otobiografi-om-ben

Om Ben: Penelitian, Ibunda, dan Buku

Membaca buku Hidup di Luar Tempurung (2016) bagi saya sangat menyenangkan dan begitu mengena. Bagaimana tidak? Sebuah otobiografi milik Benedict Anderson– selanjutnya akan saya sebut Om Ben–dikemas begitu empuk, gaul, dan mengalir apa adanya seperti dongeng sebelum tidur. Saya barangkali hanya mampu memperingatkan bagi siapa saja yang nanti akan meminjam dan membaca buku ini: Hati-hati! Buku ini bisa bikin ketagihan karena rasanya seperti brownis cokelat dan kesannya, “Eh koq udah habis, pengen lagi”.

Hidup di Luar Tempurung pada awalnya diterbitkan dengan judul yashigarawan no soto e (2009) di Jepang oleh NTT Shuppa. Diterbitkan kembali oleh Verso Books, London, dalam versi bahasa Inggris A Live Boyond Boundaries (2016) yang akhirnya diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dalam versi bahasa Indonesia. Otobiografi Om Ben sekalipun menampilkan beberapa ulasan buku besar, tiga buku besar, karyanya tapi tulisan Om Ben tidak lebih daripada sebuah catatan pribadi dalam berperistiwa pada perjalanan intelektualnya sebagai orang ‘kiri’–sekalipun saya sendiri tak tahu persis pada ukuran bagaimana Om Ben disebut kiri. Sebagaimana yang kita ketahui secara mendasar bahwa kiri adalah perilaku untuk selalu menentang status quo.
“…Ada alasan-alasan politik sekaligus personal mengapa saya memilih kewarganegaraan Irlandia. Perang Vietnam sedang bergejolak, dan di Indonesia, tentara anti-komunis merebut kekuasaan dan membantai hampir setengah juta orang komunis dan simpatisannya. Peristiwa-peristiwa ini menguatkan jiwa ke-kirian saya. Alasan lainya lebih personal. Adik-adik saya terus memutuskan menjadi warga negara Inggris. Saya merasa berhutang kepada Bokap untuk mengajukan kewarganegaraan Irlandia karena waktu saya lahir, bokap-lah yang membubuhkan nama O’Gorman yang ‘berbau kesukuan’ itu” (hal 5).
Dilain persoalan ‘kiri’ Om Ben sebenarnya terkesan primordialis tapi itulah Om Ben, sangat bijaksana dan mengerti bagaimana menyandarkan diri. Dengan tindakan ini, memilih kewarganegaraan Irlandia, menjelaskan bahwa Om Ben sangat berterimakasih pada apa yang telah mereka (keluarga) lakukan.
***
Memaknai otobiografi Om Ben bagi saya adalah sebuah pencerahan tentang sebuah pola sederhana yang dilalui semua tokoh besar nan inspiratif. Dalam kontribusi dan pencapaiannya tak pelak lagi bahwa tokoh-tokoh besar itu mempunyai kedekatan yang sangat intim dengan buku. Sebut saja Soekarno, Tan Malaka, Leon Trotzky, Kartini, Hatta, Mao, dan lain sebagainya.
Dari kecil Om Ben dianugrahi oleh kedua orang tuanya perpustakaan keluarga terbaik dibanding perpustakaan-perpustakaan lain di kotanya. Berangkat dari sini pula karir intelektualnya sebagai peneliti internasional ditunjang. Dilain sisi hal ini semakin meyakinkan saya bahwa dengan buku maka hidup kita akan ‘lancar jaya’ seperti Om Ben yang mendapat kelancaram ketika ingin berkuliah di Univesitas terbaik di Inggris dengan jalur beasiswa.
Ada pula hal yang sangat menarik tentang kecintaannya terhadap buku, barangkali hal ini perlu kita ingat sampai ke liang lahat, yaitu peran Ibu-nya Om Ben. Sebagaimana Ibu cerdas lainnya, sebut saja Nyai Ontosoroh, Ibundanya Maxim Gorky dan para Kartini Kendeng yang sampai sekarang masih menjadi aksi masa yang murni untuk isu-isu agraria Jawa Tengah.
Kecerdasan seorang Ibu ini sangat terlihat dan bermanfaat bagi kesadaran Om Ben tentang pentingnya bahasa. Menurutnya bahasa bukan sekadar alat komunikasi linguistk tapi, lebih dari itu, bahasa merupakan cara mendapatkan sebuah pemahaman. Sederhananya dengan bahasa kita mampu memahami latar berpikir dan berperasaan seperti mereka yang berbicara dan menulis dengan bahasa yang berbeda. Nah, Ibu Om Ben ini sekalipun bukan lulusan universitas tapi dia seorang pembaca yang serius. Ia menyewakan guru les privat bahasa untuk Om Ben dan ia dengan tepat memilihkan fokus pembelajaranya pada bahasa Latin.
Pernah sewaktu kali Om Ben bertanya kepada ibunya, “Mengapa Latin? Bahasa itu kan lebih punah daripada bahasa Irlandia”. Ibunya menjawab, “Latin adalah Ibu dari semua bahasa Eropa Barat—Prancis, Spanyol, Inggris, Portugis dan Itali—jadi kalau kau bisa Latin, kau nanti akan merasa semua bahasa tadi gampang. Lagi pula, Latin punya kesusasteraan hebat yang harus diketahui setiap orang terpelajar.”
***
Saya bukanlah seorang peneliti, tapi Om Ben membuat saya ingin menjadi peneliti. Sebagian besar pengalamannya di lapangan penelitian ia pamerkan dengan sangat menggoda dan sarat pelajaran bagi calon peneliti pemula, seperti saya. Sebut saja tentang gegar budaya yang alami, pembelajaran bahasa lapangan yang mendongkrak pembelajaran bahasa di kelas, dan lain sebagainya.
Berdasarkan cerita Om Ben tentang penelitian ini ada satu poin penting lagi bagi saya, yakni kedekatan dengan obyek penelitian. “Tak ada yang lebih baik bagi seorang peneliti ketimbang diberkati dengan keakraban-keakraban yang mendalam dan awet begitu, yang kerap jauh lebih berharga ketimbang riset sepi di perpustakaan” (hal. 105). Barangkali ini juga suatu tamparan keras bagi para peneliti Indonesia, tapi ini juga sebuah ilham bagi rahasia lahirnya karya besar dari seorang peneliti.
Karya dari peneliti Indonesia yang dilahirkan oleh para akademisi baik dosen maupun mahasiswa tidaklah berjumlah sedikit, tapi mana karya besar mereka? Tentu barangkali ada walau hanya beberapa. Misal saja para akademisi yang banyak membuat esai tentang permasalahan agraria di daerah pegunungan kendeng utara, mereka sama sekali tidak mau bersentuhan langsung dengan anasir penelitian yang ada di lapangan. Akhirnya bukan hanya karya besar yang tak dapat lahir dari tangan dinginnya, tapi tak ada perubahan apapun yang terjadi.

, , , , , ,

3 tanggapan ke Om Ben: Penelitian, Ibunda, dan Buku

  1. Sahrul Gasrul Romadhon 30 November 2016 pada 18:10 #

    Suwun, Kang Mas.

  2. himmam aulady 25 November 2016 pada 17:41 #

    Its a great show bro 👍👍👍

    • Sahrul Gasrul Romadhon 30 November 2016 pada 18:12 #

      Suwun, Kang Mas.
      Terus ikuti pos posku.

Tinggalkan Balasan