pendidikan-karakter-bangsa-indonesia

Pendidikan dan Karakter Bangsa

Manusia perlu digolongkan menjadi satu di dalam kebenaran, harus bersama-sama mengunakan akal fikirannya untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan hidup manusia di dunia ini. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa?. Dan untuk apa yang dituju?. ”Manusia harus mempergunakan fikirannya untuk mengoreksi soal: iktikad, dan kepercayaannya, tujuan hidup, dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati, karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selama-lamanya”[KH Ahamd dahlan]

Ungkapan Ahmad Dahlan sangat relevan dengan ungkapan Multatuli dalam bukunya Max Havelar, Multatuli pernah mengatakan “panggilan manusia ialah mewujud sebagai manusia . Dalam aforisma tadi memang ada semacam nilai yang sebenarnya merupakan inti dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah proses pembebasan manusia. Membebaskan dari belenggu-belenggu yang mengikat manusia satu dengan manusia lain, yang menindas satu dengan manusia lain.

Memaknai apa tujuan manusia, memahami apa perlunya manusia hidup, untuk apa dan bagaimana kehidupan ini bisa kita jalani, inilah hakikat filsafat pendidikan. Memahami pendidikan adalah memahami manusia dari hakikat terdalam manusia. Akan tetapi yang sering difahami selama ini pendidikan kita masih terpacu pada masalah-masalah yang teknis dan kurang substanstif. Inilah yang kemudian mengakibatkan pendidikan ini bergeser dari substansi sebenarnya, yang semula bertujuan memanusiakan manusia, akan tetapi sekarang bergeser pada masalah pengangguran, masalah kesejahteraan, masalah teknis semata.

Pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat. Pendidikan yang sudah mulai memisahkan masyarakat dari pendidikan akan menghasilkan manusia yang tidak bertanggungjawab dan tidak berbudaya.

Dengan demikian, pendidikan yang sebenarnya adalah pendidikan yang selalu dan selalu berkaitan dan merefleksikan dirinya dengan masyarakatnya. Kita bisa melihat contoh seorang akademisi dari bangladesh yang meraih nobel ekonomi yaitu Muhammad Yunus yang geram dengan pendidikannya yang tidak membebaskan manusia, maka ia memilih keluar dari lingkungan akademiknya berhenti menjadi dosen, tapi tidak berhenti belajar memahami kehidupan dengan mendirikan grameen bank. Dengan konsepnya, rakyat dunia perlu belajar memahami pendidikan sebenarnya, dan proses pembebasan manusia termasuk dari kemiskinan.

Sebagaimana Michael Foucault pernah mengatakan, mustahil relasi pengetahuan tidak berhubungan dengan relasi kekuasaan. Dengan demikian, perlu sekiranya, pendidikan kita ditata kembali. Sebab evaluasi dalam pendidikan perlu kita lakukan secara terus menerus dan berkesinambungan sebagaimana yang dikatakan Paulo Freire : pendidikan adalah aksi-reaksi reflektif dan berkesinambungan. Artinya, ketika pendidikan sudah mapan dan tidak berkembang, secara otomatis manusia pun akan demikian pula, stagnan dan tidak berkembang.

Secara falsafah, Ki Hajar Dewantara sudah pernah memberi wejangan tentang filosofi pendidikan yang masih relevan sampai sekarang. Ing ngarso sung tulodho ing madyo mangun karso, tut wuri handayani yang artinya : Ketika di depan menjadi teladan, ketika di tengah membangun bersama, ketika di belakang ikut mendukung. Dalam falsafah lain, Ki hajar Dewantara juga mengatakan tentang falsafah pendidikan : ”Lebih baik menjual es cendol kemana-mana daripada menenteng ijazah kemana-mana tapi ia tidak mau berusaha lain”.

Kita menyadari, bahwa setiap kebijakan pendidikan akan berimplikasi pada konsep manusia dan dunia. Tawaran yang bijak perlu untuk era saat ini, adalah mengembangkan sikap kritis kita. Dengan kata lain pendidikan kritis menjadi penting untuk dikembangkan. Fadjroel Rachman mengatakan dalam bukunya Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat demikian : ”tanpa kritisisme tak ada jalan untuk menjadi manusia dan mengembangkan kemanusiaan kita”. Mengembalikaan kembali hakikat pendidikan tidak lain dan tidak bukan adalah mengembalikan konsepsi pendidikan pada hakikat fitroh manusia yaitu menjadikan manusia cerdas dengan dasar kesadaran sikap yang tangguh, kebebasan berfikir, keberanian mengambil resiko, serta keberanian bertanggungjawab dengan keputusan yang diambil. Bagaimana merumuskan kembali cara dan metodologi untuk mencapai ke arah sana harus mulai difikirkan lagi, diantaranya salah satu tawaran dari para pakar pendidikan kita dengan tidak lagi mengurusi hal-hal teknis melainkan kita mulai memikirkan pendidikan yang menghargai dan memberikan tempat kepada bakat dan keunggulan manusia. Sebagaimana pepatah china mengatakan :” Komoditas terbesar di abad ini ialah ”bakat”.

Pendidikan yang mengembangkan bakat inilah yang kelak membawa harapan dan memberi tempat potensi manusia itu bisa dinilai secara utuh. Dengan demikian, pengembangan pendidikan yang mengembangkan bakat dengan berbasis komunitas itulah yang  kiranya dapat diharapkan di negeri ini yang masih mencari alternatif terbaik dalam menentukan kualitas pendidikannya.

Simbolik

Pendidikan berkarakter, itulah sekilas istilah yang ngetrend dan laku di pasaran beberapa tahun ini. Pendidikan karakter pun menjadi alternatif dan pilihan bagi orang tua siswa kita yang khawatir dengan pergaulan yang sedemikian bebasnya. Selain itu, pendidikan karakter dipilih karena nilai dan daya kemas dalam sekolah yang menerapkan pendidikan berkarakter juga mempunyai karakter tersendiri selain biaya mahal. Fasilitas juga lebih. Demikian gambaran awal dari pendidikan karakter yang sedang populer di era saat ini.

Mari kita tilik bersama istilah pendidikan karakter ini. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Akan tetapi, yang terjadi saat ini cenderung pada penerapan aplikatif di sekolah, tetapi kurang efektif ketika terjadi di luar lingkungan sekolah. Keluarga yang semestinya menjadi elemen penting dalam mempengaruhi keberhasilan pendidikan cenderung kurang berperan.

Yang terjadi akhirnya, siswa cenderung berpura-pura ketika di lingkungan keluarga dan sekolah, tetapi menjadi begitu liar ketika di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Sebab, mau tidak mau pendidikan yang sejati ialah pendidikan yang tidak mungkin melepaskan ketiga unsur pendidikan yakni : keluarga,  sekolah dan masyarakat.

Sebenarnya sebagus apapun format pendidikan yang dibentuk, tetap akan mencapai pada satu tujuan besar negara yaitu “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya dimaknai sebagai penghasil lulusan terbanyak. Akan tetapi lebih dari itu, menghasilkan sarjana yang mengerti persoalan keumatan dan kebangsaan, menjadi alternatif solusi ditengah-tengahnya. Kalau kita menilik sejarah, sebenarnya format pendidikan berkarakter sudah dirumuskan dalam UUD 45 Bab XII pasal 31 terutama tentang tujuan pendidikan nasional sebagaimana ayat 3 : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,yang diatur dengan undang-undang” dan kewajiban pemerintah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana ayat 5: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Ditilik dari tujuan pendidikan inilah, pendidikan kita saat ini semakin kehilangan arah, pendidikan kita seperti tak mempunyai format dan visi ke depan yang mengarah pada tujuan negara, karena pada dasarnya negara cenderung tidak mempunyai visi ke depan. Ini dilihat, negara tidak lagi memiliki format garis besar haluan negara (GBHN) yang merupakan format dan arah bangsa kedepan dibawa termasuk salah satunya dunia pendidikan. Program yang ditawarkan KEMENDIKNAS di masa pemerintahan SBY-Budiono adalah program percepatan akses pendidikan dengan melakukan program internetisasi di bidang teknologi dan komunikasi. Selain itu, yang bisa kita lihat adalah maraknya rintisan sekolah berstandar international (RSBI) yang tidak jelas kemana arahnya.

Praktek yang ada sekolah atau kampus yang mengunggulkan konsep RSBI-nya, semakin tidak dimiliki masyarakat, padahal sejatinya kampus atau sekolah adalah milik masyarakat dan untuk masyarakat. Para praktisi pendidikan seperti kehilangan arah dan membebek saja pada pemerintah sebab pemerintahlah yang mengendalikan pendidikan saat ini. Pendidikan justru menjadi jarak yang jauh dari masyarakat dengan kecenderungan mahalnya biaya pendidikan. Pendidikan pun tidak lagi menciptakan manusia yang membebaskan, melainkan menciptakan kasta-kasta baru dalam pendidikan. Yang bayarnya mahal dapat sekolah atau kampus bagus, yang bayarnya murah gak bisa sekolah apalagi kuliah.

Begitu pula  ketika  kita melihat di era KEMENDIKBUD di era Anis Baswedan. Di era Anis, meski banyak inovasi dan capaian, kita belum  mengerti dan memahami ke arah mana pendidikan kita akan dikendalikan. Juga di era Muhajir Effendy, ada arahan untuk menyelaraskan pendidikan dengan kepentingan dunia usaha, tetapi juga belum memiliki platform yang  jelas dalam membentuk  pendidikan yang berkarakter kebangsaan.

 Proses pun nihil

Proses pendidikan yang lebih urgen daripada output justru dilupakan. Dalam trend pendidikan saat ini cenderung menciptakan manusia-manusia yang gagap terhadap realitas di masyarakat. Ia begitu pandai dan pintar dalam proses akademik, tetapi tidak mampu mencipatakan kreatifitas, menciptakan alternatif, memunculkan orisinalitas ide yang bermanfaat bagi berkembangnya masyarakat. Sertifikasi ataupun gelar yang ada tak mampu dan tak seimbang dengan problematika yang dihadapi masyarakat.

Pendidikan kita adalah rekayasa besar untuk pemenuhan kebutuhan kerja dan dunia industrial, ini termaktub jelas ketika SBY-Budiono menggelar National Summit sebagai program yang menyelaraskan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja dan industrial. Sehingga, pendidikan yang seperti ini tak mungkin diharapkan untuk mencerdaskan bangsa, melainkan hanya membebaskan manusia indonesia dari kemiskinan semu semata. Sebab hadirnya ribuan lulusan dari berbagai perguruan tinggi indonesia tidak kemudian memburu masalah untuk diselesaikan, malah menambah masalah dengan pengangguran dan juga kemiskinan yang semakin bertambah. Akhirnya pendidikan pun malah menjadi GIGO (garbage input, garbage output). Masuk sampah, keluar pun sampah. Tragis!. Pendidikan kita tidak akan pernah berubah dari permasalahan selama pendidikan kita tidak mampu melepaskan diri dari belenggu dan jerat utang maupun kepentingan asing. Pendidikan seperti itu hanya bisa dimunculkan oleh pakar maupun praktisi yang dilahirkan dari didikan kerakyatan yang mau dan berani teriak tegas terhadap pentingnya berdikari dalam semua hal utamanya pendidikan.

Begitu pula ketika jaman Jokowi, ia tak jauh beda dari  pendahulunya, yakni menyesuaikan konsep pendidikan dengan kepentingan industrial dan investasi besar-besaran.

Karakter Kebangsaan

Mengapa guru penting dan berperan dalam membangun karakter kebangsaan kepada peserta didiknya? Sebab guru sebagaimana yang dikatakan sukarno :”Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin dalam sekolah, guru di dalam arti yang special, ya’ni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak”. Karena guru yang menjadi pembentuk akal dan jiwa anak itulah, guru sangat berperan dalam membentuk manusia-manusia masa depan, manusia-manusia masa depan itulah yang kelak akan membangun bangsa ini dengan bekal dan karakter yang dibawanya. Dari pendidikan itulah, manusia-manusia masa depan dicetak, ketika guru tidak mengajarkan moralitas dan watak kebangsaan, maka generasi yang muncul tidak lain adalah generasi yang buta bagaimana ia berjalan di negerinya sendiri.

Ia akan merasa asing, dan tidak mampu mengaplikasikan wawasan keilmuannya dalam memberikan kontribusinya kepada bangsa dan Negara. Ataupun sebaliknya yang lahir adalah manusia-manusia yang mengkhianati bangsanya. Guru, dia memikul pertanggungjawaban yang maha berat, terhadap negeri dan bangsanya. Karena berat itulah, pekerjaan menjadi guru seringkali dihindari oleh banyak orang. Sebab mencetak manusia-manusia masa depan adalah bagian yang tidak terlepaskan dari guru. Bagaimana membangun karakter kebangsaan?

Pertama, Karakter kebangsaan dibangun karena kekuatan mimpi. Kekuatan imajinasi, mimpi bangsa ini yang saat ini jarang dibangun oleh guru-guru kita. Membangun imajinasi sebagai bangsa yang besar, bangsa yang adil sejahtera sangatlah susah dan jarang dilakukan. Padahal sangat penting ditengah bangsa yang terpuruk ini. Membangun imajinasi dan mimpi anak negeri sangat penting diterapkan di hati anak didik kita. Sebab bangsa ini lahir dari imajinasi para founding fathers kita yang tiap malam membayangi tidur mereka lewat imajinasi kemerdekaan. Sebut saja tan malaka. Tan malaka, adalah manusia Indonesia yang hidup dan memenuhi hidupnya dengan imajinasi kemerdekaan Indonesia. Penting kiranya ditanamkan dalam hati anak-anak kita untuk terus menjaga mimpi bangsa ini menjadi bangsa besar dan maju. Tanpa adanya mimpi membangun dan menjadikan bangsa ini lebih maju, susah kiranya bangsa ini akan maju.

Kedua, Spirit melawan ketidakadilan. Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan dalam bukunya Satu Peristiwa di Banten : “aku bosan takut, aku bosan takut”. Roman itu menjadi refleksi tersendiri dalam membangkitkan spirit perlawanan terhadap ketidakadilan. Spirit melawan ketidakadilan seringkali jarang didengungkan dalam dunia pendidikan kita, melainkan spirit pendisiplinan tubuh, otak, dan pemikiran. Ketiga, Spirit cinta pada manusia dan kemanusiaan. Fenomena saat ini menunjukkan negeri ini makin lama menjadi negeri yang penuh dengan spiral kekerasan. Kekerasan timbul tidak hanya di lingkungan masyarakat,tapi juga lingkungan pendidikan kita yang semakin menjadikan manusianya sebagai objek pendidikan dan menggunakan pendidikan sebagaimana system jual beli dalam logika ekonomi. Ini yang saat ini muncul, kemanusiaan menjadi nilai dan spirit yang penting dalam membangun karakter bangsa.

Pemimpin masa depan yang memiliki spirit kemanusiaan, maka akan lebih sensitive mendengar aspirasi rakyat, rendah hati bila di kritik, dan punya etos social yang tinggi. Sebab banyak orang cerdas, tapi korup, banyak intelektual tapi begundal, sebab nilai-nilai kemanusiaan sudah dihilangkan dalam dunia pendidikan kita. Dengan ketiga karakter itulah, dibentuk karakter kebangsaan, guru mempunyai andil yang sangat terhadap terbentuknya karakter tersebut. Sebab itulah guru menjadi pekerjaan yang tidak hanya sebagai profesi, melainkan pengabdian pengorbanan untuk kejayaan dan kemajuan bangsa di masa-masa mendatang.

*) Guru MIM PK Kartasura, tuan rumah Pondok Filsafat Solo

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan