pohon-pak-haji

Pak Haji dan Kayu-kayu

Entah sejak kapan Pak Haji sering pergi ke halaman depan. Setiap hari, Pak Haji selalu mengendarai sepeda matik, duduk di tempat mebel. Melihat para pekerja yang sedang menggergaji kayu. Seolah-olah dia mandor yang setiap saat mengawasi kinerja bawahan.

Seandainya bukan karena omelan Buk Haji tadi pagi, aku rasa aktivitas Pak Haji biasa-biasa saja. Meskipun lima sampai sepuluh kali bolak-balik antara rumahku dengan rumahnya. Itu semua, karena efek usia tua.

Sayangnya, tiap kali Pak Haji datang lalu duduk di bawah pohon ketapang, Bu Haji menyusul dengan dibonceng sang cucu, membujuknya pulang. Malu dilihat orang-orang. Katanya begitu.

Padahal semua orang di desa tahu, kalau di usia tua, kebanyakan orang akan bersikap seperti anak kecil. Akan kembali seperti bayi yang rewel. Dan tugas anaknya yang merawat, seperti orang tuanya yang dulu merawat ketika bayi. Namun, kondisi ini tak berlaku dengan Pak Haji. Hanya istrinya saja yang merawat, sedang anak-anaknya tak peduli meski tinggal serumah.

“Bu, kenapa Pak Haji selalu dimarahi-marahi?” tanyaku pada Ibu yang tengah melihat sinetron.

“Ya, sudah tua. Pasti begitu.”

“Tapi, kasihan, Bu.”

Ibu tak jawab. Matanya terpusat di adegan seorang anak yang melawan ibunya. Aduh, kalau sudah begini, Ibu tak bakal merespon. Ibu bakal bertahan sambil sesekali menyeka air mata lantaran melihat keprihatinan sang aktris. Lebih baik aku beranjak ke ruang depan. Melihat Pak Haji yang kuyakini bakal datang sebentar lagi.

Benar saja. Pak Haji datang melihat para pekerja. Seolah-olah tak peduli dengan omelan istrinya tadi pagi. Aku yang penasaran, terpaksa menghampiri Pak Haji yang berdiri dengan kedua tangan di pinggang.

“Pak Haji tak takut dimarahi?” kataku agak keras. Suara gergaji sangat nyaring. Lagipula, pendengaran Pak Haji juga terganggu.

“Dimarahi siapa? Bu Haji? Tak apa, Seta. Dia sudah kukunci di kamar mandi. Ha ha ha.”

“Benar Pak Haji?”

“Iya, aku tak bohong.”

Seandainya ini benar-benar terjadi, aku yakin sebentar lagi akan terjadi peperangan hebat. Anehnya, Pak Haji tak merasa bersalah. Dengan senyum sumringah, dia memandang pekerja yang sedang mengukir kayu. Di area itu, ada yang bertugas membuat lemari, meja atau kursi. Tentu, ada pula yang bertugas mengecat agar terlihat lebih menawan.

“Pak Haji kenapa suka melihat kayu-kayu ini?”

Pak Haji tak jawab. Sepertinya dia tak mendengar suaraku.

“Pak Haji kenapa suka melihat kayu-kayu ini?” kali ini, suaraku lebih keras. Dan Pak Haji menoleh sambil tersenyum.

“Kamu tahu, Seta? Kayu-kayu ini mengalami perjalanan panjang. Mirip perjalanan manusia. Saat melihat kayu-kayu ini, aku merasa melihat diriku sendiri.”

“Seta tak paham, Pak Haji.”

“Begini, Nak. Coba kamu ingat-ingat. Kayu ini didatangkan darimana? Dari hutan, bukan? Bertahun-tahun dia tumbuh, lalu ditebang. Digergaji, lalu dibentuk dan diukir menjadi kursi atau meja. Setelah itu dipakai.”

“Lalu?” tanyaku tak sabar.

“Manusia juga begitu. Dia tumbuh dari bayi, remaja lalu dewasa. Dan proses pertumbuhannya itu sama persis seperti mengukir kayu. Bedanya, pengalaman hidup manusia yang menentukan apakah dirinya menjadi kursi atau meja. Atau menjadi kayu yang tak berharga seperti sisa potongan yang tak berguna. Kualitas dari pengalaman itulah yang membuatnya bakal bertahan seperti pohon jati atau pohong sengon.”

Baru kali ini, kulihat mimik muka Pak Haji serius. Sebelum-sebelumnya, dia hanya tersenyum dan sesekali alisnya mengkerut saat melihat tumpukan kayu.

“Jadi, Seta. Kamu harus memilih bakal menjadi pohon jati atau pohon lainnya. Bakal menjadi kursi atau ampas saja.”

Belum selesai Pak haji memberi petuah, Bu Haji datang dengan muka memerah. Tangan kanannya mengacungkan reranting, dan berjalan cepat ke arah Pak Haji. Suasana pun mencekam. Ditambah Lek Diman menghentikan mesin gergaji. Penasaran melihat adegan suami-istri ini.

“Berani-beraninya kamu mengunciku di kamar mandi. Sekarang pulang!”

Pak Haji tak menggubris. Dia tetap berdiri di bawah pohon ketapang melihat pick up yang baru datang. Sedang aku, terpaksa menyingkir. Tak baik di dekat orang yang bertengkar.

“Ayo, pulang! Kamu tak malu dilihat orang-orang?”

Pak Haji tetap berdiri. Tak menoleh ke arah istrinya sedikitpun.

“Aku ini istrimu. Aku yang merawatmu. Ayo, pulang!”

Kali ini, ucapan Bu Haji berhasil memancing emosi si suami.

“Tak usah rawat aku. Aku bisa kerjakan sendiri.”

Bu Haji tak menggubris. Dipukullah suaminya itu menggunakan reranting. Pak Haji bersungut melihat istrinya marah-marah. Lantas menuju ke sepeda, menstarter, lalu pergi. Sedang Bu Haji yang diantar cucunya itu, ikut pergi.

Semenjak kejadian itu, Pak Haji tak lagi pergi ke halaman depan. Orang-orang yang bekerja tampak penasaran tak mendapati Pak Haji berdecak pinggang di bawah pohon ketapang.

“Itu yang namanya malang di usia tua,” ujar Jusup sambil memikul kayu di atas bahu.”Gara-gara hartanya dipakai anaknya buat judi.”

“Hush. Tak boleh sembarangan,” seru Kardin.

“Lah, memang kenyataannya begitu. Kamu tak lihat, semua anaknya pada suka mabuk dan main judi?”

“Tak baik, Sup membicarakan aib orang lain.”

“Bukan sok suci, Din. Tapi, semua orang sudah tahu. Jadi, kenapa Pak Haji suka main ke sini? Soalnya dia mumet kalau ada di rumah. Anak tak ada yang bisa dibanggakan. Sedang istri, mirip-mirip Mak Lampir.”

Aku hampir ketawa mendengar penuturan Jusup yang mengatakan kalau Bu Haji mirip dengan pemain sinetron di tivi. Padahal di film itu, Mak Lampir hadir sebagai sosok menakutkan. Rambutnya panjang dan giginya hitam. Beda dengan Bu Haji yang selalu tampil menawan. Gamis yang dikenakan selalu mewah dan mengkilap.

Sekilas, aku membenarkan apa yang disampaikan Jusup barusan. Bukan apa-apa, orang-orang di desa pada tahu kegemaran anak Pak Haji. Lelaki tua itu memiliki tiga anak. Dua perempuan dan sisanya lelaki. Pernah suatu waktu, anak lelakinya dijemput polisi lantaran menjadi bandar togel. Bos judi online. Si anak perempuan juga begitu. Tetapi bukan kasus judi. Ia ditangkap karena menjadi pengedar narkoba golongan satu. Kalau dipikir-pikir, anak perempuan satunya yang tak pernah berurusan dengan penegak hukum itu. Sayangnya, dia sangat cuek dan sinis. Pelit pula. Sedangkan Bu Haji. Ya, begitulah. Kuakui, Pak Haji pasti tertekan jika terus menerus berada di rumah dengan keadaan seperti itu.

Tetiba, dari arah seberang jalan, Misni lari menuju halaman depan. Orang-orang cekikikan melihat raut muka Misni seperti orang kebingungan. Mungkin dia butuh bantuan. Soalnya, selama bekerja di toko Pak Haji, ia sering mengeluh kalau pekerjaannya sangat berat. Mulai dari membuka toko, melayani pembeli, hingga ikut menjaga gerak-gerik Pak Haji dan anak-anaknya. Kalau sampai si Misni tak tahu perihal kepergian anak Pak Haji, Bu Haji bakal memotong gajinya.

Sayangnya, tebakanku kali ini meleset. Setelah tiba di depan orang-orang, Misni berucap dengan bibir gemetar.

“Pak Haji meninggal di kamar mandi. Setelah dikunci seharian sama Bu Haji.”

BACA JUGA:

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan