novel-penyair-dan-kopi

Penyair, Kopi dan Manusia

Aku berharap semua juragan kopi dan pencinta kopi di Indonesia membaca kisah ini

Kehidupan memang tak sekadar hitam dan putih, ada masa remaja dan dewasa. Kehidupan memang tak selalu lurus, ada tikungan, ada cobaan dan ada ujian yang menyertainya. Kisah kehidupan yang tak lurus ini memang sudah dialami oleh manusia semenjak ribuan tahun lalu. Oleh karena itu, kehidupan tak bisa disederhanakan dengan “mudah” dan “tidak mudah”. Penulis mahfum, bagaimana kopi seperti masuk dalam hidung dan otaknya. Kopi diurai pelan-pelan tanpa terburu-buru menyelesaikan cerita ini. Cerita ini memang sudah diakhiri, tapi sepertinya riwayat kopi, bisnis, dan percintaan sebagaimana rasa hidup ini tak bisa ia selesaikan meski 680 halaman sudah dituliskan. Kisah kopi di buku ini merambat pelan dari wilayah Inggris, brasil, hingga afrika dan sumatera. Kita seperti diajak berfantasi dan berpetualang dengan negeri-negeri kopi. Meski begitu, petualangan buku ini tak mendetail mengurai sumatera, bagian dari negeri kita yang juga merupakan surga kopi.

Kopi jadi jalan pembuka mengisahkan manusia. Manusia menikmati kopi, dan mendapatkan sensasi melaluinya. Tak beda dengan kopi, aroma kopi seperti aroma penyair yang menekuni dan mengenali rasa dalam sajaknya. Di buku ini, penyair  dikisahkan larut dalam dunia kopi, dunia kopi lebih menggoda untuk menjadi puisi ketimbang puisi itu sendiri. Dunia kopi sudah jadi puisi sendiri bersama kisah hidupnya bagi Robert Wallis, tokoh utama di novel ini. Robert semula tokoh penyair tak jelas, tak ada karya, tak tenar di masa remajanya. Sampai juragannya yang baik hati Tuan Pinker mengajaknya menyelami dunia puitis—dunia kopi—.

Pinker menyadari bagaimana ketajaman indera penyair ini, dan mengambilnya sebagai perpaduan antara bisnis dan obsesinya. Dari itulah ia berhasil membuat “buku pedoman”. Bagi Robert, kebaikan Pinker dirasa belum cukup, tak hanya kopi, dan buku pedoman yang ingin dia hasilkan, ia membutuhkan lebih dari kopi dan buku pedoman, yang tak lain adalah cinta. Dari itulah Robert menemukan Emily anak bosnya, yang menggodanya dan membuatnya menuruti Pinker untuk membuka bisnis kopinya di Afrika.

Dunia Kopi

Seperti judul dari novel ini The Various Flavors of Coffee, rasa cinta dalam kopi, buku ini memang tak cukup mampu menjelaskan berbagai kisah manusia di balik kopi. Akan tetapi, buku ini cukup memberikan petilan kisah manusia dan kopi dengan sangat jeli dan memikat. Kisah manusia dan kopi tak sesederhana kita menikmati kopi di warung-warung pinggir jalan maupun di kafe-kafe. Ada bisnis besar, ada percintaan, ada permainan pasar dan bagaimana trend dan brand dibubuhkan. Kopi memerlukan itu semua, tanpa itu rasa kopi jadi hambar. Barangkali karena itulah, hal yang harus dilakukan bagi Pinker, ia memerlukan buku pedoman sebagai panduan rasa, variasi dan bagaimana membuat rasa menjadi popular dan mudah dikenal dengan kata-kata. Saat itulah dunia kepenyairan dimainkan. Penyair tak hanya dipandang sebagai orang yang menjajakan kata semata, tetapi sebaliknya kepekaan rasa dan kepekaan inderanya diuji bersama kopi. Maka dari itu, Robert Wallis justru merasa senang dengan latihan inderawinya dan keluwesannya mengolah kata. Saat itulah ia baru menyadari dunia kata tak sederhana, seperti kopi. Apa yang dilakukan dan dialami Robert sebagai penyair menekuni dunia kopi memang tak sederhana. Dan dari rumah tuannya, Pinker itulah ia memulai petualangannya dengan kopi. Semua itu ia lakukan demi mengenali bagaimana mengenali kopi dan hidupnya itu sendiri. Gambaran kesulitan itu bisa kita simak dalam kalimat berikut ini : Pengalaman sangat penting dalam mengembangkan bahasa lengkap untuk rasa, dan pemahaman utuh tentang banyak nuansa rasa yang bersembunyi di latar belakang bau pada umumnya, dan sensasi rasa khusus yang kita kenal sebagai kopi. Memperoleh pengalaman seperti ini butuh waktu. Tidak ada jalan pintas.—Lingle, The Coffee Cupper’s Handbook (hal.534).

Dari petualangannya ke Afrika itulah, ia semakin menemukan bagaimana kerinduan, kenangan bersama buku pedoman dan Emily, membuatnya semakin mengerti bahwa kopi menyimpan kerinduan dan cinta yang hangat. Untuk itulah, kopi dan dunia barunya di Afrika sesekali mengingatkannya pada London. Tapi, dunia kepenyairan memang identik dengan dunia petualangan. Petualangan tak hanya di dunia kata dan dunia imajinasi, Robert Wallis menghadirkan petualangan itu pula dengan petualangan cintanya. Pertemuannya dengan Fikre mengundang gairah percintaan dan sensasi yang mendalam. Percintaan dengannya itu pula yang membawa ia mencium bau kehidupan, perselingkuhan dan misteri di balik percintaannya dengan Emily. Maka setelah ia berhasil hidup dan kembali ke London, ia seolah berseru: “bahwa obsesi manusia kepada kopi tak boleh begitu saja menindas dan mengacak-acak tanah orang lain seperti yang dia lakukan di Afrika”.

Pelajaran

Dengan kembalinya Robert Wallis ke London, ia kemudian membuka kembali lembaran hidupnya dan semakin dewasa. Kembalinya ke London mengingatkan ia pada masa lalunya Emily dan permintaan maafnya pada majikannya Pinker. Setelah kembali ia menemukan bagaimana Emily kemudian memperjuangkan hak-hak wanita hingga mati. Ia seperti menemukan dunianya, dunia penyair selama ini. Sebagai seniman ia mengilhami kehidupannya selama ini dengan kopi dan kehidupannya. Ia pun menuliskan ini dalam kalimat sederhana : “Aku belajar apa yang harus dipelajari setiap manusia, dan tidak ada manusia yang bisa diajari—bahwa apapun yang diceritakan penyair kepadamu, ada berbagai jenis cinta, tawa seorang wanita, bau khas seorang anak, membuat kopi—ini adalah berbagai rasa cinta”(hal.672).

Dunia penyair, dan manusia seperti dalam buku ini sama dengan dunia kopi itu sendiri, ia adalah dunia misterius dan penuh teka-teki, meskipun kode-kode sudah dibuat tetap saja belum mampu mengenali betapa banyaknya rasa dan aroma kehidupan ini. Ah, aku jadi teringat sajak  Jokpin yang nakal tentang kopi susu. Bisa jadi sajak ini turut menjelaskan betapa misteriusnya kopi, dan di tangan Jokpin menjadi jenaka. “Kopi membuat matamu menyala, susu membuat matamu manja”—Haduh, Aku di Follow (2013).

 

*)penulis adalah Santri Pengajian Malam Senin, dan Pegiat Bilik Literasi Solo

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan