Ojeg Payung

Usianya kurang lebih tiga belas tahun saja, mata bulatnya nampak letih, air hujan membuat lepek rambut hitamnya, tangan mungilnya hanya menggenggam sebuah payung, payung itu ditawarkan untuk orang yang akan menyebrang lampu merah, entah dari mana dan hendak kemana orang-orang itu pergi dia tidak akan ambil pusing, dia datang kepada orang-orang yang memanggilnya, meski dengan upah seikhlasnya saja. “Kak payung kak” Aku tertegun sibuk dengan pikiranku sendiri, betapa tidak anak sekecil itu harus berbasah-basahan hanya untuk mendapatkan uang yang ukurannya tak seberapa, kemana orang tuanya, sudah lama Indonesia menyatakan kemerdekaan, tapi apa anak ini juga merdeka? Rasanya tidak, “Kamu nggak sekolah dik?” Dia menoleh ke arahku. “Masuk siang kak” seulas senyum tersungging dari  bibir manisnya, tentu saja lebih manis dari senyum mereka yang menjanjikan lapangan pekerjaan, biaya pendidikan, turun harga barang, tapi dengan syarat jika mereka menang dalam pemilihan dewan, lalu  memperbudak dan memeras rakyat dengan baju kekuasaan, “Sudah sampai kak” Suaranya, menyadarkanku dari sumpah serapahku pada Negeri yang sudah mengikrarkan kemerdekaan ini. Merdeka? Memikirkannya saja sudah membuat dahiku mengkerut, kemerdekaan yang menghasilkan anak berusia tiga belas tahun harus menjadi ojeg payung?. Kemana janji mereka?. Sekolah gratis?. Harga turun?. Lapangan pekerjaan?. Setelah berkuasa mereka hanya mempertebal kantong pribadi saja. Korupsi, mengantuk saat rapat tentang rakyat!. Aku sibuk mengumpat dalam hati,  hingga lupa aku harus cepat pergi ke kantor, kuberikan selembar sepuluh ribu rupiah padanya.

“Ini buat  aku?”

“Iya untuk  kamu”

“Hore!! Makasih kak, wah aku bisa cepat beli sepatu baru kalo gini”

“Sepatu sekolah?”

“Iya kak sepatu baru untuk upacara pengibaran bendera di sekolah, sebentar lagi kan Agustusan, biar aku Ojeg Payung aku anggota Paskibra  juga, ojeg payung elite. Makasih kak, berkat kaka aku lebih percaya diri mengibarkan Sang Merah Putih” Aku tercekat, ojeg payung! Produk gagal kemerdekaan! Dasar bocah, polos.

Kupandangi wajah ceria yang mulai menjauh, sambil berlari kecil tangannya melambai ke arahku, senyumnya begitu sejuk, lebih sejuk dari rintik hujan hari ini, sebelum beberapa detik kemudian, kusaksikan tubuhnya terhempas, mobil Avanza hitam menabraknya, tubuhnya berlumur darah. Semuan yang kulihat berubah merah.  lampu merah,  zebra cross merah. Avanza hitam berplat  merah.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan