alat-mendengarkan-musik

Musik dan Kaitannya dengan Industri Budaya

Kita yang gemar mendengarkan musik akan menemui karya-karya dari musisi dengan musikalitas yang beragam. Baik secara lirik, aransemen, hingga nada-nada yang disajikan dalam bentuk karya, baik lagu maupun komposisi. Banyak faktor bagi pendengar untuk memilih karya mana yang pantas untuk didengarkan. Baik secara pribadi atau karena memang kebanyakan orang mendengarkan karya yang sama sehingga tergerak mendengarkan karya tersebut. Setelah karya sering didengarkan dan mengisi playlist pendukung rutinitas keseharian, ada kalanya godaan untuk tahu lebih lanjut terkait karya tersebut hadir. Apakah memang musisi tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam membuat karya? Atau bagaimana cerita di balik terciptanya karya tersebut? Hingga referensi apa yang mendukung hadirnya karya tersebut?

Sering pada akhirnya karya tersebut merepresentasikan mutu musikalitas yang baik. Dari kejernihan penggunaan bahasa yang tertuang dalam liriknya, nada dan melodi yang pas sehingga tidak kurang dan tidak lebih bagi telinga pendengar tak keberatan menerimanya. Namun tidak jarang justru proses tersebut membawa kekecewaan. Ternyata “kebetulan” saja lagu tersebut dapat diterima oleh telinga. Tidak ada kemampuan bermusik yang cukup dari penciptanya untuk dapat disebut kompeten dalam berkarya. Baik musisinya secara pribadi sampai referensinya tidak mencapai kesepakatan dengan kriteria pendengar, sehingga karyanya tidak cukup relevan berada dalam playlist.

Misalnya ketika telinga kita didengarkan karya musisi Bob Dylan yang melegenda dengan lirik-lirik yang kaya akan makna. Cukup kurang ajarkah telinga kita berani menolaknya? Bagi para pendengar yang mengenal Bob Dylan beserta karyanya, kegentaran pasti hadir dalam diri pendengar, apalagi musisi itu baru saja menerima Nobel Sastra tahun ini. Bagaimana tidak gentar bagi mereka yang sadar kehebatan Dylan bahkan tak hanya melahap pengakuan dari dunia musik semata, hari ini pengakuan tersebut hadir dari mereka yang punya dedikasi dalam dunia sastra. Masih beranikah kita menolak kehadiran karyanya dalam playlist kita?

Baru saja mengetik nama Bob Dylan dalam mesin pencari, kesadaran pendengar akan diganggu oleh popularitasnya yang hadir di halaman pertama mesin pencari. Pendengar kadang terpaksa mempertimbangkan popularitas musisi untuk ikut mendengarkan karyanya. Setidaknya tahu sedikit biografi dan beberapa judul hitsnya karena hal tersebut dapat berpengaruh pada harga diri kebanyakan pendengar. Tak mempertimbangkan musisi sekaliber Dylan bisa menjadi boomerang. Apalagi bagi beberapa pendengar yang eksistensinya digantungkan pada lagu yang sering diputarnya sekaligus dipamerkan dalam akun sosial media.

Dengan tidak mengurangi hormat terhadap Dylan, coba kita uji coba dengarkan karyanya pada mereka yang tak mengenalnya. Apakah karya Dylan bisa dikategorikan bagus sebagaimana untuk mereka yang mengaku mengenalnya? Atau justru tanggapan tentang kemampuan vokal Dylan yang terkesan minim sehingga menolak karya tersebut mengisi playlistnya? Tidak bisa dipungkiri memang kualitas vokal Dylan tak lebih baik dari Ariel vokalis grup band Noah yang dipuja kaum hawa di Indonesia. Tentunya pendengar akan dipusingkan tentang bagaimana meletakan standar yang tepat untuk mengklasifikasi karya mana yang bagus dan yang tidak. Apalagi bagi kita yang awam, sekalius kesukaran kita untuk mau disebut sebagai awam menambah rumit hal ini. Sulitnya penilaian akan kualitas sebuah karya musik sering dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki modal untuk meraup keuntungan. Dalam hal ini menjadikan musik sebagai sebuah pasar yang didalamnya hadir industri yang memproduksi karya sebagai komoditas yang diperjualbelikan.

Sebagai sebuah industri, musik dibutuhkan manusia sebagai hiburan dalam kehidupanya. Yang dalam hal ini kebutuhan bagi indera pendengarannya. Theodor Adorno berpendapat bahwa musik dalam sebuah industri dikomodifikasi sedemikian rupa sehingga mampu menjadi barang dagangan yang dimanipulasikan oleh kepentingan pasar demi tujuan ekonomi dan kepentingan ideologisasi para pemilik modal. Khususnya musik Pop dalam budaya populer telah direduksi ke bentuk yang memiliki nilai tukar. Ini membawa roh musik sebagai seni perlahan luntur sekaligus menurunkan kemampuan pendengarnya dalam menilai kualitas musik itu sendiri. Adorno berupaya membongkar kapitalisasi yang diam-diam mengontrol standarisasi dalam industri musik. Menurutnya standarisasi tersebut pada prosesnya membawa masyarakat pasif dan afirmatif terhadap apa yang didengarkan. Para pendengar akhirnya kehilangan daya kritis dan hanya menerima musik populer yang disediakan oleh pasar.

Standarisasi pada musik pop pada praktik nyatanya terjadi dalam proses pembuatan karya lagu. Ketika sebuah lagu tertentu sukses di pasaran, lagu sejenis akan terus diciptakan kurang lebih mirip.  Terjadinya pengulangan pola musikal atau lirik lagu yang tak jauh beda akan dieksploitasi, diperas  hingga tiba dalam suatu kejenuhan pasar, puncaknya terjadinya suatu kristalisasi standar pada lagu tersebut. Para pendengar pada akhirnya senantiasa pasif dan repetitif, yang menegaskan dunia sebagaimana adanya, untuk kesenangan imajinatif yang didukung oleh konsep-konsep yang diam-diam penuh wacana industrialisasi dalam budaya populer tersebut.

Industri musik yang menciptakan pasar tersebut juga menentukan nilai guna bagi produk-produk yang dihasilkan. Sementara kepasifan kita sebagai konsumen mendukung apa yang ditawarkan oleh industri musik tanpa berfikir kritis bahwa seharusnya ada karya dengan kualitas yang lebih baik yang ditawarkan. Kasarnya kita sebagai pendengar akan menjadi korban budaya, yang secara ideologis dimanipulasi melalui musik yang kita konsumsi. Yang lebih memprihatinkan tawaran yang ada hanya berkonsentrasi pada kemasan dan bentuk, dan bukannya substansi penyelesaian masalah. Sehingga hadirnya musik telah kehilangan kemampuan lainnya selain kemampuannya sebagai suatu komoditas. Musik hadir hanya sebagai pemuasan semu atas kebutuhan (yang bisa jadi) palsu sebagai pengganti solusi riil berbagai persoalan nyata. Ini yang disebut Adorno sebagai bentuk pendangkalan, dan keseragaman (konformitas) yang dilahirkan oleh industri budaya. Adorno memandang semua ini sebagai sebuah kekuatan yang amat destruktif. Tentunya dengan menyebutnya demikian Adorno tak main-main akan hal ini.

Sebagai seni, musik sendiri seharusnya mampu bertindak sebagai salah satu sarana yang menawarkan suatu kebebasan untuk manusia di tengah kompleksitas kehidupannya, khususnya kebebasan berekspresi. Bicara tentang seni di tengah industri budaya, Prof. Dr. Bambang Sugiharto masih optimis dan mengungkapkan harapannya terhadap seni dalam perannya sebagai salah satu yang membebaskan manusia dari masalah yang membelenggu manusia. Beliau berpendapat dalam situasi yang banyak mempersoalkan tampilan, dalam suasana yang dominan berkutat di permukaan semata, seni justru hadir menggoncang kesadaran lewat kemampuannya mempermasalahkan bentuk dan tampilan luar secara problematis. Dengan otonominya kini seni justru menjadi wilayah paling usil dan kritis memperkarakan sistem simbol di tengah ideologisasi simbol yang mendukung industri budaya. Seni mampu menggeledah konflik-konflik tersembunyi di balik sistem-sistem simbol dan membongkar kedok yang bersembunyi sekaligus menyuntik keberanian untuk berpikir dan bersikap mandiri sebagai individu.

Apa yang dikemukakan Bambang Sugiharto bukan tanpa alasan. Di tengah derasnya arus industrialisasi budaya yang ikut mendegradasi peran seni, watak asli seni yang bebas, lugas, dan jujur ikut hidup dan bangkit kembali dan ikut mengganggu kesadaran masyarakat yang hampir mati. Hal ini setidaknya terjadi pada mereka yang berada di arus pinggiran. Derasnya arus utama yang berpihak pada status quo yang mempertahankan dominasi kapitalisme, mereka yang berada dalam komunitas pinggiran hadir bersama seni untuk mengungkapkan problematika yang telah lama mematikan kesadaran masyarakat.

Bambang Sugiharto menjumpai semangat ini pada mereka yang dalam komunitas mikro berusaha terbebas dari penjara sistem. Sebuah usaha pembebasan diri dari sistem yang chaotic dan pesimistis. Usaha tersebut tampak sebagai pencarian jalannya masing-masing dalam merevitalisasi diri dan menggali kemampuan diri. Inisiatif yang merepresentasikan individualitas tersebut ternyata tidak terjebak dalam egosentris yang sempit. Gairah membentuk gerakan dalam komunitas mikro itu menawarkan alternatif-alternatif yang mengimbangi tawaran pasar utama yang itu-itu saja.

Kebanyakan dari komunitas mikro ini melembagakan diri dalam bentuk band-band yang mampu menata dan mengorganisasikan diri. Isu yang dibawa bahkan tak terbatas dalam musik semata, justru dedikasi yang nampak dari komunitas ini mencoba memecahkan berbagai problematika dalam kehidupan. Dengan berbagai tema yang dibawa dan diikat dalam bingkai musik, dengan percaya diri mereka optimis dapat ikut menggugat permasalahan yang ada di masyarakat secara global. Di tengah keterbatasan modal mereka yakin mampu bicara banyak dan berusaha optimal. Seperti kemudahan dalam akses internet mereka maksimalkan untuk menyuntik semangat dalam komunitas global yang memiliki kesamaan tujuan sehingga wacana yang dibawa tidak mati. Referensinya juga tak sesempit industri musik populer.

Apa yang dikemukakan Adorno tentunya sulit dipahami oleh kita yang terbiasa hidup dalam sistem yang sudah kita anggap ideal ini. Kita tentu menolak untuk disebut sebagai masyarakat konsumtif yang menjadi objek bagi dominasi kapitalisme. Penyangkalan tersebut didukung pernyataan bahwa manusia adalah masyarakat komunikatif. Tidak selalu ada ketegangan antara manusia yang hanya dipicu dari daya konsumtifnya saja. Kita berhak dan bisa menilai sekaligus menentukan pilihan dalam keputusan terkait kehidupan kita sendiri. Analisanya Adorno terkesan meragukan kesadaran kita akan sistem yang dianggap menyeret manusia sebagai objek bagi sesamanya. Begitu juga dengan apa yang coba ditunjukan oleh Bambang Sugiharto yang disebutnya sebagai komunitas mikro. Dengan memandang sistem utama sebagai pembawa krisis dalam kehidupan kita, seakan-akan komunitas yang disebutkan sengaja didramatisir kehadirannya.

Untuk membuktikan hal tersebut tentunya kita harus meninjau dan banyak mencari tahu kebenaran akan hal ini. Apakah apa dikemukakan Theodor Adorno tak lebih dari mitos belaka? Apakah benar industri budaya beserta kemampuan destruktifnya harus diwaspadai? Lalu benarkah ada komunitas mikro yang disebutkan oleh Bambang Sugiharto? Benarkah komunitas tersebut memelihara kelestarian seni sebagai salah satu aspek yang membawa kebebasan bagi manusia? Siapakah mereka?

Ada baiknya agar tidak disebut sebagai masyarakat konsumtif yang pasif, paling tidak kita ikut serta memastikan hal ini. Meskipun proses kebenaran justru sering membawa kekecewaan, terutama ketika fakta yang ditemukan teryata berlainan dengan pemahaman kita sebelumnya. Dan tentunya jangan sampai sebuah “kebetulan” semata bahwa karya dari komunitas mikro yang disebut Bambang Sugiharto di atas mampir dalam playlist kita.

Referensi:

Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad Sahidah, Dialektika Pencerahan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002)

Sartono, F. (2008, March 16). Bambang Sugiharto, “Filsuf Underground”. Retrieved October 26, 2016, from Nias Online.

, , ,

2 tanggapan ke Musik dan Kaitannya dengan Industri Budaya

  1. Arif Saifudin Yudistira 27 Oktober 2016 pada 10:42 #

    Bingung gue baca esai ini, kemana-mana gak fokus, kurang tajam dan menohok

    • Layla 17 November 2016 pada 05:49 #

      makasih kritiknya
      mohon bimbingannya kakak yang sudah pro…

Tinggalkan Balasan