menciptakan-neraka-di-bumi

Neraka di Bumi

Karena semua orang melakukan semua tindakannya dengan maksud untuk mencapai sesuatu yang ia pandang baik.

Kalimat ini dituliskan Aristoteles dalam bukunya yang tersohor, “Politik”. Namun, pernyataan ini kerap jadi perdebatan dalam disiplin ilmu etika. Beberapa pertanyaan seperti, “Apa itu yang baik? Apa tolok ukur sesuatu bisa dikatakan baik?” menjadi pertanyaan pokok dalam diskusi tentangnya. Jawabannya pun sering bergeser sesuai pergumulan konteks hidup yang ada.

Dalam pembacaan saya, inilah yang jadi tema utama novel ini. Novel ini seolah mengajak saya untuk memikirkan kembali pertanyaan-pertanyaan polemik seputaran etika. Dibenarkankah membunuh satu orang demi menyelamatkan sejuta orang yang lain? Benarkah tindakan untuk membinasakan sepertiga penduduk dunia demi menyelamatkan seluruh umat manusia?

Mengangkat wacana tentang kepunahan manusia, Dan Brown menunjukkan kelasnya sebagai novelis kawakan. Dia memadukan itu dengan misteri simbol-simbol dan karya seni Eropa. Kali ini dia mengangkat Dante Alighieri lewat karya “The Divine Comedy”nya yang fenomenal. Juga lukisan “The Map of Hell” karya Boticelli, yang terinspirasi dari karya Dante, menjadi simbol yang harus dipecahkan.

Novel ini menyajikan ketegangan dan kejutan-kejutan. Bertrand Zobrist, seorang ilmuwan genetika, menjadi tokoh antagonis. Tapi, keantagonisannya tidaklah murahan. Andy Malarangeng, dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Inferno, Neraka di Bumi, Betulkah?”, malah menyebut Zobrist sebagai protagonis (viva.co.id, 25/12/2013). Di balik setiap tindakannya tersimpan niat mulia. Niat mulia untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan. Terinspirasi kata-kata Dante, “Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral  di saat krisis moral”, Zobrist bertindak nekad. Sebagai ilmuwan genetika yang handal, dia berhasil menciptakan virus yang menyebar lewat udara. Dia ingin menciptakan “wabah”.

Robert Langdon, tokoh ciptaan Dan Brown, menjadi pemeran utama. Dia aktor penting dalam usaha untuk menggagalkan “wabah” itu. Langdon bekerja lewat pesan-pesan rahasia yang ditinggalkan Zobrist. Pesan-pesan yang meniru langsung karya-karya Dante. Kapasitas Langdon sebagai seorang dosen simbologi Harvard, sangat dibutuhkan Elizabeth Sinskey, direktur WHO, untuk memecahkan teka-teki Zobrist demi menggagalkan “wabah” itu.

Lewat kasus ini, alur novel membawa kita untuk menikmati karya-karya seni Eropa dari Italia sampai Turki. Tidak hanya karya sastra dan lukisan, kita juga akan diajak bertualang untuk mengenali gaya aristektur Hagia Sophia di Turki. Novel ini sarat dengan informasi tentang sejarah Eropa dan karya seninya yang bernilai tinggi.

Dan Brown tidak memberi akhir yang mudah ditebak. Dia selalu penuh kejutan. Pergulatan psikologis setiap tokohnya begitu hidup. Argumentasi-argumentasi yang disodorkannya seolah mampu membuat kita untuk memaklumi tindakan-tindakan nekad yang diambil setiap tokohnya. Latar belakang setiap tokoh dalam novel ini, setidaknya membuat kita memahami kenapa keputusan itu dibuat.

Bagi saya pribadi, novel ini setidaknya berhasil menunjukkan sebuah persoalan yang sedang mengancam eksistensi kemanusiaan kita. Permasalahan itu adalah overpopulasi. Overpopulasi adalah pertambahan jumlah penduduk yang terlalu banyak. Situasi ini membuat bumi tidak mampu lagi untuk menyediakan kebutuhan manusia,  seperti air, udara, dan makanan. Situasi ini, kata Zorbrist, justru akan memunahkan manusia.

Lewat novel ini, saya pribadi, diajak untuk berpikir secara moral dan etika. Benarkah tindakan Zorbrist yang menciptakan “wabah” untuk mengontrol populasi manusia demi kelangsungan umat manusia? Kemudian merenungkan lagi tesis Thomas Malthus tentang angka statistik kelahiran manusia yang berbanding terbalik dengan produksi makanan yang mengarahkan umat manusia pada kebinasaan? Bahkan saya sempat merenung juga, ternyata persoalan umat manusia di dunia bukan hanya kapitalisme belaka. Dunia yang kita tinggali ini ternyata begitu kompleks.

Selain pengetahuannya tentang sejarah Abad Pencerahan yang mendalam, Dan Brown cukup piawai dalam teknik bercerita. Dia mampu mengeksplorasi peristiwa setiap tokoh dengan rinci dan teliti. Kisahnya jadi begitu mendebarkan disetiap halamannya. Novelnya pun enak dibaca. Bahasanya sederhana dan mudah dimengerti. Selain memperkaya informasi tentang sejarah dan karya seni Eropa, novel ini pun mampu menghidupkan imajinasi tentang situasi umat manusia di masa depan.

Jadi, berhasilkah Langdon menggagalkan usaha Zorbrist? Atau malah sebaliknya?

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan