampu menyentuh jiwa seseorang. Di novel karya Elif Shafak kita bisa menemukan percakapan menarik mengenai prediksi Syamsudin tentang Rumi. “Suatu hari kamu akan dikenal sebagai Suara Cinta, Di Timur dan Barat, orang-orang yang belum pernah melihat wajahmu akan terinspirasi oleh suaramu”. “Bagaimana itu bisa terjadi?” Rumi bertanya kepada Syamz. “Melalui kata-katamu”, tapi maksudku bukan pelajaran atau khotbah, maksudku puisi.” “Puisi?”, Rumi retak suaranya, “aku tidak menulis puisi, aku seorang cendekiawan”. Syamz menutup percakapan dengan mengatakan : “ Kau, sahabatku, adalah salah satu penyair terbaik yang kelak pernah diketahui dunia” (Shafak, 2014: 291).

Melalui puisi-puisinya, Rumi sebenarnya membawa kita mencapai perenungan terdalam kedalam diri. Karena bila kita sampai pada hakikat diri itulah, kita akan menemukan Tuhan. Sebagaimana di puisinya berikut : Kalau tak Kau temukan Aku dalam dirimu, maka takkan pernah Kau temukan Aku (h.167).

*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan