pengetahuan-manusia

Pengetahuan dan Kekuasaan

            Pengetahuan tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia baik kehidupan dunianya dan spiritualnya. Katakanlah dulunya memang manusia terlahir dengan keadaan pengetahuan yang tidak tahu apa-apa. Namun dengan berjalanya waktu sadar atau tidak sadar manusia akan memperoleh pengetahuan apapun baik dengan mendengar maupun melihat. Dilihat dari segi motif, pengetahuan diperoleh melalui dua cara.1 Pertama, pengetahuan yang diperoleh begitu saja, tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Tanpa ingin tahu lantas ia tahu-tahu, tahu. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan diperoleh karena diusahakan, biasanya karena belajar. Pertanyaannya disini adalah dari mana rasa ingin tahu itu? saya sendiri tidak, itu dari mana. Barangkali rasa ingin tahu yang ada pada manusia itu sudah built-in dalam penciptaan manusia. Jadi, rasa ingin tahu itu adalah takdir.

            Pengetahuan manusia, sebagaimana dikatakan oleh Heidegger, adalah a-letheia.2 Artinya , pengetahuan adalah pernyataan diri dari ada. Secara tradisional epistemologi cenderung untuk membatasi diri pada persepsi inderawi dan pemahaman intelektual, dimana pemahaman tersebut dimengerti secara sempit. Oleh karena itu, bagi filsuf pengetahuan adalah kerendahan hati di dalam menghadapi pengalaman. Filsuf pengetahuan harus memiliki keterbukaan total.

            Dengan dasar yang sama, pengetahuan harus mempunyai sifat analogis. Kehadiran ada tidak dinyatakan secara sama, misalnya, di dalam persepsi inderawi seperti bagi pengetahuan abstrak, eksistensi personal, atau pengalaman moral. Kesadaran tidak pernah bersifat “subjektif” murni, tetapi nilai keterarahan kepada yang bukan-diri mempunyai tingkat kejelasan yang berbeda-beda.           

1               Tafsir A, Filsafat Ilmu (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm 4

2                      Martin Heidegger, Being and Time, transl. by John Macqarrie and Edward Robinson (New York: Harper), hlm. 256

Kemudian pengetahuan manusia juga merupakan fungsi dari cara beradanya, dan cara beradanya pada hakikatnya bersifat temporal. Maka eksistensi manusia belum terpenuhi, ia adalah makhluk yang tidak selesai, yang berada dalam pembentukan diri. Tuntutan akan kriterium yang dengan sendirinya menjamin untuk tidak salah merupakan kesalahan karena kesewenang-wenangan.3 Kesalahannya ialah menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang seorang “miliki” untuk selamanya. Padahal pengetahuan merupakan ekspresi refletik dari diri seorang atau pengalaman seorang. Memang benar bahwa pengetahuan merupakan tindakan yang sangat personal, tetapi merupakan tindakan yang membuat saya menyadari diri betapa pentingnya jika kita mengetahui hakekat mencari pengetahuan.

            Kita bicara mengenai “mengetahui caranya” melakukan sesuatu, mengetahui bahwa” kenyataan tertentu benar, dan “mengetahui” karena kenal. Penggunaan umum ini hanya mulai menunjukkan beragamnya kemungkinan arti dari kata “mengetahui”.

Dengan hal itulah maka saya sejalan dengan pemikiran Puolo Freire, YB Mangunwijaya dll yang menginisiasi sistem pendidikan yang kritis, memang dalam konsep pemikirannya perlu disadari pentingnya kedudukan kesadaran di tahap awal. Kesadaran itulah yang menghantarkan tiap seseorang dengan tingkat pengetahuan ke dalam pendidikan kritis. Pendidikan ini tidak hanya mengandalkan tiap individunya paham dan mampu mengkritisi apa yang terjadi terutama pada tatanan sosial di sekitarnya. Akan tetapi hakekat tujuan pendidikan kritis ini ditujukan dengan adanya seorang yang mampu menjalankan regulasi kekuasaan yang ada untuk mempengaruhi atau bahkan mengubah tatanan manusia yang menurut Freire kini adalah masyarakat yang konservatif untuk menjadi tatanan masyarakat intelektual kalau kata Gramsci.

            Kemudian masyarakat inilah yang nantinya akan menerjemahkan apa arti kekuasaan bagi mereka dan apa pentingnya kekuasaan bagi mereka. Yang jelas, struktur tatanan sosial masyarakat yang ada akan bisa berubah oleh adanya seorang yang berpengetahuan. Tentunya bukan hanya sekedar tau, tapi tingkat kesadaran dalam memahami pengetahuan juga harus tinggi dan mempunyai hakekat untuk melakukan perubahan melalui kekuasaan

3                      Hadi H.P, Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm 185

Masalah kekuasaan sangat menarik terutama dalam masyarakat modern. Boleh dikatakan seluruh aspek kehidupan manusia diliputi oleh pengaruh kekuasaan. Dalam kehidupan sehari-hari kita diatur oleh berbagai jenis kekuasaan. Di antara berbagai jenis kekuasaan itu biasanya kekuasaan politik dianggap sangat menonjol dalam kehidupan manusia modern. Tetapi kekuasaan politik hanyalah merupakan sebagian dari apa yang disebut kekuasaan sosial (social power). Seorang pakar sosiologi, Gianfranco Poggi membedakan kekuasaan sosial atas tiga jenis, yaitu: 1) kekuasaan politik; 2) kekuasaan ekonomi; dan 3) kekuasaan normatif atau ideologis.4

Menurut Rosinski, kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan esensi manusia, yaitu sebagai karakteristik yang khas dalam posisinya terhadap dengan alam. Pandangan filsafat antropologi lainnya, yaitu Arnold Gehlen, dalam bukunya Der Mensch.5 Dengan pengertian luas, kekuasaan merupakan kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lain.

Gramsci (1891-1937) seorang Marxis dari Italia yang sangat terkenal dengan pemikirannya tentang kekuasaan yang ditulisnya sewaktu dalam penjara.6 Masalah yang dikemukakan oleh Gramsci ialah mengapa dan bagaimana negara modern bisa mendapatkan konsesus atas kekuasaannya terhadap masyarakat. Pemikiran Gramsci ini dipengaruhi oleh teori-teori sosial Sorel serta Benedetto Croce. Menurut Croce sistem kekuasaan yang didasarkan pada konsensus dilaksanakan oleh negara disebutnya hegemoni.7

Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filsuf yang membicarakan mengenai arti kekuasaan dari segi manusiawi.8 Berbeda dengan filsuf sezamannya, Schopenhauer tidak sejalan dengan falsafah transendensi. Sember kekuasaan tidak datang dari kekuatan yang transenden tetapi berada dalam diri manusia, yaitu kehendak.

4               Gianfranco Poggi, Forms of Power, 2001.

5                      H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang: INDONESIATERA, 2003), hlm 74

6                      Antonio Gramsci, Catatan-Catatan Politik, 2001

7                      Alastair Davidson, “Antonio Gramsci,” dalam Peter Beilharz (ed.), Teori-teori Sosial, hlm. 201-210

8               Henry D. Aiken, Abad Ideologi, hlm. 114-135

Para filsuf Yunani dan Romawi, pada umumnya mengaitkan kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan dan kebebasan. Para pemikir religius menghubugkan kekuasaan itu dengan Tuhan. Bagi mereka sekalian, kekuasaan politik hanya sebagai alat mengabdi tujuan negara yang dianggap agung dan mulia, yaitu: kebaikan, keadilan, kebajikan, kebebasan yang berlandaskan kehendak Tuhan dan kemuliaan Tuhan. Oleh sebab itu, bagi para pemikir religius, kekuasaan itu tak boleh dipisahkan dari kebaikan, keadilan, kebebasan dan dari Tuhan itu sendiri.9 Dan itu berarti bahwa kekuasaan tidak boleh terlepas dari etika dan religi.

            Berbeda dengan Marchiavelli, ia tidak sependapat dengan para pemikir politik yang membelengu dan membatasi kekuasaan dengan etika, budaya dan religi. Baginya, kekuasaan bukan alat yang mengabdi kepada kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan dan Tuhan, melainkan alat yang harus mengabdi kepada kepentingan negara itu sendiri. Kepentingan negara harus dinomorsatukan. Bagi sang penguasa, ia harus senantiasa mencamkan dengan baik apa yang perlu dan harus dilakukan demi kepentingan negara. Kekuasaan harus digunakan oleh sang penguasa untuk menyelamatkan kehidupan negara dan mempertahankan kemerdekaannya. Dan karena negara hanya mengacu kepada dirinya sendiri, maka kekuasaan pun harus mengabaikan etika, budaya, dan religi.10 Dalam keadaan tertentu, kekuasaan harus dibebaskan dan dilepaskan dari kebaikan, kebajikan, keadilan, kebebasan dan Tuhan.

Kendatipun kekuasaan memang mendapat tempat yang istemewa di dalam pemikiran Machiavelli, namun kelirulah anggapan yang dikembangkan oleh beberapa sarjana yang mengatakan bahwa sebenarnya bagi Machiavelli, kekuasaan adalah segala-galanya ! Mereka juga berpendapat bahwa bagi Machiavelli, kekuasaan memiliki tujuan di dalam dirinya sendiri, yang berarti bahwa kekuasaan ada demi kekuasaan itu sendiri.

9               J.H. Rapar, Filsafat Politik Machiavelli (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 51

10             Ibid, hlm. 51-52

            Memang di dalam Il Principe, Machiavelli memperbincangkan tentang kekuasaan itu secara panjang lebar dan menekankannya sedemikian rupa sehingga ada kesan bahwa Machiavelli adalah seorang pemuja kekuasaan. Namun yang paling utama bagi Machiavelli ialah negara. Kekuasaan hanyalah alat dan dasar bagi negara untuk menyelamatkan dan mempertahankan eksistensinya.11

            Dari zaman purba hingga sekarang ini, banyak orang yang berpendapat bahwa kekuasaan ialah para dewa atau Tuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa sesungguhnya, pangkat, kedudukan, jabatan dan kekayaan yang merupakan sumber kekuasaan yang sejati.

            Plato menobatkan filsafat atau ilmu pengetahuan menjadi yang maha mulia yang pantas mendudukkan seseorang di atas tahta pemerintahan negara ideal. Hanya pengetahuanlah yang benar-benar sanggup membimbing dan menuntun manusia menuju ke pengenalan yang benar akan seluruh eksistensi di dunia ide. Oleh sebab itu hanya pengetahuan pulalah yang layak menjadi sumber kekuasaan.12

            Aristoteles berpendapat bahwa hanya hukum yang pantas menjadi sumber kekuasaan, karena hanya hukumlah yang sanggup menuntun pemerintah dan yang diperintah untuk memperhatikan dan memperdulikan kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles, hukum sebagai sumber kekuasaan haruslah memiliki kedaulatan dan kewibawaan tertinggi, tetapi sekaligus juga menjadi dasar keidupan negara.13

Machiavelli, kendatipun mengetahui semua ajaran tersebut di atas, namun enggan menganut satu pun di antaranya. Ia menempuh jalan pemikirannya sendiri. Bagi Machiavelli, bukan para dewa atau Tuhan, bukan pangkat, kedudukan, jabatan dan kekayaan, ataupun pengetahuan dan hukum yang harus didudukan di tempat yang tertinggi dalam kehidupan negara, melainkan negara itu sendiri.

11          Ibid., hlm. 53

12                   Ibid.

13                    Ibid.

 

            Negara dengan seluruh kepentingannya haruslah menjadi yang pertama dan yang terutama. Oleh sebab itu, Machiavelli berpendapat bahwa satu-satunya yang paling pantas menjadi sumber kekuasaan ialah negara. Negaralah sumber kekuasaan politik yang sesungguhnya.

            Penyelenggaraan kekuasaan yang dianjurkan oleh Machiavelli, jelas berbeda dengan apa yang dianjurkan oleh Plato dan Aristoteles. Plato menganjurkan penyelenggaraan kekuasaan negara agar dijalankan secara paternalistik, yakni yang meniru seorang ayah yang arif terhadap anaknya. Sedangkan Aristoteles menganjurkan penyelenggaraan kekuasaan negara agar dijalankan secara matrimonial, yakni seperti yang dilakukan dalam hubungan antara suami-istri.

            Plato memang memberi peluang khusus bagi suatu penyelenggaraan kekuasaan negara dengan cara paksaan atau kekerasan, yang oleh Aristoteles disebut sebagai penyelenggaraan kekuasaan yang despotik.14 Namun Plato mengatakan dan menegaskan bahwa cara tersebut hanya boleh digunakan dalam keadaan darurat.

Teori mengenai sifat kekuasaan biasanya digolongkan ke dalam dua kategori besar, yaitu organik dan mekanistik. Dalam pandangan yang pertama, teori organik seperti dalam pemikiran Plato dan Aristoteles, sedangkan dalam teori yang mekanistik seperti dalam teori kontrak sosial. Teori organik beranggapan bahwa kesatuan politik seperti negara merupakan tuntutan dari dalam manusia untuk bersosiasi dengan orang lain. Pandangan mekanistik cenderung mengabaikan sifat sosial manusia dan memandang kekuasaan sebagai suatu lembaga artifisial yang didasarkan atas tuntutan-tuntutan individu.

Oleh karena itu, kekuasaan harus digunakan dan harus dijalankan. Apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan efektif, hal ini dapat disebut sebagai “kontrol”. Dengan sendirinya untuk menggunakan kekuasaan politik yang ada, harus ada penguasa yaitu pelaku yang memegang kekuasaan, dan harus ada alat/sarana kekuasaan agar penggunaan kekuasaan itu dapat dilakukan dengan baik.

14          Despotik berasal dari istilah Yunani despotike (of a master) untuk menunjukkan penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan oleh seorang tuan terhadap budaknya

REFERENSI

Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan & Pendidikan. Magelang: INDONESIATERA

Rapar, J.H. 1991. Filsafat Politik Machiavelli. Jakarta: Rajawali Pers

Rapar, J.H. 1988. Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali Pers

Rapar, J.H. 1988. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: Rajawali Pers

Zainuddin, A.R. 1992. Kekuasaan dan Negara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Gramsci, A. 2001. Catata-catatan Politik (terjemahan). Surabaya: Pustaka Promethea

Budiarjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia

Simon, Roger. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Schmandt, Henry J. 2002. Filsafat Politik (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Aiken, Henry D. 2002. Abad Ideologi (terjemahan). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Hadi, P.H., 1994. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius

Kuntowijoyo. 2007. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan