peluh-ibu

Peluh dalam Napasmu

Disebuah pohon mangga yang tak begitu rindang daun serta dahannya, terduduk lesuh seorang wanita paruh baya dengan selendang batik yang melingkar ditengkuknya serta keranjang jamu nan teramat berat bobotnya, dipikulnya saban pagi. Peluh menetes-netes teratur dari keningnya yang sudahlah terlalu berlipat-lipat. Sedang kedua tangannnya yang berkerut-kerut kering bagai tak penah tersiram air, menghitung lembar-lembar uang yang tak sepadan jumlahnya jikalau dibandingkan dengan bebannnya yang tiada berkesudahan. Sejak fajar hingga bertemu fajar kembali, dipikulnya benda besar itu demi menghidupi kedua buah hatinya yang kelaparan dibilik bambu.

Bagai kerbau yang dicekoki air oleh empunya, mau tak mau dijalaninya lakon yang semestinya dilakoni oleh sang suami. Sedang sang suami jatuh sakit dibilik bambu.

Menengok lembar uang yang tak seberapa nilanya itu, semakin perihlah nuraninnya. Sebab tak dapatlah ia memberi makan kedua putrinya yang sedari kemarin merajuk meminta lauk ikan sebagai pengganti garam. Sedang ia kelaparan, tiadalah seujung kukupun ia memikirkan perutnya yang tersisa tulang rusuk berlapis kulit. Melihat buah hatinya memakan seujung kepala ikan pun perutnya sudah tak begitu merajuk meminta yang lain. Bahkan makan angin pun ia tak mempermasalahkan.

Terlalu lama ia termenung dibawah pohon mangga itu, meratapi gurat nasibnya yang penuh sesak oleh cobaan. Hingga terjunlah sang mentari ketempat peristirahatnnya, dihantar lembahyung senja yang tampak bak puteri kahyangan. Langit oranye berpadu padan dengan warna biru nan selembut sutera. Dengan tergopoh diangkat serta dibawanya keranjang jamu kecokelatan itu. Kembalilah ia kebilik bambu tanpa membawa seonggok lauk pun.

Suara pintu bambu nan usang, terdengar berdenyit membangunkan seisi bilik. Si sulung Atik beserta si bungsu Arni terlonjak dari lelapnya, meloncat dari dipan tipis yang sebuah itu saja kepunyaan mereka sekeluarga. Atik yang terlalu lama lapar hingga terlelap, pertama-tamanya menghampiri sang Ibu. Bukan perihal senang akan kepulangan sang Ibu yang sepatutnya ditunggu-tunggu, namun sebab ingin segera menyantap lauklah yang terlintas dalam benaknya. Behari-hari tiadalah ia sudi makan bila tak ada lauk yang menjadi teman makannya. Hingga kurus keringlah badannya itu. Lain darat lain lautan. Lain Atik lain pula Arni. Si bungsu yang teramat berbudi pekerti kelakuannya, tak pernah memaksakan kehendak perut. Makan nasi dengan garam pun sudahlah menjadi asupan pokok perut kecilnya, serta penyayang terhadap ibunya. Selalu rindu pabila sang Ibu terlalu lama diluar bilik. Senantiasa sudi memijat kaki Ibunya, melayaninya, serta menjadikannya nyonya pabila perlu.

Seumpama serigala yang sigap dalam memangsa, sekali tak tercium harumya maka tak adalah mangsa itu disana. Atik melongok heran pada keranjang cokelat yang hanyalah terisi jamu-jamu nan masih penuh airnya. Tahulah ia bahwa tak seekor laukpun guna disantapnya malam ini. Memerah padamlah kedua pipinya. Urat-urat dipelipisnya menonjol-nonjol tak ubahnya akar pohon jati. Mata bulatnya membelalak kehadapan wanita dimuka wajahnya.

“Mana lauk untukku Bu?” Tanyanya bersungut-sungut meminta keterangan.

“Maaf, Atik puteriku yang bijak, sebab Ibu tak dapat membawakanmu seonggok lauk pun. Sebab tak cukup banyak jamu yang terjual hari ini.” Sang Ibu melembutkan nada bicaranya.

“Alah alasan! Sejak pekan-pekan yang lalupun itulah saja yang dapat Ibu ucap bila pulang tanpa membawa lauk! Tak bisakah Ibu mancari alasan lain? Sebab alasan itu sangatlah terdengar kuno di telingaku.”

“Apalah yang dapat Ibu terangkan lagi wahai Atik puteri sulungku, tiadalah Ibu hendak berbohong padamu. Segala yang Ibu katakan ini adalah benar adanya.”

“Sudah cukup! Aku tak tahu serta tak mau tahu. Bagaimanapun caranya Ibu mesti membawakanku lauk guna kusantap esok malam.”

Atik berlalu meninggalkan Ibunya bersama Arni. Sedang ia pergi bergaul dengan teman-temannya yang teramatlah borjuis gaya hidupnya, tak sepadan dengan Atik yang bila berkehendak saja sesulit mencari emas dalam kubangan lumpur.

Arni jelas lebih dewasa dibanding kakaknya yang hanya seorang itu saja. Melihat Sang Ibu keletihan, maka tergetarlah sukmanya hendak membahagiakn Ibunya yang bersusah-susah menghidupinya. Lebih-lebih melihat sang Ibu yang tiada henti dihardik oleh Atik kakaknya itu. Mendekatlah ia kehadapan sang Ibu, memeluknya seperti hendak menghangatkan jiwa keduanya. Diusap bersihnya peluh serta air mata Ibu dengan baju kausnya yang terlalu besar ukurannya, bekas pakaian tetangganya yang dihibahkan padanya.

“Maafkan Ibu wahai Arni puteri bungsuku. Sebab hanya garam dan sekepal nasilah yang dapat Ibu berikan guna menghidupimu.”

“Tak patutlah Ibu memohon maaf padaku, sebab apa yang engkau berikan sudahlah lebih dari cukup guna menghidupiku. Tak perlulah Ibu berpusing kepala mengingat kelakuan kak Atik yang tak sepatutnya itu, sebab buah hatimu tak hanyalah ia seorang. Masih ada Arni yang InsyaAllah taat dan hormat padamu.”             Maisarah. Nama Ibu yang tak kenal letih dalam menafkahi keluarga kecilnya itu. Seusai makan malam yang teramatlah sederhana, pergilah ia melongok suaminya yang terbaring lemah diatas dipan. Duduklah ia ditepian ranjang yang terbuat dari bambu. Menangis pilu melihat suaminya yang berbicarapun ia tak lancar.

“Zainal, tahukah engkau bahwa anakmu kelaparan saban malam? Tak kasihankah engkau pada kedua anak gadismu yang terlalu muda itu? Cepatlah sembuh wahai Zainal ayah dari kedua gadis yang kelaparan itu. Agar dapatlah kita sekalian bergurau seperti masa dahulu, hidup cukup meski tinggal dibilik bambu ini. Dengan kesembuhanmu sudahlah cukup bagi kami supaya bahagia hidup berpijak dibumi ini, sebab harta senilai jagat raya pun takkan mampu membayar kebahagiaan kami sekalian dengan kehadiranmu. Zainal, adakah sampai pesanku ini ditelingamu? Pabila sampai pesan ini, maka lakukanlah apa yang sepatutnya kau lakukan. Berjuanglah melawan sakitmu itu, sebab kesembuhanmu adalah pangkal dari pada kebahagiaan kami sekalin.”

Maisarah tak berani bertatap muka dengan Zainal suaminya. Sebab ia tak kuasa lagi menerima kenyataan perihal suaminya yang telah lumpuh sebab penyakit stroke yang tiadalah dapat dibawanya penyakit itu pada dokter. Sebab tak sepeserpun uang yang dapat dibayarkannya guna pengobatan sauminya itu.

Hanyutlah Maisarah dalam nostalgianya. Teringatlah ia akan kebahagiaan lama yang terasa amatlah langka didapatnya kini. Masa-masa ia dan kelurga kecilnya sekalian hidup dengan berkecukupan walau hanya tinggal dibilik bambu, semasa suaminya berladang disawah kepunyaan kepala desa. Memanglah hasil dari berladang itu tak seharga sekarung beras, namun cukuplah guna membeli seekor ikan nila dari kolam tetangga. Tak perlulah Maisarah berpenat letih menjual jamu berkeliling desa. Sebab hanya kebisaan yang satu itu sajalah yang ia punya. Sedang kebisaannya itu tiada dapat membeli sekepal kepala nila pun. Bagai sebuyung air yang melimpah ruah lantas tumpah dari wadahnya. Setelah cukup hidupnya maka tumpah meruahlah sekalain kebahagiaannya, sebab sang suami yang jatuh sakit dua-tiga tahun yang lampau. Sebab melongok kelakuan puterinya yang tak pandai bersyukur atas nikmat Tuhan yang sekiranya cukup itu. Semasa Atik tertangkap basah bermabuk-mabuk kala kembali kebilik. Bercakap lunglai menghujat pendapatan serta pekerjaan Ayahnya. Disebutnya pekerjaan itu hina sebab tak mampu membelikannya perhiasan yang teramat berkilau warnanya. Sedang yang ia kenakan hanyalah kalung benang wol yang usang serta hampir putus. Terpukul benar kejiwaan Zainal kala itu, hingga jatuh terkaparlah ia dibilik bambu ini.

Maisarah tiada beranjak dari dipan itu, termenung-menung sepanjang malam. Hingga terpikirlah olehnya suatu niatan yang tak sepatutnya dilakukannya.

Tepat kala fajar muncul dipermukaan bukit, Maisarah angkat kaki dari rumah guna berdagang jamu berkeliling desa. Girang betul nuraninya kala itu, sebab ia tahu perihal hari ini akan dibawakannya tiga ekor ikan nila yang bolehlah disantap beramai-ramai sekeluarga. benarlah firasatnya itu, tak perlulah ia berlama-lama menjajakan jamunya, sudah dapatlah ia membawakan tiga ekor ikan kebilik bambu.

Atik memanglah bersuka melihat ikan goreng yang teramat harum wanginya itu. Namun ada satu perkara yang membuatnya terheran-heran. Sebab tiap-tiap ditengoknya keranjang jamu kepunyaan Maisarah, tak ditemuinya sebotol jamupun yang kosong airnya. Sedang masing-masing dari botol itu tiadalah habis seratus milipun. Terdiamlah ia beberapa masa dimeja kayu nan keropos sudutnya.

“Dari manakah gerangan Ibu mendapat ikan sebanyak ini? Sedang kulihat tak seliter jamupun habis daripada botol-botol kaca itu.” Atik menoleh pada Maisarah penuh curiga. Sedang Maisarah membisu.

“Kudengar tetangga kita yang terlalu banyak ikan dikolamnya itu… mengadu perihal kehilangan beberapa ekor nila. Beginikah cara Ibu mencari duit guna menafkahi kami sekalian? Mencuri?”

Demi mendengar cakap Atik, Maisarah terlonjak sejurus bersimpuh kehadapan Atik. Kedua mata tuanya tergenang oleh air mata. Tiadalah ia bermaksud memberi keluarga kecilnya itu dengan duit yang tak patut pabila ia kepepet sekalipun. Sedang Atik enggan mendengar cakap Maisarah.

“ Sudahlah! Tak perlulah ibu berdusta, akuilah saja perbuatan hinamu itu.”

Semakin perihlah batin Maisarah hingga terkaparlah ia dilantai bambu sebab penyakit jantungnya kambuh. Bayang-bayang kematian sudahlah dekat menghampirinya. Selagi napas masih terkatung dikorongkongan, berucaplah ia perihal dari mana duit guna menghidupi keluarganya, kehadapan Atik yang kini terduduk lesuh melihat keadaan Maisarah.

“Wahai buah hatiku sekalian, menjelang kepergianku kealam sana. Akan kuterangkan perihal nila itu. Bahwasanya nila-nila itu kudapat dari tabunganku guna naik haji yang belumlah cukup jumlahnya. Tiadalah Ibu hendak memberi makan kalian dengan duit yang haram, sekalian dari pada duit itu kudapat dari keringatku seorang, maka berusahalah kalian menghidupi diri selepas kepergianku ini. Serta lepaskanlah jiwa kalian dari kehendak dunia. Sebab kebahagiaan bukanlah selalu daripada duit. Sungguh! Wahai puteri-puteriku, Ibu menyayangi kalian, kasihku tiada terputus meski oleh kematian sekalipun.” Gelaplah sudah pandangan Maisarah selepas hilang embusan napasnya itu.

Arni menangis menghimbau Maisarah. Nihil! ibunya tiada membalas himbauan itu. Sedang Atik tak kuasa menahan pilu dikarenakan ia tak sempat memohon ampunan pada Maisarah yang terlalu sabar jiwanya itu. Sedang selepas kepergian Maisarah, beban yang bertengger dipundaknya teramatlah besar bobotnya sebab kini ia mesti manghidupi Arni sakalian Ayahnya yang tak kunjung membaik. Menyesal seumur hiduplah ia atas perkataannya yang hina itu. Memang betul kata pepatah, penyesalan selalu tiba dipenghujung cerita.[]

sumber gambar : blogpadsite.wordpress.com

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan