eksistensi-manusia-dalam-cerpen-eka-kurniawan

Merasakan Getirnya Eksistensi Manusia

Apa yang Anda pikirkan jika berjumpa dengan lelaki yang melepas cincin pernikahannya ketika bertemu perempuan yang baru dikenalnya? Jika seorang suami menceraikan istrinya karena curiga buta, apa yang singgah dalam benak Anda? Bagaimana Anda berkomentar ketika seseorang, di zaman modern ini, begitu mempercayai mimpi? Pernahkah Anda berhadapan dengan kepolosan seorang anak dihadapan persoalan yang kompleks, misalnya, memasukkan gajah ke dalam kulkas? Apa pandangan etis Anda tentang  wacana transgender?

Kumpulan cerpen Eka Kurniawan, “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi”, akan menyuguhi kita dengan wacana-wacana seperti di atas. Wacana-wacana yang (mungkin) akrab dalam keseharian kita. Wacana yang kerap jadi skenario utama dalam drama kehidupan manusia. Manusia dibuatnya berada diantara ironi dan kepolosan.

Bagi saya pribadi, kumpulan cerpen ini bertemakan tentang pergulatan eksistensi manusia. Eksistensi, dimana didalamnya pun bergulat persoalan tentang esensi, selalu menawarkan pilihan-pilihan. Dalam pilihan-pilihan inilah lahir keputusan. Keputusan selalu jadi penentu kualitas kemanusiaan seseorang. Tak jarang juga, keputusan-keputusan ini menjadi titik balik manusia untuk melompat ke arah yang lebih baik. Atau malah berubah jadi titik matinya.

Yah, begitulah manusia. Manusia, sejak diciptakan, memang sudah ditakdirkan untuk selalu memilih. Manusia, dalam segala ketidaktahuannya perihal masa depan, terpaksa harus melompat dengan iman dalam tuntutan untuk mengambil keputusan sesegera mungkin. Masa depan adalah misteri. Entah sial atau tidak, misteri harus bersahabat dengan pilihan. Karena konsekuensi yang dihadirkannya, beberapa diantara kita (mungkin) pernah bertanya, “Apakah kemampuan manusia untuk memilih adalah sebuah takdir atau kutukan?”

Kumpulan cerpen Eka Kurniawan ini, setidaknya berhasil membuat saya tersenyum dalam merenungi kehidupan manusia. Namun, bukan senyum bahagia yang diberikannya, melainkan senyum kegetiran. Getir karena kumpulan cerpen ini menghidangkan di hadapan kita tentang kekonyolan, kebodohan, kepolosan, dan berbagai ciri irasional lainnya dalam diri manusia. Anehnya, segala irasionalitas itu ditujukan untuk mencari, apa yang kita kenal dengan istilah, kebahagiaan dan kepuasan. Akhirnya, lewat kumpulan cerpen ini, saya sendiri diajak kembali bertanya, “Sesungguhnya, apa itu yang rasional dan irasional? Betulkah ada demarkasih yang tegas diantara keduanya?”

Bagi saya pribadi, kepiawaian Eka Kurniawan dalam bercerita tak perlu lagi diragukan. Kemampuannya membangun karakter setiap tokoh dalam cerpennya sangat mumpuni. Konflik-konflik yang ditawarkannya pun mengejutkan. Misalkan saja tentang konflik ayah dan anak yang bertengkar menyoal siapa ayah kandung dari perempuan yang pernah mereka tiduri bersama, dalam cerpen “Penafsir Kebahagiaan”. Penyelesaian konflik-konflik itu pun, bagi saya pribadi, selalu menyentak diakhirnya. Itulah kekuatan yang berhasil menghadirkan senyum getir pada saya diakhir setiap cerpen.

Menurut saya, cara bertutur Eka Kurniawan, hampir sama dengan kumpulan cerpennya yang lain, “Corat-Coret di Toilet”. Bahasanya lugas dan sederhana. Alurnya mudah diikuti. Ini membuat kisah dalam kumpulan cerpen ini jadi mudah dinikmati.

Kreatifitas Eka Kurniawan dalam mengangkat tema-tema sederhana menjadi cerpen yang bermutu memang patut diacungi jempol. Genre yang dia mainkan pun, bisa dikatakan beragam. Dalam cerpen berjudul “Cerita Batu” dan “Kapten Bebek Hijau”, dia menulis dengan gaya fabel. Namun, pada cerpen berjudul, “Teka-Teki Silang” dan “Membakar Api”, dia bercerita dengan gaya misteri.

Selain mengajak untuk memasuki ceruk-ceruk eksistensial kehidupan manusia, bagi saya pribadi, kumpulan cerpen ini juga cukup menghibur. Dia menghibur karena imajinasi yang ditawarkannya begitu cerdas dan brilian. Jadi tak mengherankan, jika kumpulan cerpen bersampul dominan kuning ini, sudah naik cetak empat kali.

Kumpulan cerpen ini, setidaknya berhasil, bukan hanya menghibur, tapi juga mengajak saya merefleksikan tentang manusia dan drama kehidupan. Tidak tertutup kemungkinan, Anda pun mungkin bisa diajaknya merasakan seperti apa yang saya rasakan.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan