lukisan-mural-di-jalan

Mural di Seberang Jalan

Seorang lelaki duduk berhadap-hadapan dengan pacarnya di teras sebuah minimarket. Mereka memilih tempat yang agak jauh dari pintu agar tidak terganggu lalu-lalang orang yang keluar masuk. Mereka duduk dibarisan kedua dari ujung diantara delapan meja kursi yang sama, berjejer rapi di sepanjang teras minimarket itu. Tepat di tengah-tengah jejeran meja kursi itu sebuah pintu otomatis dari kaca selalu menyambut pengunjung yang datang. Di bagian dalam, jejeran meja dan kursi tidak kalah banyak dengan yang ada di teras, hanya saja terasa sedikit penuh oleh rak-rak makanan ringan di bagian tengah dan lemari pendingin besar di salah satu sisi.

Minimarket itu menghadap ke arah jalan raya yang cukup padat oleh kendaraan. Sesekali andong juga tampak melintas, bergerak pelan menerobos asap dan debu yang beterbangan. Di seberang jalanan itu tembok berdiri kokoh sekitar dua meter dan memanjang sekitar 50 meter hingga persimpangan jalan, membatasi jalan dan lahan kosong di baliknya. Hampir seluruh badan tembok dipenuhi lukisan mural, karya seniman jalanan yang kehabisan media. Di ujung yang lain sebuah warung sate khas Madura berdiri dengan banner besar menggantung di bagian depan. Di bawah banner itu seorang pria tua bertopi berdiri di depan pembakaran satenya. Asap arang mengabut mengikuti irama kipas yang digoyangkan pria tua bertopi itu, kemudian angin menerbangkannya ke sekitar. Dibawanya aroma sedap sate yang menggelitik perut pengendara dan orang-orang di sekitar yang lapar.

Si lelaki tadi merebahkan punggungnya di sandaran kursi, memandang ke arah lukisan mural di seberang jalan. Matahari sore membuat lukisan itu tampak bersinar. Di antara lukisan mural yang memenuhi tembok itu samar-samar terlihat gambar seekor serigala meringkuk di depan kelinci putih yang sedang duduk. Kelinci itu tampak bahagia, ia tidak takut menjadi santapan si serigala yang murung. Si lelaki melamun. Sudah hampir sejam ia duduk di tempat itu tanpa banyak bicara.

“Aku suka lukisan mural di tembok itu. Menurutmu itu sebuah karya seni atau vandalisme?” Tanya si lelaki mencoba membuka obrolan.

“Jelas vandalisme, menuangkan karya seni tidak pada tempatnya itu bukan karya seni. Karya seni seharusnya untuk dipertontonkan kepada orang yang benar-benar ingin melihat karya itu, bukan di jalanan.” si pacar melepas pandangnya dari laptop dan melihat ke arah tembok.

“Kalau menurutmu?” si pacar balik bertanya.

“Aku tidak sepenuhnya setuju kalau dikatakan vandalisme. Lukisan itu tidak merusak tembok. Justru memperindah pemandangan. Aku yakin kamu pasti lebih suka melihat tembok dengan lukisan itu dari pada tembok kusam tanpa warna kecuali warna semen.”

“Tapi tetap saja ilegal.”

“Dari mana kamu tau itu ilegal?” sergah si lelaki.

“Aku yakin mereka tidak memiliki ijin menggambar di situ,” kata si pacar sembari melirik jam tangannya.

“Kamu belum pernah dengar ada komunitas mural di kota ini? Mereka tidak asal menggambar tembok kosong. Mereka terlebih dulu mengajukan proposal ke pemkot.”

“Apa mereka diberi izin?”

“Sejauh yang aku tau, tidak jarang berakhir dengan penolakan.”

Si pacar tersenyum kecut mendengar itu sambil terus sibuk mengetik dilaptopnya.

“Tapi lukisan mural itu berbeda dengan grafiti maupun coretan-coretan cat semprot yang jelas-jelas merusak,” si lelaki membela diri.

“Aku selesaikan dulu tugasku ya, kita lanjutkan nanti lagi obrolannya,” si pacar berkilah.

“Masih banyakkah tugas yang harus kamu selesaikan?”

“Seharusnya sudah selesai, tapi satu orang dikelompokku sakit dan ia memintaku untuk menyelesaikan bagiannya. Deadline sampai besok pagi.” si pacar menatap si lelaki sejenak dengan tatapan murung.

Mereka berdua terdiam. Si lelaki memandang kembali kearah lukisan mural di seberang jalan. Di warung sate Madura, pria tua bertopi masih sibuk mengipas satenya. Tidak begitu jauh dari tempat pria tua bertopi itu tampak sebuah gerobak terparkir. Di sebelahnya seseorang duduk di atas batu, bersender pada tembok penuh lukisan mural, tepat di bawah gambar serigala dan kelinci. Ia tampak mengipaskan topi lusuhnya ke bagian leher yang berkeringat.

“Kamu lihat serigala dan kelinci itu?” si lelaki berusaha melanjutkan obrolannya.

“Apa?” Tanya si pacar tidak mengerti.

“Lukisan serigala dan kelinci di tembok itu,” si lelaki menunjuk ke arah objek yang dimaksud.

“Ia aku melihatnya,”

“Tidak enak sepertinya menjadi serigala itu,” lelaki itu bergumam.

Si pacar tidak menghiraukan gumaman itu. Ia terus menyibukkan diri dengan laptopnya.

“Aku ke dalam sebentar ya, mau ke toilet,” kata si lelaki kemudian.

“Oke,” kata si pacar datar.

Si lelaki masuk melalui pintu depan melewati orang-orang yang mulai menempati kursi-kursi yang kosong. Di salah satu kursi bagian dalam seorang wanita muda mencuri perhatiannya. Wanita itu melakukan hal yang sama persis seperti yang dilakukan pacarnya, hanya saja ia tidak ditemani siapapun. Rambutnya yang panjang terurai kedepan, menutupi telinga dan sebagian pipinya.

Selepas dari toilet si lelaki menyempatkan diri mengambil dua roti coklat. Membayarnya dikasir dan kembali keluar melewati wanita muda tadi. Sebelum mencapai tempat duduknya si lelaki mendengar seseorang memanggil, entah ditujukan kepadanya atau kepada orang lain, tapi rasa penasaran membuatnya menoleh kearah sumber suara itu. Si lelaki tampak sedikit terkejut. Si wanita muda tadi sudah berdiri tepat di belakangnya menyodorkan sejumlah uang.

“Uangnya jatuh mas,” wanita muda itu tersenyum ramah.

“Oh ya, makasih,”

“Makasih ya,” si lelaki kembali mengulang ucapannya dan membalas senyum wanita muda itu.

Si lelaki menatap si wanita muda kembali ke tempat duduknya. Ada perasaan sangat kecil dalam diri lelaki itu. Ia suka kebaikan si wanita muda. Ia suka si wanita muda yang sendirian dan ia sangat menyukai senyumnya yang sangat bersahabat. Dengan memendam semua perasaan itu si lelaki kembali ketempat duduknya dan mendapati pacarnya masih sibuk dengan tugasnya yang tak kunjung selesai.

“Roti,” si lelaki menawarkan.

“Oke, makasih.”

Si lelaki menyilangkan kaki sembari mengeluarkan telepon genggam dari saku kiri jeans hitam yang sudah mulai memudar.

“Kamu lapar?” Tanya si pacar sambil mengambil roti di depannya.

“Sedikit, tapi kamu selesaikan dulu saja tugasmu, setelah itu baru kita cari makan,”

“Sepertinya aku tidak bisa menyelesaikannya sore ini,” ujar si pacar sembari menutup laptopnya.

“Lalu?”

“Aku lanjutkan malam nanti.”

Si lelaki mendesah kecewa. Ia rebahkan punggungnya di sandaran kursi, menatap kosong ke arah lukisan mural di seberang jalan. Lukisan itu menguning diterpa sinar matahari sore.

“Maaf, aku tidak bisa ikut ke acara pameran temanmu malam ini.”

“Mungkinkah kalau aku membantumu menyelesaikan tugasmu itu sekarang?” Tanya si lelaki setelah beberapa saat terdiam.

“Tidak bisa, ini masih banyak sekali, lagi pula bahasanya akan berbeda nantinya antara tulisanku dan tulisanmu, belum lagi kamu harus membaca semua jurnal ini terlebih dulu,” kata si pacar sambil mengangkat tumpukan kertas dari pangkuannya.

Si pacar membereskan kertas-kertas dan laptopnya kemudian memasukkan semua kedalam tas disebelahnya.

“Sudahlah, sebaiknya kita ngobrol saja sekarang. Aku ingin kita lanjutkan obrolan kita tadi,” tukas si pacar, mencoba memecah kecanggungan di antara mereka.

Si lelaki tampak tidak tertarik dengan tawaran itu. “Tidak bisakah kamu selesaikan saja itu sekarang?”

“Tidak bisa, aku sudah lelah sekali saat ini. Sudahlah, tak usah kita bahas itu lagi. Lagi pula kamu bisakan datang tanpa aku. Kamu bisa ajak teman-temanmu yang tak ada kegiatan malam ini,”

Keduanya kembali terdiam.

“Gimana kalau kita cari makan saja, katanya tadi kamu lapar,” si pacar mencoba memecah keheningan.

“Aku ingin datang ke acara itu. Dia teman dekatku,” ujar si lelaki tanpa menghiraukan ajakan pacarnya.

“Kan sudah aku bilang tadi, kamu datanglah bersama teman-temanmu.”

“Ia, aku akan datang bersama teman-temanku.”

Si lelaki memperbaiki posisi duduknya kemudian menoleh ke arah meja dekat pintu. Beberapa gadis muda berseragam putih abu-abu sedang bercanda riang. Gelak tawa mereka memecah keheningan di tempat itu. Beberapa saat kemudian seorang lelaki berpakaian sama menghampiri mereka, bergabung bersama mereka dalam satu meja. Seketika itu pula gelak tawa mereka sirna.

“Kamu marah?” si pacar menundukkan kepalanya saat mengucapkan kata-kata itu.

Si lelaki mengambil botol air mineral di depannya kemudian menenggaknya sedikit.

“Apa aku terlihat seperti orang yang sedang marah?”

“Tidak, tapi kamu seperti orang yang sedang marah,” kata si pacar. “aku tau betul ketika kamu marah.”

“Bagaimana itu?”

“Kamu banyak diam. Seperti sekarang ini.”

“Tuduhanmu tidak beralasan.”

Si lelaki kembali memandang ke arah lukisan mural di seberang jalan, mengamati setiap paduan warna yang disematkan pada permukaan tembok itu.

“Aku tidak menuduh, tapi kamu benar-benar seperti orang yang sedang marah.”

Si lelaki tidak menanggapi.

“Tidak enak sepertinya menjadi serigala itu,” lelaki itu bergumam kembali mengucapkan kata-kata yang sama.

Si pacar mengikuti arah tatapan si lelaki. “Serigala itu tampak murung,” timpalnya.

“Ia dan di dekatnya seekor kelinci menatap kearahnya, seperti hendak menghibur.”

“Menurutmu kenapa serigala itu murung?”

“Mungkin ia di tinggal pasangannya, mungkin juga karena lapar. Serigala cenderung gelisah ketika lapar.”

“Mereka tampak bersahabat. Tidak mungkin rasanya si serigala memangsa si kelinci,” si pacar sedikit terkejut mendengar jawaban si lelaki. “Aku juga suka lukisan itu, hanya saja aku tidak suka itu ada di pinggir jalan.”

“Lalu, seharusnya dimana?” tanya si lelaki.

“Di gedung-gedung pameran, museum seni, di mana saja asal tidak mengganggu pandangan pengendara yang melintas.”

“Yang terakhir itu juga berlaku untuk papan reklame besar yang menjulang di tiap persimpangan jalan.”

Si lelaki menyilangkan kedua tangannya di dada, melempar pandangnya jauh ke sisi lain di seberang jalan. Sekelebat bayangan menarik pandangan itu ke halaman minimarket. Wanita muda tadi sedang berdiri menghadap lukisan mural di tembok seberang jalan sembari merogoh tas pinggangnya mencari sesuatu. Kali ini ia mengikat rambutnya ke belakang, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih. Si lelaki menatap lekat pada wanita muda itu hingga benar-benar lenyap dari pandangannya.

“Dia temanmu?” Tanya si pacar melihat tingkah aneh si lelaki.

“Bukan, tadi dia mengembalikan uangku yang terjatuh di dalam.”

Si pacar mengangguk sambil memainkan jari-jarinya.

“Mungkin sebaiknya kita pulang sekarang, hari sudah mulai gelap,” ajak si lelaki.

“Bagaimana kalau kita keliling-keliling dulu,”

“Kemana?”

“Kemana saja. Aku butuh hiburan. Kamu sepertinya sedang tidak ingin ngobrol denganku.”

Si lelaki kembali terdiam menatap dalam kearah pacarnya.

“Kalau suasana hatimu kurang baik, tak apa-apa kita langsung pulang saja.”

“Aku mau kok, tapi apa tidak sebaiknya kita pulang dan kamu selesaikan tugas-tugasmu itu,” si lelaki menarik nafas dalam.

“Aku benar-benar sedang suntuk saat ini, sepertinya butuh sedikit penyegaran.”

“Baiklah, mau kemana kita?” si lelaki mengulang pertanyaannya.

“Terserah kamu.”

Si pacar melempar senyum ke arah si lelaki sebagai tanda terima kasih karena telah bersedia menerima ajakannya.

“Tapi setidaknya kita beli sate dulu, aku mau sate yang di sana itu, aroma sedapnya sampai ke sini,” ujar si lelaki kemudian beranjak dari tempat duduknya.

“Nanti saja kita cari di tempat lain. Di kota ini, hampir setiap sudut jalan ada kan yang jual sate,” kata si pacar.

“Baiklah,” kata si lelaki.

Mereka melangkah beriringan menyusuri halaman minimarket. Beberapa tanaman hias tumbuh terawat di antara beberapa kendaraan yang terparkir rapi. Di kejauhan, suara burung sparrow mulai terdengar kicaunya di sela-sela deru kendaraan yang melintas. Mataharipun sudah benar-benar tenggelam dalam peraduannya, menyisakan redup cahaya senja tanpa kilaunya.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan