surat-di-loker

PENULIS SURAT LOKER

 

Pagi ini aku kembali mendapatkan surat. Lebih tepatnya surat cinta, sebab semua isi dalam surat itu selalu saja romantis. Suratnya cukup sederhana tapi selalu menimbulkan semangat baru bagi si pembaca.

Tapi kali ini ada yang aneh, di samping surat cinta itu juga ada barang aneh yang entah untuk apa fungsinya. Barang aneh itu adalah tas kresek berukuran besar.

Jujur saja aku sebenarnya penasaran dengan penulis dari surat ini. Hampir setahun ini aku selalu mendapatkan surat romantis di dalam loker ku. Kalau dilihat aku tidak memiliki teman laki-laki yang akrab selain Akbar, lebih dari itu semua biasa-biasa saja.

 

Teruntuk ratu pagi ku

Kau tak hentinya menyejukan hati

Memberi harapan layaknya malaikat

Datang lah terus, jangan pernah lelah

Aku menunggu mu

Selalu menunggumu

 

“Hay Mi, kau lagi apa ?” Dari kejauhan terdengar suara yang memecah lamunan ku. Suara itu terdengar cukup familiar di telingaku. Itu Sany sahabatku.

“Biasa mengambil surat di loker.” Jawabku sambil menutup loker.

“Lagi ?”

“Iya San” jawabku malas.

“Dari….”

“Penggemarku, hahaha.” Aku tertawa malas lalu berjalan menuju kelasku.

“Mi, tunggu dong.” Suara Sany sambil berlarian mengejar langkahku.

Ketika sampai di kelas aku langsung duduk di kursiku. Mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas untuk pelajaran nanti.

“Mi, Tami, Tamiiiiiiii.” Teriakan suara cempreng Sany yang keluar tepat di depan telingaku

“Ya ampun San, yang pelan aja dong, aku juga udah denger kamu manggil aku.” Ucapku datar.

“Kamu sih dari tadi diem mulu biasanya kalau habis dari loker semangat. Enggak bisanya kamu gini, biasanya kamu bakal cerita panjang lebar.” Gerutu Sany.

“Aku capek aja San, aku penasaran sama penulis surat ini hahah.” Keluhku sambil memegang plastik kresek tadi dengan tawa yang membuat Sany kaget.

“Astaga, ku kira ada apa gitu, taunya cuma penasaran doang sama penulis surat. Dasar manusia labil, ih ketawa lagi.”

“Hahaha, kaget pasti ? iya kan ? akting ku bagus kan ? “ Godaku pada Sany yang terlihat jengkel dengan aktingku tadi.

“Awas aja, bakal ku bales. Eh ngomong-ngomong kresek tuh buat apa ? kamu dapat dari mana juga ? Kayak tukang cabe yang jualan di pasar aja hahah” tanya Sany penasaran.

“Dari loker sama suratnya itu. Aku juga bingung buat apa sih. Pengennya sih dikasih coklat tapi dapatnya kresek. Hahah.”

“Idih tukang ngarep, ya udah sih di simpan aja siapa tau nanti berguna.”

Teng teng teng….. bunyi bel sekolah dari besi tebal yang dipukul dengan batu.

Bel sekolah berbunyi, tanda pelajaran sekolah telah berakhir.

Aku dan Sany tak pernah pulang bersama. Rumah Sany berlawanan arah dengan rumahku. Aku biasanya pulang bersama dengan Akbar, tapi sayang kali ini aku harus pulang sendirian karena Akbar ada urusan dengan tim basketnya. Banyak orang yang beranggapan bahwa aku dengan Akbar pacaran, atau saling cinta, atau salah satu diantara kita saling cinta atau semacamnya, tapi kenyataannya selam lebih 17 tahun berteman dengan Akbar oke oke saja. Tidak ada rasa cinta yang tumbuh dari dalam diriku, bahkan ku lihat Akbar juga tidak memiliki rasa cinta itu.

“Hiiisshhh, apalah pikiran ini, kenapa tiba tiba aku memikirkan hal bodoh itu.” Batinku

Aku dan Sany duduk di bawah gerbang sekolah kami. Membahas segala sesuatu yang konyol. Mulai dari Dimas yang disuruh Pak Kandi nyanyi lagu Indonesia Raya yang konyolnya dia lupa sama liriknya sampai Beny yang kencing celana gara-gara dimarahin sama Pak Kandi.

Kurang lebih 15 menit aku dan Sany ngobrol, datanglah tukang ojek langganan Sany yang mengantar Sany pulang-pergi sekolah.

“Mi, duluan ya. Ati-ati dijalan, lo kan pulang sendirian” Ledek Sany sambil menjulurkan lidah.

Aku benci sendirian. Tapi aku bukan orang yang suka menyusahkan orang lain, terlebih jika aku harus meminta Akbar mengantarku pulang. Dia pasti sedang sibuk dengan tim basketnya.

Aku masih menunggu tukang ojek yang tadi siang sudah ke pesan untuk mengantarku pulang. Tapi tiba-tiba hujan turun lumayan deras. Dan yaahh, aku lupa membawa payung. Aku membuka tas ranselku, mengobrak-abrik semua isi dalam tas, berharap ada keajaiban datang dalam tas ku dan muncul payung, tapi itu hanya imajinasikua saja, nyatanya yang ada cuma plastik kresek pemberian penulis surat lokerku.

Aku kemudian mencari ide. Berharap dengan sebuah plastik kresek ini bisa kugunakan untuk menghindari air hujan khususnya buku dan sepatuku. Tak butuh waktu lama, semua buku-buku dengan alat tulis yang lain kumasukan dalam plastik kresek dan  juga sepatuku satu-satunya. Aku tidak mau sampai rumah dengan keadaan sepatuku basah, ibu pasti akan memarahi, menceramah panjang lebar tentang susahnya mencari uang, dan aku malah seenaknya merusak barang-barang yang didapatkan dengan susah payang. Yang tak kalah menjengkelkan namun juga mengharukan, ibu akan menangis meratapi nasib keluargaku yang jauh dari kata cukup. Semenjak ayah meninggal sewaktu aku masih kelas 3 SD, keadaan ekonomi keluargaku jauh dari kata cukup, tapi aku dan adiku tetap bersekolah dan tentu biayanya di tanggung sendiri oleh my wonder women yang biasa ku panggil ibu.

Tak lama setelah memasukan barang barangku ke dalam tas, terdengar suara sepeda motor. “akhirnya datang juga tuh tukang ojek.” Gumamku pelan.

Aku memandang tukang ojek itu, “sepertinya aku mengalnya” batinku. Tapi lamunanku hilang ketika tukang ojek itu menyuruhku naik. Kemudian tukang ojek itu langsung menjalankan sepeda motornya. Aku tak bisa mengenali tukang ojek itu dengan cermat, sebab dia memakai masker ditambah dengan mantol serta helm yang ia gunakan membuatku samar-samar mengenalinya.

“Turun dimana mbk ?” Tanya tukang ojek. “Suaranya seperti…

“Mbk ? Turu dimana ?” Tanya tukang ojek itu lagi.

“Oh, di jalan pakel nomor 02 bang.” Jawabku pelan

Tak lama setelahh itu kira-kira 10 menit kemudian tukang ojek itu memberhentikan sepeda motornya.

“Kok turun disini bang ?”

Tukang ojek itu tak menjawab pertanyaanku, ia malah membuka helm, mantol dan masker yang ia kenakan tadi. Dan ……

“Akbar ? Sialan ya” Desisku jengkel.

“Ahahahah. Kamu tidak mengenalku ? Astaga, pasti aktingku keren sekali tadi.” Kata akbar sambil tertawa

“Siapa juga yang bisa kenal kamu kalau kamu pake masker, mantel, sama helm rapet rapet kayak gitu, yang ada malah kamu dikira perampok, ahahaha.” Balasku.

“Gak mungkin, gak mungkin aku sekeren dan seganteng ini dibilang perampok, gak mungkin.”

“Terserah lah, ayo lanjutin aku mau pulang nih, nanti hujannya makin deres lagi”

“Kita ke gubuk itu aja, nunggu hujannya agak mendingan, dari pada kamu basah gara-gara hujan.

“Aku udah basah dari tadi Bar, dasar, ide gak pernah muncul di waktu yang tepat sih.”

“Hahahah. Udah-udah, ayo ke gubuk aja dulu.” Ajak Akbar yang lalu menarik tanganku berlarian menuju gubuk.

Kami berdua langsung duduk ketika sampai di gubuk yang kami tuju. Gubuk itu lumayan untuk dijadikan tempat persinggahan kala hujan tiba. Ukurannya memang kecil tapi cukup untuk menampung sampai 6 orang dengan ukuran badan yang sedang. Aku dengan Akbar bercerita tentang banyak hal. Akbar orang yang berpengetahuan luas, dan orangnya juga supel jadi banyak orang yang akan senang bisa berkenal akrab dengannya.

“Mi,,,” Panggil Akbar.

“Oy, ada apa ?” Sahut ku.

“Kamu masih dapat surat di loker ?” Tanya Akbar dengan suara agak bergemetaran.

“Masih, kenapa emang ?” Tanyaku balik.

“Kamu tau siapa pengirimnya ?”

“Belum, dan aku semakin penasaran loh. Dia semakin aneh tau.”

“Apanya yang aneh ? bukannya dia romantis katamu ?”

“Iya memang romantis, tapi bukannya aku dikasih coklat malah dikasih plastik kresek ih.. kan aneh. Tapi tetap ada gunanya sih, ku gunain buat bungkus buku dan sepatuku.”

“Dan kau tau siapa pengirimnya itu ?” Tanya Akbar lagi membuatku semakin penasaran.

“Belum Akbar Hidayat, nanya mulu sih.”

“Pengirimnya aku, dan aku mencintaimu.”

 Akbar ? Akbar sahabatku sejak kecil ? Pengirim surat itu ? Dia mencintai ku. ? Dunia serasa sedang terjadi gempa dengan kekuatan 10.0 SR. Apa ini, aku berhalusinasikah ?

 

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan