puisi-indonesia-karya-chairil-anwar

Menyelasar (Be-)ragam Teks

Konon, bahasa selalu diproduksi, dipertukarkan, dan diterima dalam wujud sebuah teks. Sebab itu, bahasa sebagai sebuah sistem komunikasi diorganisasikan sebagai unit-unit yang kohesif di dalam sebuah teks. Sebuah teks mesti dipahami sebagai tindakan komplet dari komunikasi dengan makna yang utuh bagi mereka yang terlibat dalam komunikasi tersebut. Sebab itu, tafsir atas sebuah teks lebih sempurna dibandingkan tafsir terhadap unit atau satuan lebih kecil di bawahnya, seperti paragraf, kalimat, klausa, frasa, atau kata. Satuan-satuan itu memiliki makna, tapi parsial dan tidak sempurna sehingga makna yang disalurkan bisa bergeser.


Teks yang tersebar (be)ragam. Maka, orang-orang mengkarakteristik teks-teks tersebut berdasarkan ciri-ciri tertentu dan tujuan-tujuan tertentu. Lalu, lahirlah genre-genre teks dengan pendefinisian dan strukturnya masing-masing. Selain itu, pilihan bahasa yang dipakai pun, seperti formal-nonformal, santai-resmi, sastra-ilmiah, akan menyebabkan satu teks dengan teks lain berbeda genrenya. Sebuah puisi, misalnya, secara karakteristik bahasa yang dipergunakan berbeda dengan pemerian saintifik tentang gerhana matahari; puisi menggunakan bahasa emotif yang menyentuh dan bermain-main di perasaan orang yang membacanya, sebaliknya pemerian saintifik gerhana matahari berada pada ranah pikiran orang yang membacanya.
Sepertinya, ketika sebuah genre terbentuk, maka dibarengi dengan konvensi. Konvensi yang memaksa penulis untuk mengikutinya dan memaksa pembaca menyiapkan mental saat berhadapan dengan jenis teks tersebut. Kedua belah pihak menyepakati konvensi itu. Cobalah kita bayangkan sebuah teks prosedural tentang bagaimana menjalankan sebuah mesin akan memaksa penulis menggunakan pilihan bahasa dan struktur teks prosedur: bahasa formal (nonsastra) dan struktur berisi tahapan atau langkah-langkah yang harus dilakukan. Lantas, pembaca pun ketika mengetahui bahwa ia akan membaca teks prosedural, maka secara mental, ia menyiapkan dirinya untuk berhadapan dengan teks prosedur sehingga ia dapat menilai apakah betul teks yang dibacanya sebuah teks prosedur atau bukan.
Konvensi teks itu terus berlaku sebab terus-menerus diajarkan lewat sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Ya, genre makin banyak sebab terjadi pergeseran ciri pada sub-sub-genrenya, bukan pada tingkatan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, dulu Wellek dan Waren membagi kesusastraan dalam tiga genre besar, yaitu puisi, prosa, dan drama. Akan tetapi, prosa terbagi ke dalam subgenre, yaitu cerpen, novel, dan roman. Lalu, sub-genre novel memiliki sub-sub-genre lagi, seperti horor, petualangan, dan seterusnya. Asumsi saya adalah pada tingkatan sub-sub-genre itulah akan sangat dimungkinkan muncul genre baru lagi sebab makin tipis perbedaan yang tampak.
Lantas, kita pun sering mengaitkan nama-nama penulis dengan genre tertentu seakan-akan sudah menjadi jaminan bahwa penulis tersebut hanya akan menulis genre yang sama, tidak berubah. Sebetulnya, ini hanya berkaitan dengan dominan karya yang ditulisnya. Sebagai contoh, Chairil Anwar selalu dikaitkan dengan genre puisi, Pramudya Ananta Toer dikaitkan dengan genre novel, Arifin C. Noer dikaitkan dengan drama, H.B. Jassin dengan kritik dan esai, dan seterusnya. Hal yang sama pun terjadi pada karya nonsastra. Tapi, sekali lagi pengaitan penulis dengan jenis genre tertentu secara mutlak keliru sama sekali.
Setiap genre teks memiliki struktur sendiri. Struktur-struktur itu menjadi dasar terbentuknya keutuhan sebuah teks. Sebuah puisi modern memiliki struktur, seperti judul, isi, dan keterangan tempat dan waktu. Struktur sebuah teks eksposisi terdiri atas tesis, argumen-argumen, dan pernyataan ulang tesis. Namun, perlu kita pahami sekali lagi bahwa meskipun ada konvensi yang berlaku, tulis-menulis adalah dunia kreativitas yang terus-menerus membuka diri terhadap ide, gagasan yang berbeda yang memungkinkan membentuk konvensi baru lagi.
Wallahu a’lam.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan