negara-mualaf-demokrasi

Negeri Mualaf Demokrasi

Pohon yang menjulang langit, akarnya pasti menghunjam bumi. Pemimpin yang tinggi singgasananya, mesti mendalam akar sosialnya. Kalau tidak, tentu palsu kepemimpinannnya. Jurus apapun dalam silat, mesti kukuh kuda-kudanya. Kuda-kuda itu posisi integral dan natural terhadap sifat bumi yang dipijak. Segala kekuasaan dalam sejarah yang tak berakar pada masyarakat pasti bersifat otoriter. (Hal. 110)

Setidaknya, ajang pesta demokrasi yang berlangsung pada tahun ini dan tahun depan, harus disikapi dengan nurani bersih. Dapuk kepemimpinan berada di tangan rakyat karena merekalah yang memilih. Namun, pemilihan kepala daerah bahkan presiden tak melulu soal pilihan. Kini, masyarakat terbelah-belah. Lain pilihan, bakal menghujat lawan. Padahal, ekstintensi dari Pemilu atau Pilkada adalah mencari pemimpin yang benar-benar membawa misi dari masyarakat dan akan digunakan untuk masyarakat sendiri.

Sialnya, banyak pemimpin yang mengumbar janji saat kampanye, tanpa memandang apakah janji kerja yang disampaikan bakal terealisasi. Akibatnya, banyak calon pemimpin menyusun segudang program kerja hanya dengan tujuan memikat calon pemilih. Di sinilah penilaian nurani masyarakat diuji, apakah janji yang dilontarkan akan terealisasi dalam jangka waktu lima tahun atau tidak.

BACA JUGA:

indonesia-mualaf-demokrasi

Judul: Tidak. Jibril Tidak Pensiun!
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Januari, 2017
Cetakan: ke-1
Tebal Buku: 248
ISBN: 978-602-291-297-2

Umumnya, orang yang terpilih menjadi pemimpin sangat bangga dengan profesi yang dilakoni. Mengucapkan rasa syukur tak terhingga dan tersenyum kemana-mana. Padahal sesungguhnya dia memiliki beban dan amanat yang besar. Cak Nun saja merasa takjub dengan banyaknya pemimpin yang bertabiat seperti ini, karena ajang pemilihan justru menjadi tempat mencari nafkah. “Logika saya yang mungkin naif dan lurus-lurus saja sungguh tidak bisa paham. Bagaimana mungkin seseorang yang pundaknya digantungi tanggung jawab sedemikian berat –apalagi untuk Indonesia yang mualaf demokrasi- justru merasa lega. Saya kagum bahwa ia tidak merasa ketakutan.” (Hal. 106-107).

Tentu, buku setebal 248 halaman ini tak melulu menyinggung soal demokrasi. Seperti soal khotbah Jum’at yang acapkali mengundang keprihatinan. Bagaimana tidak, banyak khatib yang memperlakukan ayat-ayat Allah dan sabda Nabi sebagai benda mati yang pucat. Tidak menyebut ayat-ayat Allah sebagai rahmat dan hidayah. Diakui atau tidak, fakta ini memang benar adanya. Bahkan tak hanya di khotbah Jum’at, tetapi juga di berbagai pengajian atau majelis taklim.

“Dan, pada khotbah kali ini, yang saya sebut luar biasa, saya memperoleh kesan dari khatib bahwa Allah itu mengerikan, tukang ancam, suka membenci, birokratis, formalitas, horor bagai drakula. Tuhan seolah begitu memelotot matanya sehingga tak ada peluang bagi manusia untuk menyelenggarakan hubungan cinta kasih denganNya, hubungan “dari hati ke hati”, hubungan kewajaran dan kedewasaan. Memang manusia adalah hamba Allah, tetapi pasti bukan budak-Nya. Allah tak punya budak dan tidak memperbudak. Berbeda dengan manusia.” (Hal. 60).

Sudah sepatutnya para khatib atau bahkan pendakwah, memberikan khotbah yang menyejukkan jiwa. Bukan menukil ayat atau hadist Nabi seperti slogan mati dan akhirnya tidak sampai ke nurani pendengar. Kalimat basmallah saja, jika diresapi sungguh-sungguh, bakal mengantarkan pemahaman jikalau Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Bukan tukang mengancam. Apalagi, khotbah yang diselingi ajakan kebencian rasialis karena beda pilihan dalam pemilu dan pilkada. Jelas, orang yang menyampaikan semacam ini, tak berhasil menemukan kehidupan dalam Al-Qur’an dan telah gagal menemukan Al-Qur’an dalam kehidupan.

BACA JUGA: Tafsir Maudhui : Metode Kontemporer dalam Penafsiran Al Qur’an

Buku ini sangat tepat untuk dijadikan rujukan menjelang pesta demokrasi di negeri ini. Mengingat, masyarakat mudah terbelah akibat perbedaan pandangan dan pilihan. Seperti karya Cak Nun yang lain, buku ini tidak lagi berisi ceramah yang cenderung berat untuk dibaca. Justru banyak permasalahan yang disinggung dari berbagai pendekatan. Ibarat pendekar, Cak Nun telah menguasai berbagai macam aliran. Beragam nasehatnya dikemas dengan bahasa santun dan membumi. Jauh dari hingar bingar kebencian yang notabene banyak didengungkan banyak orang saat ini.

Inilah nasehat-nasehat Cak Nun yang tidak menjemukan. Pokok bahasan yang cenderung berat, disampaikan dengan bahasa ringan dan sesuai takaran.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan