moral-dalam-sastra

Moral, Sebagai Beban Para Pencari Kebenaran

Pencarian kebenaran adalah usaha yang dilakukan manusia sejak awal kehidupan. Hadirnya usaha ini menjadikan dunia memiliki dinamika yang membawa kehidupan manusia ke jaman yang lebih baik. Namun usaha ini memiliki tantangan yang tidak ringan. Untuk ukuran individu, manusia yang mencoba melakukan usaha ini menghadapi suatu realitas dalam masyarakat yang belum tentu memiliki kehendak yang sama terkait penilaian tentang kebenaran. Mereka yang berusaha mencari kebenaran justru sering menghadapi perlawanan ketidaksepakatan dari jaman.

Mereka yang berusaha mencari kebenaran terkadang juga sering sengaja ditumbangkan oleh masyarakatnya sendiri, karena ketidaksiapan masyarakat menerima apa yang mereka temukan. Mereka ini yang sering kita sebut sebagai tokoh. Kisah dari tokoh-tokoh inilah yang akan menyumbang pengaruh dalam kehidupan. Kebanyakan dari tokoh ini sengaja diasingkan oleh masyarakat pada jamannya sendiri. Tidak sedikit dari mereka yang justru berhadapan dengan hukum atau dianggap gila. Pemikiran yang mereka bawa dianggap melenceng dan menyalahi aturan, baik aturan agama sampai sosial. Aturan yang diciptakan oleh manusia sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih baik ternyata justru dapat mengurung manusia dalam kondisi ketidaktahuan.

Banyak sekali standar yang harus dispakati dalam kehidupan bermasyarakat. Tak sedikit diantaranya justru menjadi batasan yang memisahkan manusia dengan kebenaran. Salah satu yang harus dihadapi tokoh-tokoh dalam memperjuangkan kebenaran adalah standar moralitas dalam masyarakat. Moral yang dihadirkan sebagai panduan dalam kehidupan masyarakat justru mampu menjadi tantangan yang membebani usaha dalam pencarian kebenaran. Manusia dan moral adalah hal yang berkaitan namun sulit sekali dipahami. Hal ini karena moral hadir sebagai penampakan nilai positif manusia di tengah kompleksitas hubungan antar manusia. Setiap pribadi memiliki standar dan pemahaman masing-masing terkait moral, menyebabkan kesepahaman terkait moral sulit dicapai. Keberagaman di tengah masyarakat adalah faktor utamanya.

Kisah hidup Leo Tolstoy adalah salah satu contoh betapa moralitas menjadi salah satu beban berat yang dihadapi seorang manusia. Tokoh seperti Tolstoy memiliki sumbangsih yang besar dalam membangun sebuah kajian terkait moral itu sendiri dalam kehidupan. Ini bisa dilihat dari realitas kehidupan yang dia tuangkan lewat karya-karya fiksi yang dia ciptakan. Tolstoy yang saat ini dikenal akan kebijaksanaan tulisannya, harus mengalami pahitnya realitas kehidupan di tengah pengabdian sosial pada jamannya. Yang menjadikannya pahit adalah bahwa usahanya ini tidak juga dimengerti oleh lingkungannya sendiri. Bahwa nilai-nilai moral yang dipahaminya ternyata berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya.

Para pengamat sastra Rusia klasik memperkirakan menjelang kematiannya Tolstoy menderita kekecewaan batin yang memberi tekanan besar pada jiwanya. Keinginannya untuk menggunakan semua kekayaannya dalam membantu kaum miskin, tak disetujui orang terdekatnya sekaligus istrinya sendiri. Usahanya menerbitkan buku-buku tipis yang akan dibagikan secara gratis agar semua kalangan masyarakat kelas bawah dapat menikmati sastra, juga tak mendapat dukungan dari siapa pun. Belum lagi Tolstoy mendapat kecaman dari pemerintah dan gereja Rusia karena dianggap tertarik pada mistik dan moralitas. Walaupun penelitian secara mendetail tentang hal ini belum ada, namun banyak pihak yang berkesimpulan demikian.

Konflik batinnya tersebut dapat dilihat dari bukunya “Sebuah Pengakuan” yang berisi paparan sikap seorang moralis ekstrem yang mengecam segala bentuk kesenangan duniawi. Ia juga menulis cerita pendek dan artikel-artikel bercorak keagamaan. Hingga pada suatu hari, Tolstoy meninggalkan rumah, tanpa pamit kepada istri dan anak-anaknya. Banyak yang menduga Tolstoy pergi untuk menjadi pertapa dan hidup meninggalkan materi di tengah kehidupan masyarakat kelas bawah. Beberapa hari kemudian, dia jatuh sakit dan ditemukan meninggal dunia di sebuah stasiun kereta api.

Moral adalah pegangan hidup yang ternyata dapat sekaligus menjadi beban bagi Tolstoy. Hadirnya ketidaksepahaman standar nilai positif seseorang dengan masyarakat di sekitarnya akan menghadirkan beban batin yang berat. Bahkan Tolstoy yang memiliki usaha besar dalam memahami moralitas nyatanya harus merasakan tekanan emosional yang besar. Tekanan seperti ini hadir dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia. Jika menilik sejarah tokoh-tokoh pemikir seperti Tolstoy, perang batin bagi mereka yang mencoba memahami realitas justru hadir semakin kuat sejalan dengan pemahamannya. Semakin paham maka semakin berat beban yang dipikul. Kita bisa temukan kisah seperti ini ketika membuka sejarah pemikiran manusia, mulai dari Socrates sampai Gibran pernah merasakan beratnya realitas moral yang dihadirkan masyarakat di sekelilingnya. Bahkan Nabi Muhammad SAW harus berhijrah ke Madinah saat lingkungannya di Mekah tak memiliki standar moralitas yang mampu menerima ajarannya yang syarat akan nilai positif.

Untuk kita yang hidup di jaman ini setidaknya bisa berterimakasih sekaligus mengambil pelajaran dari kisah-kisah tokoh tersebut. Namun banyaknya kisah perjuangan dari tokoh-tokoh seperti Tolstoy nyatanya tak menjadi jaminan bagi kita yang hidup di masa ini memiliki masalah yang lebih ringan terkait realitas moralitas masyarakat. Seperti halnya mereka, kita juga berhadapan dengan realitas yang tak jauh berbeda. Sepanjang sejarah manusia, masalah seperti ini selalu hadir berulang. Banyak sekali masalah dengan inti yang sama, hanya konteks waktu dan detailnya saja yang berbeda. Yang menjadi penting adalah bahwa usaha kita memahami sekaligus memperjuangkan suatu nilai kebenaran adalah suatu kewajiban. Resiko memahami moral dan memperjuangkan nilai-nilai yang positif memang besar. Dan contoh tokoh-tokoh yang mengalami tragisnya hal ini juga banyak. Namun kebenaran yang dibawa tetap harus diperjuangkan.

Yang sering terjadi adalah manusia akan menyerah ketika kebenaran yang dia temukan ternyata tidak bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan manusia berhenti dan hanya diam dalam sebuah zona nyaman. Banyak yang lebih memilih tutup mata dan berdiam diri ketimbang meneruskan pencarian akan suatu kebenaran. Hal ini tentunya akan menodai kehidupan manusia itu sendiri, bahwa dirinya lebih memilih hidup dengan ketidaktahuan. Menjadi suatu kesalahan besar ketika manusia yang dibekali akal budi dan bangga akan anugrah tersebut justru memilih tak menggunakannya. Apa bedanya dengan mati jika manusia tidak hidup dalam usaha mencari suatu kebenaran.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan