kurikulum-2013-bahasa-indonesia

Menyilik Teori Kebahasaan di Kurikulum 2013: Mata Pelajaran Bahasa Indonesia

Kurikulum 2013 (selanjutnya saya tulis K13) sudah cukup membuat heboh negeri ini beberapa waktu lalu. Kehebohan itu disebabkan pemberlakuannya yang dianggap tergesa-gesa padahal berbagai persiapan teknisnya belum tuntas diselesaikan oleh Pemerintah, mulai dari distribusi buku pelajaran yang belum sampai ke seluruh sekolah sampai kepada belum semua guru mendapat pelatihan bagaimana menerapkan K13 itu dalam proses pembelajaran mereka di kelas-kelas. Ketidaksiapan guru menerapkan K13 terlihat saat sebagian besar guru dibuat kalang kabut ketika harus mengisi buku rapor siswa yang berisi penilaian hasil belajar anak didik mereka. Syukurnya, K13 mendalami penundaaan sehingga sedikit menghentikan kehebohan tersebut.

Terlepas dari masalah teknis tersebut, ada hal lain yang semestinya dicermati dari K13, lebih khusus pada content (isi) mata pelajaran. Dalam kasus mata pelajaran bahasa Indonesia, misalnya, berdasarkan buku sekolah yang didistribusikan Kemendikbud[1], ditemukan konsep atau teori kebahasaan yang berbeda sama sekali dengan konsep atau teori yang selama ini dipahami dan dikuasai oleh guru-guru sekolah. Sayangnya, masalah ini kurang menjadi perhatian. Padahal kekurangpahaman atau kekurangpenguasaan guru terhadap sebuah konsep atau teori akan menyebabkan guru menyampaikan konsep-konsep yang keliru (misconception) yang akan terus dibawa dalam pemahaman anak.

Apa saja konsep atau teori baru yang terdapat dalam mata pelajaran bahasa Indonesia pada K13?

SFL-pada-kurikulum-2013

Ilustrasi: en.wikipedia.org

Pertama, teori tata bahasa (grammar) dari mazhab Systemic Functional Linguistic (SFL). Teori tata bahasa SFL ini dipelopori oleh M.A.K. Halliday yang pernah menjadi guru besar di University of Sydney, Australia. Saya sering mengibaratkan Halliday sebagai “nabi” bagi para penganut SFL. Teori SFL sampai ke Indonesia dibawa oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia yang saya ibaratkan sebagai para “pendeta”. Setahu saya, teori SFL ini kurang dibahas dalam perkuliahan di jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Biasanya, SFL dibahas sambil lalu saja, berbeda dengan teori linguistik strukturalisnya Ferdinand D. Saussure atau transformasi generatifnya Noam Chomsky. Menariknya, beberapa teman yang berkuliah di jurusan bahasa Inggris, konon katanya, mendapatkan teori SFL lebih utuh.

Sebagai contoh konsep SFL yang berbeda dengan konsep yang selama ini dipahami oleh guru, misalnya, fungsi-fungsi sintaksis dan frasa. Selama ini, hampir semua siswa dan kita, ketika ditanya pola kalimat atau jabatan kalimat umumnya membayangkan konsep subjek (S), predikat (P), objek (O), keterangan (K). Perlu saya sampaikan pula bahwa dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia—yang merupakan buku standar tentang tata bahasa dan dikeluarkan oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa—dikenal konsep Subjek (S), Predikat(P), Objek(O), Pelengkap (Pel.), dan Keterangan (K) di mana objek dan pelengkap dibedakan berdasarkan pada bisa atau tidaknya menduduki fungsi subjek ketika kalimat dipasifkan. Namun, menurut teori SFL, pada klausa (kalimat) itu, unsur yang ada adalah subjek (S), predikat (P), pelengkap (Pel.), dan keterangan (K). Jadi, murid-murid sekolah yang menggunakan K13 tidak lagi mengenal unsur objek dalam kalimat. Objek digantikan dengan istilah pelengkap.

Berkaitan dengan frasa, SFL hanya mengenal frasa preposisional, tidak ada bentuk frasa lain, seperti frasa nominal, frasa verbal, atau frasa adjectival. Bentuk seperti rumah baru, sedang makan, dan sangat baik oleh SFL dianggap bukan frasa, melainkan kelompok kata (grup). Padahal, selama ini guru-guru sekolah justru menganggap contoh-contoh tadi itu adalah frasa, yakni frasa nominal, frasa verbal, dan frasa adjectival.

Kedua, perubahan pembelajaran menulis (atau membaca) yang tadinya berbasis paragraf menjadi berbasis teks. Pada umumnya, kita memahami paragraf sebagai penggalan dari sebuah wacana atau bacaan yang utuh, sedangkan teks adalah keseluruhan wacana atau bacaan yang terdiri atas beberapa paragraf. Dalam definisi yang diberikan dalam buku Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik, teks didefinisikan sebagai satuan lingual yang dimediakan secara tulis atau lisan dengan tata organisasi tertentu untuk mengungkapkan makna secara kontekstual. Teks memiliki struktur yang berbeda bergantung pada jenis atau genrenya.

Biasanya, guru-guru menjelaskan tentang bagaimana menulis paragraf dan mengembangkan ide pokok menjadi sebuah paragraf yang utuh, maka pada K13, guru harus menjelaskan bagaimana menulis sebuah teks dengan struktur-struktur yang sudah ditentukan sebagai ciri khas dari jenis teks tersebut. Bagi saya, perubahan ini sangat baik sebab pada dasarnya sebuah teks merupakan bentuk komunikasi di mana makna utuhnya hanya bisa dipahami dalam situasi yang kontektual ketika teks itu diproduksi.

Harapan saya pada perubahan konsep atau teori pada mata pelajaran bahasa Indonesia di K13 adalah perubahan yang bisa menjadikan proses pembelajaran menyenangkan sekaligus bisa membuat anak didik menguasai keterampilan-keterampilan berbahasa dengan baik. Untuk mencapai itu, seyogyanya guru-guru pun mendapat pelatihan berkaitan dengan content (isi) mata pelajaran juga. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Taman Margasatwa, 29 April 2014.

[1] Buku sekolah tersebut adalah Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik (edisi revisi) untuk kelas X yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan