Paparo

Debur ombak di pantai ini terasa berbeda dari sebelumnya. Ini adalah kesekian kalinya aku mengunjungi pantai ini. Desir angin dan suara gemuruh ombak pantai yang beradu dengan dinding karang itu masih sama. Kususuri tepi pantai ini seraya membiarkan belaian air menyentuh kakiku. Dulu aku masih bisa tertawa lepas sambil bercanda ria dengan keluargaku. Kami tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Aku rindu akan masa-masa itu. Kini saat aku mencoba tertawa, rasanya hambar. Jika saja saat itu aku tidak memaksa Ayah menjemputku di bandara disaat cuaca sedang tidak mendukung, mungkin saat ini aku masih bisa tertawa bersama mereka.

Kulanjutkan perjalananku ke sebuah kedai pizza. Tempat ini juga dulu tak luput dari sasaran keriuhan kami. Kami bermain bersama seraya menunggu makanan siap. Tapi setelah makanan siap, kami tiba-tiba diam. Ayah memang selalu mengatakan pada kami, “Makan harus diam. Kalau kita makan sambil bicara, makanan kita bakal kebingungan. Dia yang seharusnya jalan ke perut malah nyasar ke hidung, bisa juga ke paru-paru.” Setelah Ayah mengatakan itu, kami semua terdiam sambil bertatapan satu sama lain untuk beberapa saat. Kemudian kami kembali tertawa lagi. Lelucon Ayah begitu kuno, tapi kami semua mempercayainya.

Kedai pizza ini masih sama seperti dulu. Hanya beberapa dekorasinya saja yang diperbarui. Pak Dendi juga selalu menyapa tiap tamu dengan senyum lima jari khas nya. Sesaat setelah melihatku, dia langsung bergegas menghampiriku. Tepat di pojokan di bawah pengeras suara, aku duduk.

“Natasha, sudah lama kamu tidak kesini lagi. Paparo pikir kamu sudah pergi diculik alien sosis.,” ucapnya dengan tertawa kecil. Dia masih mengingat lelucon itu rupanya.

“Ayolah, pak Dendi. Paparo? Alien sosis? Itu sudah berapa tahun yang lalu ya?”

“Kamu masih ingat kan, kenapa kamu memanggil pak Dendi dengan sebutan Paparo. Dan pak Dendi harap kamu juga enggak takut lagi dengan sosis bratwurst lagi.”

“Enggak, dong. Ah, Paparo itu pas aku umur delapan tahun kan ya. Padahal aku sudah lupa loh, Paparo malah ngingetin lagi.,” timpalku.

“Oh iya, kamu mau makan apa? Seperti biasa?”

“Pastinya dong.”

“Oke, tunggu ya. Paparo buatkan spesial buat kamu pokoknya.” Ucapnya seraya meninggalkanku menuju dapur. Tak berapa lama beliau kembali dan duduk di sebelahku.

“Nat, berhentilah menyalahkan dirimu terus.,” ucap Paparo.

Seketika tubuhku membeku saat Paparo mengucapkan kalimat itu. Pandanganku tiba-tiba buram. Air mata yang lama bersembunyi kini sudah tak malu lagi. Seketika itu pula aku langsung berdiri dari tempat dudukku dan berusaha menjauh. Namun tangan Paparo lebih cepat daripada gerakanku.

“Paparo tahu kamu sangat benci jika ada orang yang ikut campur dengan masalahmu. Tapi tolong dengarkan ini untuk sekali saja.,” ucapnya sambil menarikku kembali duduk.

“Kalau Paparo sudah tahu, kenapa harus bersusah payah melewati batas yang harusnya tidak Paparo lewati. Paparo cuma bakal bikin aku benci!” ucapku dengan nada dingin.

“Tenangkan dulu dirimu. Sekarang coba jawab, berapa umurmu sekarang?”

“Tsk, apa sih Paparo ini? Enggak penting!” balasku sambil menghapus air mata yang membandel.

“Ayolah, ini penting sekali.”

“25 tahun..”

“Tujuh tahun lebih sejak kejadian itu. Mau sampai kapan kamu seperti ini? Dengar, Paparo memang bukan siapa-siapa. Tapi Paparo tahu siapa Ayahmu. Bahkan kami berteman jauh sebelum Ayah dan Bundamu bertemu. Ayo ikut Paparo.,” ajaknya. Kami kemudian berjalan ke sebuah ruangan yang terlihat seperti kantor kecil. Paparo bergegas menunjukkan sebuah album foto berukuran kecil kepadaku.

“Apa ini?” tanyaku.

“Buka saja.,” ucapnya sambil tersenyum.

Lembar demi lembar foto kulihat. Terlihat foto saat dulu Paparo muda. Dan ada foto bersama dengan Ayah juga. Pandanganku terfokus pada foto pernikahan Paparo. Kemudian pada foto seorang anak laki-laki. Tunggu! Sepertinya aku mengenalnya.

“Ini, seperti anak kecil yang dulu suka sekali menggangkuku. Dia dulu suka sekali melemparkan tepung kearahku. Ini… Aldi, kan? Eh, iya. Aldi kemana ya Paparo? Sudah lama aku enggak ketemu sama dia. Aku pengen lihat gimana anak tengil itu sekarang.”

“Coba kamu balik lagi foto-foto selanjutnya.”

Pandanganku terhenti kearah foto dua pusara makam yang berjejer rapi. Diatasnya penuh dengan taburan bunga. Dan diatas nisannya tertulis nama tante Alya dan Aldi. Huh..? Saat kubalik foto selanjutnya terlihat foto subuah mobil yang rusak parah. Aku semakin tidak mengerti. “Ini apa maksudnya, Pap?” ucapku sambil memandanginya.

“Ya, Aldi dan tante Alya sudah pergi mendahului Paparo. Mungkin kamu tidak tahu kalau dulu saat kamu masih bersekolah di Jepang. Toko kami berkembang dengan pesat. Kami sampai membuka beberapa cabang. Kami pergi bersama bertiga. menuju Semarang, ke rumah orang tua tante Alya. Sebenarnya Paparo sudah lelah saat itu, tapi Paparo tetap memaksakan diri. Padahal Aldi sudah memaksa untuk menggantikan menyetir. Tapi Paparo tetap kukuh. Sampai di suatu jalan, saat semua sudah tertidur, tiba-tiba saja Paparo mengantuk. Dan seketika itu semuanya gelap.”

“Lantas…” ucapku sambl memandang kearah Paparo.

“Tanpa sadar saat itu Paparo menginjak pedal gas terlalu dalam, mobil oleng dan menabrak bagian belakang truk yang saat itu parkir. Sialnya kenapa saat itu bukan aku saja yang mati. Aku koma selama enam bulan. Kamu tahu bagaimana sakitnya menjadi pembunuh bagi orang-orang yang kamu sayangi. Apalagi saat kamu tidak bisa melihat mereka untuk terakhir kalinya.”

“Paparo…” ucapku lirih.

“Entah berapa lama Paparo merasa berdosa. Dan entah berapa kali Paparo mencoba mengakhiri semuanya. Tapi kemudian ada Ayahmu dan Bundamu yang setia menjadi teman Paparo. Mereka yang merawat Paparo disaat paling buruk itu. Kanaya, dia memang malaikat kecil yang baik. Setiap pagi dia selalu menyuapiku sarapan. Dan setiap malam, dia selalu membacakan buku three little princess buatku. Katanya ini buku favoritnya. Hadiah terindah dari kamu, iya kan?”

Air mataku kembali tak bisa kutahan. Ingatanku kembali lagi saat aku berusia enambelas tahun. Saat itu aku menerima surat dari Aldi. Dia rajin mengirimiku surat dari Indonesia selama setahun penuh. Dia menceritakan semuanya. Bahkan dia juga rajin mengirimiku foto-foto dirinya dengan ekspresi konyolnya. Aku bukannya senang, malah suarat itu tidak pernah sekalipun kubalas. Bahkan saat di ulang tahunku yang ke-17, tiba-tiba sebuah email dari alamat tidak kukenal masuk. Nama emailnya masih kuingat sampai saat ini, Handsome Satan. Dan dia adalah Aldi.

“Hai anak jutek. Kamu itu anak terjahat yang pernah aku kenal. Ini aku, Setan. Masih ingat kan dulu anak kecil berambut kriwil gemes yang kamu panggil setan? Sekarang aku udah ganteng loh. Masih kriwil sih, tapi aku ganteng. He he he he…

Kamu kenapa enggak pernah balas suratku? Jangan bilang kalau kamu lupa caranya nulis. Atau jangan-jangan kamu lupa bahasa Indonesia? Atau jangan-jangan kamu sudah pindah rumah? Atau kamu enggak punya uang buat kirim suat? Dan berbagai macam atau lainnya.

Kamu tahu enggak? Betapa susahnya ngumpulin kekuatan buat sekedar tanya aamat email kamu ke om Dhani. Bahkan Ayah enggak mau bantuin. Tapi akhirnya dapet juga. Ternyata ayahmu enggak seserem yang kubayangin. Ternyata lebih serem anaknya he he he he.

Selamat ulang tahun ya! Aku hampir aja lupa ngetik email ini. Jepang-Indonesia kan beda dua jam. Aku harap aku jad orang pertama yang ngucapin selamat ulang tahun buat kamu. Andai aku punya pintu kemana sajanya doraemon, pasti aku sudah ada di belakangmu terus aku guyur kamu pakai tepung satu kantong!

Aku tahu kalau kamu enggak bakal balas emailku. Paling tidak kamu baca emailku saja sudah cukup. Dan hadiah buatmu juga belum bisa aku kirim. Karena aku belum beli sih, dan aku juga belum punya uang. He he he. Tapi aku janji, pas kamu kembali ke Indonesia nanti bakal aku kasih kadonya. Sekalian kado ulang tahun ke-18. Tapi jangan jambak rambutku lagi ya kalau ketemu. Aku kangen loh sama kamu.”

Email itu, jadi email pertama dan terakhir darinya. Setelah itu aku tidak pernah lagi menerima surat ataupun email dari Aldi. Ada perasan kecewa. Mungkin saat itu dia sudah capek, batinku. Tapi ternyata dia kembali menghadap Ilahi. Sekarang perasaan bersalahku bertambah lagi. Aku cuma bisa menangis seperti orang gila. Aku ini kenapa begitu jahat kepada orang lain? Paparo kemudian memelukku lagi.

“Maafkan dirimu, Nat. Tidak ada gunanya menyalahkan dirimu sendiri. Toh ini juga diluar batas kemampuanmu. Ayah, Bunda dan Kanaya pergi juga bukan karenamu. Tidakkah kamu lelah menyalahkan dirimu sendiri selama tujuh tahun ini? Tidakkah kamu bayangkan betapa sedihnya Ayah, Bunda dan Kanaya, bahkan Aldi saat ini melihat orang yang mereka cintai terus-terusan bersedih dan menarik diri.,” ucapnya?

“Tunggu? Aldi…???”

“Iya, dia cinta sama kamu. Ini…” perlahan Paparo berjalan menuju kearah sebuah lemari dan mengambil sebuah kotak seukuran kertas A4 dan memberikannya padaku. “Ini yang dijanjikan Aldi buat kamu. Paparo tidak tahu apa isinya. Bukalah, katanya kamu suka sekali sama dua benda ini.”

Kubuka kotak itu, isinya adalah sebuah jaket sweater bebek. Dia dulu suka memanggilku bebek. Dan ada kotak kecil berwarna merah. Di dalamnya ada dua buah cincin berwarna hitam. Ah, dasar anak bodoh.

“Jadi, bagaimana?” sahut Paparo saat melihatku tersenyum.

“Aku akan berusaha memaafkan diriku sendiri. Paparo benar. Maafkan kelakuanku selama ini ya Pap, apalagi yang tadi.,” balasku.

“No problem, sekarang kita bisa makan. Ayo, ayo. Keburu dingin makanannya.”

Sejak saat itu perlahan aku mulai memaafkan diriku dan mulai membuka diri. Rasanya begitu aneh awalnya. Tapi Paparo benar-benar seperti Ayah bagiku. Dia selalu menyemangatiku disaat apapun. Bahkan saat seorang lelaki melamarku, tak mudah bagi Paparo mengatakan iya. Sampai saat terakhirnya di dunia. Paparo tetap menjadi ayah bagiku. Kini aku sudah hidup dengan keluarga baruku. Semoga kini tinggal bahagia yang tersisa setelah badai dahsyat menerpa.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan