kutipan-kata-soe-hok-gie

Paul Walker dan Gie Sama-sama Mati Muda

Gie, Mati Muda

Di bioskop film anyarnya sudah tayang. Endingnya, kata seorang teman, bikin sesak napas. Tetapi apa lagi yang mesti dikenang dari seorang bintang film seperti Walker; mati muda, dan Fast & Furious mungkin bakal tamat. Tetapi, mari lupakan Paul Walker. Ada pria lain yang mati muda dan mensyukurinya. Dengan mengutip tulisan seorang filsuf Yunani, dia menulis; nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tetapi mati muda. Dan yang tersial adalah menunggu tua.

Soe Hok Gie, mati muda. Usianya baru menjelang dua puluh tujuh. Dalam usia belia tersebut Gie merupakan sosok yang tidak akan terlupakan dalam sejarah pergerakan kaum muda. Dia menulis banyak hal yang menyerukan arti kehidupan, kebenaran dan keadilan. Dia pecinta musik, film, sastra dan alam. Sebaliknya, hal yang dia benci adalah politik. Khusus mengenai politik, Soe Hok Gie jauh-jauh hari dari sekarang telah berucap hal negatif tentang politik. Dia bilang politik tai kucing. Politik menggerakan gelombang dan riak di atas permukaan yang menjadikan bangsa ini terus bergejolak. Perlawanan terhadap politik mirip usaha sia-sia untuk menghilangkan keruh kubangan dengan cara ikut mengocok permukaan air yang sama. Bila saat ini Gie masih hidup, kita tentu berharap dia akan menyerukan perjuangan terhadap kesejahteraan bangsa dengan jalur yang bukan politik. Tentu saja jalur perjuangan yang lebih realistik, tidak terpaut oleh golongan dan partai, dan benar-benar menyentuh masyarakat.

Setelah sekian dekade, saya melihat kembali Gie dalam film lama oleh sutradara Riri Riza. Di dalam film itu saya baru tahu jika Gie sosok yang cenderung kaku dan berpikir sendiri. Dia seperti bergerak dalam kesunyian. Tetapi cara dia berpikir dan bertindak, Soe lebih besar dari kebanyakan orang pada zamannya. Dialah yang sering berkata kepada teman-temannya bahwa tidak selamanya bangsa Indonesia harus selalu mengiyakan apa yang dikatakan oleh Soekarno.

Barangkali Soe lebih pilih mati muda, seperti apa yang dia bilang. Dengan mati muda tidak perlulah dia melihat hasil perjuangannya yang berapi-api tapi sia-sia, ketika yang naik ke tahta tidak bisa menjernihkan air yang keruh. Dia sangat benar berbicara soal kemunafikan, buktinya hingga hari ini malah, politik hanya melahirkan sosok-sosok yang melambai dari balik kaca sementara di pojokan dekat tong sampah seorang pria muda tengah makan sisa pepaya yang dibuang (seperti dalam adegan film yang digarap Riri Riza).

Idealisme

Banyak orang menganggap, ketika Soe Hok Gie meninggal di gunung Semeru, dia membawa serta idealismenya. Pada tahun 1960-an sikap kritis Soe Hok Gie tertera dalam cara hidup serta tulisan-tulisannya. Sikap kritisnya inilah yang menurut orang gambaran dari idealisme Gie yang tidak mau tunduk pada motif-motif kemunafikan.

Bagi Soe Hok Gie idealisme sejati tidak lain adalah bagaimana seseorang berkata, berbuat dan bertindak hanya atas nama kebenaran semata. Karena idealisme pulalah Gie berkata bahwa lebih baik terasing daripada mengalah pada kemunafikan. Hidup di negeri kaya yang miskin ini, siapa yang tidak mau masuk dalam elit penguasa? Sejarah mencatat nama Gie ini. Di saat Orde Lama telah mereka tumbangkan dan kesempatan menjadi bagian dari penguasa tanah air ada di depan mata usai perjuangan mereka yang keras, Gie malah memilih menjauh dari hingar bingar politik dan kekuasaan. Dia tidak masalah saat teman-temannya mengucilkannya ketika suara kerasnya soal kemunafikan dia lambungkan tatkala teman-teman seperjuangannya banyak yang mulai goyah mempertahankan kebenaran dan prinsip-prinsip dari balik tampuk kekuasaan.

Abu-abu

Dalam film yang disutradari Riri Riza, ada sebuah adegan ketika Gie menolak masuk dalam organisasi mahasiswa. Seorang teman kampusnya datang mengajaknya ikut serta sambil mencemooh Gie yang lebih suka mendengarkan musik, nonton film dan naik gunung.

Ketidaktertarikan Gie masuk organisasi beralasan sikap anarkis golongan mahasiswa dalam menyerukan opini mereka. Gie juga tidak suka ketika politik masuk kampus, sebab menurutnya hal itu akan berpotensi pada pembagian gerakan berupa kelompok-kelompok mahasiswa. Kelompok dan organisasi membuat mahasiswa terpecah menyerukan aspirasi atas nama masig-masing.

Gie tidak setuju politik golongan. Semula dia menjauh dari berbagai organisasi di kampus karena alasannya bahwa jika mahasiswa menyuarakan kebenaran maka mereka mesti melakukannya atas nama kebenaran, bukan atas nama golongan. Tetapi pada akhirnya Gie berubah pikiran. Seperti seekor burung dia kemudian memilih mengarungi iklim yang buruk saat masa migra dalam kawanan yang dia pilih; menuju pertarungan yang sama, untuk mencapai titik yang satu. Maka dia telah menulis bahwa politik adalah hal yang kotor. Namun ketika seseorang tidak mampu menghindarinya lagi maka terjunlah ke dalamnya.

Gelombang demonstrasi tahun 60-an sangat terkenal, merujuk pada turunnya Soekarno dan Orde Lama. Di tengah jalan waktu itu, ada Soe Hok Gie, seperti dia pernah tuliskan bahwa dia putuskan untuk mengikuti demonstran, karena mendiamkan masalah adalah sebuah kejahatan. Gie akhirnya turun ke jalan, menyerukan pernyataan politiknya. Soekarno akhirnya diturunkan. Di saat yang sama pembunuhan dan kekerasan terjadi, mereka yang dianggap PKI dituntaskan.

Soe Hok Gie

Soe Hok Gie, panggil saja Su atau Gi. Dia ada benarnya dengan memandang kekacauan di negeri ini hanyalah permainan para elit politik. Baginya politik ibarat kubangan air yang kotor sehingga berbagai perlawanan untuk meredakan kekacauan politik dilihat seperti mengguncang permukaan kubangan sehingga kotoran tidak akan mengendap. Maka dari itu Gie lebih suka nonton film, dengar musik dan naik gunung. Bahkan dia mengacuhkan teman sekampusnya yang mengajaknya masuk organisasi, dan ketika dia menolak politik masuk kampus dia disalahkan karena dianggap tidak mempunyai arah perjuangan.

Soe Hok Gie lapar membaca, dan dia sendiri menyadari kalau dirinya pintar. Maka ketika teman-teman kampusnya sibuk bersuara dalam kelompok-kelompok gerakan mahasiswa, Gie lebih suka naik Merapi atau turun lembah Mendala Wangi. Dia bilang ke teman baiknya, Herman Lantang, jika manusia ingin bebas maka mereka harus belajar terbang.

Sumber:

  • Buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran
  • Film Soe Hok Gie (sutradara Riri Riza)

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan