kebijakan-kebudayaan-indonesia

Negara dan Kebijakan Budaya di Indonesia

Urusan kebudayaan tak bisa dipisahkan dari negara. Negara tetap menjadi bagian penting dalam kebijakan budaya. Menurut Jennifer Lindsay “lembaga-lembaga budaya negara bertindak sebagai patron yang menghibahkan dana proyek dan penghargaan lebih daripada sebagai lembaga pelayanan” (1995:661). Para seniman adalah “klien” dalam sistem patronase ini yang dimulai dari pra-nasionalis Asia Tenggara dan terus diabadikan dalam situasi modern (1995:663). Dari uraian Lindsay kita bisa melihat bahwa urusan budaya tak bisa lepas dari urusan negara yang dahulu dilakukan dengan sistem patronase tetapi diteruskan dalam situasi modern.

Kebijakan kebudayaan yang dilakukan negara adalah strategi menempatkan negara dalam tangan panjang kekuasaan pada satu sisi, di sisi lain memperkuat eksistensi negara sebagai pelindung, pengayom, sekaligus institusi formal yang ikut serta dalam upaya pemberadaban masyarakatnya. Melalui institusi dan organisasi legal-formalnya, negara berupaya untuk membuat tata kelola dan manajemen untuk mencapai visi dan misi dari negara dalam bidang kebudayaan.

Setiap rezim ternyata memiliki misi berbeda dalam hal kebudayaan di Indonesia. Melalui buku ini, Tod Jones memberikan deskripsi utuh bagaimana di setiap rezim di Indonesia mencoba menautkan antara kebijakan sentral negara dengan kebijakan kebudayaan sebagai turunannya. Tod Jones membagi dua model alat kebijakan budaya post-kolonial yakni model kebijakan Otoritarian dan Budaya Komando.

Melalui dua pendekatan ini, pelan-pelan Tod Jones mengurai bagaimana model kebijakan kebudayaan di Indonesia mulai dari zaman Jepang sampai era Reformasi. Temuan-temuan Jones memberikan gambaran yang mengejutkan mengenai pola bagaimana kebudayaan di kelola, dipolitisasi dan dijadikan sebagai alat penting untuk melegitimasi kebijakan negara.

Di masa pendudukan Jepang misalnya, Model komando dan otoritarian diterapkan di negeri ini dalam kebijakan kebudayaan di Indonesia. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Jepang perlu meyakinkan Indonesia dengan menciptakan sebuah jargon 3 A. Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia. Melalui jargon itu, Jepang pun memikat rakyat Indonesia dan elit politiknya dengan janji kemerdekaan. Jepang kemudian membentuk PETA sebagai cara agar rakyat Indonesia mau membantu Jepang. April 1943 Jepang mendirikan pusat kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) (h.72). Pusat kebudayaan ini juga menerbitkan majalah Keboedajaan Timoer  yang diedit oleh Sanusi Pane dari Pujangga Baru.

Pada era Soekarno, kebijakan kebudayaan di era 50-an sampai 65 terjadi dinamika dalam wacana kebudayaan di Indonesia. Di masa itu muncul kelompok kebudayaan yang mewacanakan humanisme-universal yang digawangi oleh kelompok Manikebu yang berseberangan dengan LEKRA yang mengusung isu-isu kerakyatan. Di era Soekarno yang waktu itu memiliki kebijakan berhaluan MANIPOL USDEK. UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin dan Kepribadian Bangsa (h.112).

Melalui demokrasi terpimpinnya itulah, Soekarno kemudian menegaskan bagaimana sikapnya terhadap imperialisme dan kebudayaan asing, dan menegaskan identitas kebudayaan yang sesuai dengan USDEK. Pada masa Soekarno pula, Manikebu harus mengikuti kebijakan negara dengan menerima resiko pembubaran.

Sedangkan di era Soeharto, di masa Orde baru. Kebijakan budaya disesuaikan dengan garis politik dan kebijakan negara di masa itu. Salah satunya adalah wacana anti komunisme, kebijakan budaya yang berlandaskan pancasila, ideology pembangunan dan identitas nasional. Identitas nasional berbeda dengan era Soekarno. Di masa Soeharto identitas nasional diupayakan sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan doktrin pembangunan. Soeharto tak hanya menciptakan kebijakan melalui lembaga-lembaga negara, ia juga membangun monumen dan penanda penting kebijakannya ini. Salah satu diantaranya adalah pembangunan museum dan juga pembangunan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) sebagai miniature kebudayaan nasional yang dikondisikan dan diatur sesuai dengan politik kebijakan negara di masa itu. Pemerintah Orde baru juga membangun TIM (Taman Ismail Marzuki) yang menjadi tempat dan pertunjukan yang menyedot banyak perhatian dan minat dari para penonton di era 1970-an (h.155).

Bahkan melalui Sekolah, Orde baru sudah menanamkan ideologisasi dan kebijakannya yang berkaitan dengan kebudayaan dengan menerapkan ideologisasi keluarga. Kekeluargaan dan gotong royong di masa Soekarno diadopsi dan di depolitisasi sebagai sikap politik Orde baru yang pancasilais. Puncaknya melalui sebutan Soeharto sebagai “Bapak pembangunan” yang mendekatkan antara sosok pemimpin dengan yang dipimpin.

Tod Jones memberikan penekanan pada perubahan kebijakan budaya di era reformasi. Meski ada perubahan desentralisasi pada kebijakan kebudayaan, tetapi Jones tak menafikkan bahwa kebijakan otoritarianisme dan model komando tetap digunakan meski dengan perubahan yang jauh berbeda dan tak terlihat sebagaimana di masa Orde baru. Melalui kebijakan budaya di era reformasi, kebijakan budaya lebih mengarah pada “lokalis” dan difokuskan pada mempertahankan keaslian budaya Indonesia melalui interaksi yang dikontrol secara ketat dari luar (h.321).

Meskipun memberikan gambaran perubahan kebijakan kebudayaan dari zaman Jepang sampai sekarang, buku ini belum mengurai kemungkinan-kemungkinan ketika kebijakan kebudayaan diserahkan kepada masyarakat dan lembaga swasta dan implikasinya. Jones juga luput memberikan uraian lebih jauh mengenai pengaruh budaya dalam PKK (Program Kesejahteraan Keluarga) yang lekat di masa Orde baru dan pengaruhnya di masa sekarang. Jones juga belum menelaah bagaimana pengaruh kedekatan personal para klien “aktifis kebudayaan” dengan pengelola lembaga kebudayaan seperti DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) atau Dewan Kesenian yang ada di daerah sehingga menentukan corak atau selera pertunjukan kebudayaan yang ditampilkan di setiap daerah.

Namun, penelitian Jones tetap penting sebagai panduan bagaimana menerapkan kebijakan kebudayaan di era sekarang yang lebih independen dari intervensi politik negara dan lebih mewadahi keanekaragaman dan kekayaan kebudayaan yang di negeri ini. Pasalnya, sampai saat ini, negara dipandang belum mampu untuk memberikan dorongan dan dukungan secara intensif terhadap perkembangan kebudayaan dan kesenian baik yang bernuansa lokalitas maupun yang sudah bersifat nasional dan lebih dikenal publik secara luas.

*) Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi SOLO, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

 

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan