pendidikan-humanisme-dialektika

Pendidikan Humanisme Dialektis

WS. Rendra, dalam “Sajak Sebatang Lisong”, menuliskan, “Aku bertanya tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet. Dan papan tulis-papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.” Puisi ini menohok persoalan pendidikan yang paling mendasar; “Apa sebenarnya tujuan dari pendidikan?”

Pendidikan selalu menyangkut dua entitias, yaitu individu dan kenyataan sosial. Sebuah teori mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membuat individu menyesuaikan diri dengan kenyataan sosialnya. Murid dilatih kemampuannya untuk  beradaptasi terhadap sosial masyarakatnya. Sederhananya, jika kenyataan sosialnya berperilaku A, maka pendidikan bertujuan untuk membuat murid bisa berperilaku A. Pendeknya, kenyataan sosial dijadikan sebagai patokan untuk membentuk perilaku individu.

Teori lain mengatakan berbeda. Tujuan pendidikan adalah untuk individu itu sendiri. Pendidikan mengarahkan murid agar bisa jadi dirinya sendiri. Asumsinya, murid adalah individu bebas. Pendidikan dalam pengertian ini meyakini individulah yang membentuk kenyataan sosial. Kenyataan sosial adalah akumulasi dari perilaku setiap individu.

Jika membandingkan kedua teori ini, maka pertanyaannya, “Teori manakah yang benar?”

Setiap teori di atas mempunyai konsekuensi logis yang perlu diantisipasi. Jika mengacu pada teori pertama, maka pendidikan akan mematikan kreativitas nara didik. Murid hanya akan diajar untuk meniru apa yang masyarakat lakukan. Penyeragaman menjadi tujuan akhir dari pendidikan. Murid yang berbeda akan dicap sebagai pembangkang, bodoh, dan tak bisa diajar. Sebaliknya, murid yang cepat beradaptasi meniru perilaku mayoritas akan dianggap sebagai murid yang cerdas. Dalam pemahaman ini, perbedaan merupakan sesuatu yang pantang. Pendidikan seperti ini sejatinyanya merendahkan kebebasan individu.

Sementara, jika mengagungkan individu di atas kenyataan sosial, maka anarkisme yang meraja. Anarkisme diartikan sebagai paham yang menolak hierarki, otoritas, dan menjunjung kebebasan mutlak. Pendidikan seperti ini berpotensi melahirkan murid yang liar, tidak tertib, dan kisruh. Hasil akhir dari pendidikan ini adalah pembentukan manusia-manusia anti sosial.

Humanisme  Dialektis

Kedua teori ini sebenarnya bersifat dikotomis-anti tetikal. Keduanya berdiri pada ekstrim yang berseberangan. Hegel dalam bukunya, “Philosphy of Mind” memberi alternatif untuk menyelesaikan persoalan ini lewat dialektika.

Dialektika, secara sederhana, adalah metode berpikir yang mencoba untuk “mendamaikan” dua kutub yang bertentangan. Tesis dan anti tesis disatukan dalam sintetis. Sintesis menjadi sebuah kebenaran yang lebih tinggi dari tesis dan anti tesis sebelumnya.

Samuel Bowles dan Herbert Gintis dalam esai “Pendidikan Revolusioner” (Menggugat Pendidikan, 2001) mencoba mendamaikan dua kutub ini. Mereka meyakini bahwa sasaran-sasaran pendidikan harus mengenali dan mengakui keterkaitan timbal balik antara kehidupan sosial dengan pendidikan. Individu dan kenyataan sosial tidak dilihat sebagai sebuah entitas yang terpisah. Sebaliknya, keduanya saling berkaitan. Individu akan mempengaruhi kenyataan sosial begitu juga sebaliknya. Sehingga, pendidikan harus memfokuskan diri pada kedua entitas sekaligus.

Jalur pematangan individu terletak di sepanjang interaksinya dengan lingkungan. Namun, lingkungan pun turut berubah jika individu di dalamnya berubah. Artinya, ada proses humanisme dialektis di dalamnya. Sehingga, sistem pendidikan dinilai berdasarkan caranya menyelesaikan pertentangan-pertentangan mendasar antara aktualisasi diri dan kebutuhan-kebutuhan komunitasnya. Dengan demikian, murid tidak hanya dituntut untuk tunduk (submisi) dan komunitas sosial tidak melulu bersifat memaksa.

Dalam sistem humanisme dialektis ini, pendidikan akan berusaha mewakili keduanya. Pendidikan harus mewakili masyarakat dalam perannya sebagai perantara individu dengan komunitas. Keduanya harus dibiarkan bergulat. Disinilah peran pendidikan akhirnya bertujuan untuk melakukan transformasi holistik. Di dalamnya tercakup transformasi individu sekaligus transformasi sosial.

Praksis Pembebasan

Jika melihat kembali dua teori awal, kesamaan keduanya adalah dehumanisasi. Dehumanisasi adalah penurunan derajat kemanusiaan. Jika manusia hanya dididik untuk mengikuti perilaku komunitas sosialnya, maka itu menghilangkan ciri uniknya yaitu kebebasan individual. Sementara, jika membiarkan manusia bebas terlepas dari kenyataan atau komunitas sosialnya, maka itu juga menghilangkan ciri uniknya sebagai makhluk sosial.

Pendidikan revolusioner berbasis humanisme dialektis ini justru menawarkan pemanusiaan manusia. Manusia dididik untuk mengenali dirinya secara utuh, baik sebagai makhluk individual sekaligus sosial. Murid diajar untuk tidak lagi terasing dengan kenyataan sosialnya. Dia diajak untuk terlibat aktif di sana. Disisi lain, keaktifannya dalam usaha-usaha transformasi sosial menjadikan itu sebagai bentuk aktualisasi dirinya sebagai individu bebas. Murid diajak agar bisa mentransformasi dirinya demi mentransformasi kenyataan sosialnya. Kemudian, kenyataan sosialnya itu pun akan berinteraksi dengan dirinya sendiri.

Akhirnya, pendidikan ini akan bersifat praksis pembebasan. Praksis pembebasan adalah sebuah siklus. Siklus yang bermula dari refleksi terhadap kenyataan sosial. Kemudian, mencari tindakan nyata untuk mengubah kenyataan sosial itu. Dan dari tindakan itu akan terciptalah sebuah kenyataan sosial baru. Kenyataan sosial baru itu kemudian direfleksikan ulang untuk mencari tindakan nyata untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik. Demikian seterusnya proses dialektika berjalan terus menerus.

Pendidikan humanisme dialektis ini dengan sendirinya akan menuntut peran aktif semua peserta didik. Guru tidak lagi bisa menjalankan sistem, yang Paulo Freire sebut sebagai, “bank education”. Dimana guru dianggap sebagai pemilik pengetahuan yang akan “ditransfer” pada murid yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Di sisi lain, murid pun tidak bisa lagi hanya menunggu pasif untuk diisi oleh gurunya. Alasannya, baik guru maupun murid adalah produk dari kenyataan sosialnya. Baik guru dan murid, sama-sama bergulat untuk mencari jalan dalam mengaktualisasi diri dan sekaligus  mentransformasi kenyataan sosialnya.

Dengan demikian, pendidikan humanisme dialektis bukan hanya holistik dalam kajiannya, tapi juga holistik dalam perannya karena baik guru dan murid sama-sama diajak untuk berdialektika antara satu dengan yang lain.

, , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan