ilustrasi-perampok

Perampok

Hari menjelang sore. Nasabah yang menunggu di antrian bank sudah semakin menipis. Bersamaku ada dua orang lagi yang belum dilayani. Seorang lelaki kurus berpenampilan rapi, dan seorang perempuan tua, serta seorang ibu-ibu yang sekarang sedang dilayani oleh customer service. Sudah sekitar dua puluh menit aku berada di ruang tunggu ini, menunggu antrian yang sebentar lagi akan dilayani.

Aku gelisah. Bukan soal antrian atau apa, namun ada persoalan lain yang harus aku lakukan sebentar lagi. Aku benar-benar gelisah. Jantungku berdetak tak karuan, telapak tanganku tak berhenti bergetar dan berkeringat sejak tadi. Bahkan keringat dingin di sekitar leher juga sudah keluar sejak beberapa menit yang lalu. Mungkin sepuluh menit lagi semua kehidupan akan berubah, menuju ke arah mana aku tidak tahu. Benar-benar sepuluh menit yang panjang selama hidupku.

***

                “Bapak, ini ada surat dari Ibu Guru,” kata anak pertamaku sambil memberikan secarik kertas kepadaku.

                Aku menerima surat itu dengan perasaan cemas. Apalagi ini? pikirku. Kubuka kertas pemberitahuan dari guru tersebut. Sesuai dugaanku, ini mengenai uang SPP anakku yang sudah tiga bulan belum terbayar. Jumlahnya cukup besar, entah darimana aku dapat melunasinya. Pikiranku kalut.

                Sambill membawa pikiran yang kalut dalam diriku, aku keluar rumah. Ditemani sebatang rokok, aku menuju warung Pak Lan di ujung jalan. warung langgananku yang aku jadikan tempat menumpuk utang demi segelas kopi. Seperti biasa, kopi panas kental hitam sudah berada di depanku. Asapnya mengebul-ngebul, menerbangkan aroma khas wangi kopi yang menusuk menembus hidung. Aku menuangkan sedikit kopi di atas lepke, menunggu dingin untuk kemudian aku minum.

                Udara malam yang dingin menembus kulitku. Di warung Pak Lan hanya ada sedikit orang saja yang masih bertahan. Di sebelah tengah warung, Pak Husen dan Anwar sedang bermain catur. Sedangkan Pak Lan sendiri sudah tidur-tiduran di atas bayangnya yang terbuat dari rotan. Aku sendiri mengambil tempat di ujung warung yang jauh dari lampu dan tertutup remang. Pikiranku melayang.

                Beberapa hari yang lalu, pabrik tempatku bekerja memberhentikanku. Aku hanya pegawai harian di sana, yang hanya dibayar per hari jika masuk kerja. Tapi dengan alasan efisiensi atau segala hal yang di luar penalaran, sejak sebulan lalu aku resmi diberentikan. Habislah semua pemasukan untuk keluargaku. Sejak itu seakan semua permasalahan yang sebenarnya mudah dilakukan mendadak menjadi sangat berat, terutama masalah biaya.

                Apa yang harus aku lakukan? Dengan pekerjaanku yang dulu pun, keluargaku masih serba kekurangan, pemasukanku sebagai pekerja harian pabrik tidak mencukupi untuk menutup biaya hidup kami. Salah satunya uang SPP anak-anakku yang memang tidak terbayar sejak dua bulan yang lalu. Ini benar-benar memusingkanku.

                Sebenarnya segala pekerjaan sudah aku coba semenjak aku diberhentikan, serabutan. Tapi hasilnya tidak ada setengah dari penghasilanku yang dulu, ini memuakkan. Aku tidak ingin melihat wajah istriku yang bersedih dan bingung akan makan apa besok, aku juga tak ingin melihat wajah anak pertamaku bersedih karena tidak bisa membeli jajanan, apalagi ketika anak keduaku menangis, merengek meminta jatah susu. Aku benar-benar tidak ingin melihat itu semua. Aku ingin itu semua berubah. Tapi lewat apa?

***

                Entah aku harus menyebutnya apa? Anugerah atau kutukan?. Aku bimbang memutuskan sesuatu yang menurutku paling sulit saat itu. Di satu sisi aku tahu ini perbuatan yang buruk di satu sisi aku juga realistis bahwa keuntungannya sangat besar jika aku berhasil. Ini kembali membuat berada dalam dilema.

                Semua bermula saat aku bertemu dengan teman lamaku, Bagio. Dia temanku sewaktu aku masih bujang dan merantau ke luar pulau. Entah nasib mau berkata apa mempertemukanku dengannya. Seperti layaknya kawan lama yang lama tak bertemu, aku melepas rindu dengan mengajaknnya pergi ke warung kopi untuk sekedar ngobrol dan berbagi kabar. Bertanya tentang keluarganya, tentang anak-anaknya dan tentang pekerjaannya.  Begitu juga aku, berbicara tentang keluarga, pekerjaan, dan entah bagaimana awal mulanya, aku menceritakan tentang masalah dan pekerjaanku.

                “Kalau kamu memang butuh pekerjaan, bagaimana jika kamu ikut aku?. Kalau kita berhasil, hasilnya akan lumayan. Bisa menutup semua keperluan keluargamu sampai beberapa bulan, aku jamin,” kata Bagio.

                “Oh ya? Apa pekerjaannya?,” kataku penuh minat.

                Dia mencondongkan tubuhnya ke depanku. Dengan suara pelan membisikkan sebuah kalimat di telinga. “Kita merampok bank,” katanya. Aku terhenyak. Aku menatap matanya dan berharap senyuman dan gelak tawa keluar dari mulutnya. Tapi dia balas memandangku dengan serius. Dia serius.

                “Ikut aku,” katanya kemudian. Kami pun berpindah tempat duduk di bagian paling pojok yang sepi dengan pengunjung. Matanya menatap kiri kanan, waspada jika ada yang mencuri dengar percakapan kami.

                “Aku serius. Kau harus memutuskan mau ikut atau tidak. Putuskan dalam dua hari, San. Kamu ambil handphone ini, putuskan San. Dua hari lagi aku telepon, detailnya aku jelaskan saat itu,” kata Bagio. Kemudian kami berpisah. Meninggalkanku dengan handphone pemberiannya dan kebingungan di kepala.

                Sepeninggal Bagio, aku jadi semakin bingung. Apa yang harus kulakukan? Ini seperti buah simalakama yang membuatku serba salah untuk melangkah. Pikiranku dalam kondisi yang sangat bimbang. Aku bolak balikkan handphone darinya, berharap dengan cara itu aku mendapat jawaban dari kebingunganku. Tapi nihil.

                Aku berusaha menimbang nimbang keuntungan dan kerugian jika aku menolak atau menerima tawaran dari Bagio. Jika aku menolak tentu saja masalah keuangan keluargaku tidak terselesaikan, keluargaku tetap kekurangan dan aku harus mencari solusi lain untuk menyelesaikan masalah keuangan keluargaku ini, tapi di sisi lain aku tidak berbuat kejahatan dan tetap berada di jalan yang lurus. Sedangkan jika aku menerima tawarannya, maka seperti katanya, masalah keuangan keluargaku akan teratasi dalam beberapa bulan, aku akan melihat wajah bahagia istri dan anak-anakku, namun di sisi lain aku akan terjebak dalam jerat kejahatan yang tak akan mudah aku putuskan, satu kejahatan akan menimbulkan kejahatan lain. Jika kami berhasil merampok bank, maka kami akan terus menerus melakukan perampokan di tempat-tempat lain. belum lagi resiko menjadi buronan pihak kepolisian, apalagi jika sampai rencana kami gagal maka nyawa menjadi taruhannya. Apakah itu semua sepadan? Untuk mengatasi jalan yang terhalang tembok, terkadang kita harus menghancurkan tembok tersebut walaupun dengan cara yang tidak wajar dan terkesan curang. Demi melihat senyum anak dan istriku, aku putuskan menerima ajakannya.

***

                “Kita melakukannya sore hari, ketika penjagaan bank sedang mengendur. Kita beraksi,” kata Bagio.

                Malam itu di rumah Bagio, kami bertiga melakukan rapat untuk rencana perampokan. Kami bertiga, Bagio, aku, dan temannya Purwanto. Kami bertiga merencakan semua dengan teliti. Ternyata yang baru aku ketahui, mereka berdua pernah merampok bank di sebuah kota kecil di luar pulau, sehingga untuk melakukan perampokan kali ini, mereka sama sekali tidak canggung dan gelisah.

                “Kamu San, berada di dalam bank, berpura-pura sebagai nasabah. Sambil menunggu giliran kamu kabari keadaan di dalam bank. Kemudian sekitar tiga puluh menit kemudian, kami akan beri kode dengan suara tembakan. Kode tembakan itu menunjukkan  bahwa kami sudah datang dan sudah melumpuhkan satpam kemudian waktunya beraksi. Bank tujuan kita adalah bank di luar kota, sekitar tiga jam perjalanan dari sini. Suda Jelas?,” kata Bagio dengan nada mantap.

                “Jelas,” jawabku dengan mantap pula.

***

                DOR….suara senapan meletus.

                Ini waktunya. Dengan menguatkan hati, aku mengambil pistol di dalam tasku. Aku merampok bank.

***

 

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan