hubungan-manusia-dengan-alam

Pertanian dan Hubungan Manusia dengan Alam

Pengalaman adalah guru yang tidak menghitung lama kursus pertanian dengan ukuran tahun,akan tetapi dengan ukuran abad, dan memberikan pelajaran tidak pada perorangan akan tetapi pada angkatan-angkatan

D.R. Mansholt dalam Handelingen Van De Groninger maatschappij van Landbouw en Nijverheid,1880/81,hlm.121

            Perkara pertanian memang tak bisa dilepaskan dari pelbagai unsur. Tak hanya unsur alam, kepercayaan, sosial, hingga faktor tradisi dan pengalaman yang diwariskan terus-menerus dari generasi ke generasi. Pertanian dan sawah sudah disebut semenjak masa jawa kuno abad (8-14) yang diteliti oleh Prof. PJ. Zoetmoelder dalam buku Kalangwan,S astra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) disebutkan keberadaan sawah (Maryoto,2009:23). Di dalam karya Mas Marco Kartodikromo Babad Tanah Jawi juga menerangkan bagaimana asal-usul nama “Jawa” berkaitan erat dengan padi. Karena itulah, tradisi pertanian di dalam Negara kita sebenarnya adalah warisan dari tradisi yang  berabad-abad yang lampau. Pengalaman ini diturunkan dari generasi- ke generasi melalui kesadaran yang turun-temurun. Hubungan pertanian dan alam adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Orang-orang tani adalah orang yang mengenali perhitungan waktu, kalau dalam bahasa jawa disebut mangsa, serta bagaimana mereka mengenali musim, selalu dikaitkan dengan tanda-tanda alam yang ada. Mereka mengenali astronomi dan perbintangan untuk urusan bercocok tanam dan pertimbangan jenis tanaman apa yang akan mereka tanam. Begitu pula dengan tradisi dan upacara-upacara yang ada di dalam pertanian. Upacara-upacara ini masih berkaitan erat dengan bagaimana hubungan alam dikaitkan. Alam memberikan kita berkah, keselamatan, dan juga tumbuhnya tanaman kita. Maka dari itu, kita pun wajib bersyukur dan membaginya pada alam. Maka kita mengenali upacara-upacara menjelang panen di sawah-sawah kita. Sebut saja upacara yang ada pada suku badui. Ada upacara nyacar, yaitu upacara untuk mulai membersihkan lahan sebelum ditanami. Upacara ngadruk untuk membakar lahan,dan upacara ngaseuk untuk mulai menanam (Maryoto,2009:31).

 Kepercayaan

            Dunia pertanian memang tak bisa dilepaskan dengan bagaimana kepercayaan masyarakat membentuk perilaku dan kebiasaan dalam mengolah tanah pertanian mereka. Begitupun orang-orang suku Alune yang ada di pulau Seram. Mereka memiliki khazanah, ilmu pengetahuan tentang nama-nama tanaman yang tak bisa dilepaskan dari kepercayaan. Tidak hanya itu, nama-nama tempat dan desa merupakan kesatuan dengan nama-nama tanaman yang ada disana. Suku Alune Lumoli memiliki pengetahuan dan persepsi yang khas tentang lingkungan mereka. Pengetahuan yang diwarisi dari leluhur dan yang diwariskan dari generasi ke generasi tersebut,terus-menerus mempengaruhi praktik-praktik terhadap lingkungan mereka, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam (h.31).

            Apa yang menjadi tradisi masyarakat Alune sebenarnya sudah merupakan hal yang sudah ada sejak berabad-abad lampau. Dr. Duyvendak (1935:147) menuliskan : “Orang-orang primitif…. pertama-tama sangat sadar bahwa kekuatan gaib menembus segala-galanya; dari kesadaran inilah tumbuh adat kebiasaan, dan tidak selamanya dengan konsekuensi yang sempurna”. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa jangan menjelaskan kebiasaan ini secara rasionalistis, karena dalam hal ini adalah bidang yang irasional. Upacara-upacara ini berkait erat dengan kepercayaan terhadap roh, leluhur, hingga siklus terhadap alam. Bila kita menyimak bagaimana upacara yang ada di Yogyakarta. Mereka mempersembahkan kepala kerbau, dan juga hasil bumi yang dilautkan ke laut menjelaskan bahwa mereka bersyukur dan berbagi terhadap makhluk yang  ada di laut. Mereka tak membedakan antara laut dan bumi. Sebab laut dan bumi sejatinya satu kesatuan yang saling memberi dan menerima.

            Suku Alune dalam buku ini pun tidak jauh berbeda. Di masa sebelum pemerintah, dan unsur modern memasuki wilayah ini, mereka erat dan mengenali nama-nama dan tradisi yang ada kaitannya dengan alam mereka. Mereka mengenali sungai pada sisi kiri dan sisi kanan. Pada sisi kanan dianggap sebagai tempat persemayaman roh laki-laki, sisi sungai sebelah kiri dianggap sebagai persemayaman roh perempuan yang baik.(h.32). Mereka mengenali jenis tanaman yang digunakan untuk obat, upacara, dan juga untuk makanan. Akan tetapi seberapapun kuat mereka menghalang dan membentengi mereka dari arus luar, mereka tak mampu untuk menahan derasnya arus perubahan yang dibawa masyarakat luar termasuk pemerintah.

Bergeser

            Agama adalah faktor awal bagaimana perubahan dan pergeseran terhadap kepercayaan dan tradisi ini. Sejak masuknya penginjilan yang dilakukan oleh Gereja Protestan pada tahun 1927, praktik pemujaan kepada leluhur mengalami kemunduran dan praktik ini dilarang sejak awal tahun 1960-an. Meskipun demikian, rasa hormat kepada para leluhur yang dianggap sebagai tuan tanah dan pelindung tanah penjaga yang baik tetap berpengaruh pada aktifitas sehari-hari (h.22). Penduduk percaya bahwa leluhur mereka masih menampakkan diri di dalam tempat-tempat yang biasa dilakukan upacara adat. Di kebun, di air terjun, maupun bukit kapur. Mereka mempercayai kahbasa kekuatan magis yang berkaitan  erat dengan ketaatan mereka memberikan sesajen atau tidak. Bila tidak, maka kahbasa(kekuatan magis) ini akan memberikan musibah melalui kuman. Kahbasa sudah hilang di tahun 1950-an semenjak penginjilan ada disana.

            Bila dari sisi kedatangan agama protestan membuat hilangnya upacara adat dan penghilangan pemujaan leluhur. Maka dari sisi pemerintah kedatangan para pendatang, dan juga kebijakan pemerintah membuat suku Alune harus menerima perubahan dan peralihan pekerjaan mereka. Dari pertanian ke peternakan, yang umumnya merusak dan menghilangkan pengetahuan mereka tentang jenis tanaman untuk makanan, untuk upacara adat, kini tak lagi dibedakan. Tahun 1980,misalnya pemerintah memberikan bantuan presiden (Banpres) dengan memberikan 35 ekor sapi yang kini menjadi 100 sapi, kemudian memicu rusaknya kebun-kebun tanaman musiman yang ditelantarkan. Sekarang, hanya ada beberapa penduduk saja yang menanam bermacam-macam varietas beras untuk mencegah kepunahan varietas tersebut. Apa yang ada di suku Alune di Pulau Seram yang lekat dengan tradisi serta masih memiliki hubungan erat dengan roh dan alamnya juga ada di wilayah di negeri kita yang lain. Akan tetapi, pengetahuan tentang keseimbangan dan keharmonisan pertanian dengan alam itu, makin lama makin bergeser tak hanya karena datangnya para kaum agamawan, tetapi juga oleh kebijakan pemerintah yang berakibat hilangnya pengetahuan akan keseimbangan alam dengan religiositas lokal yang berupa adat dan upacara pemujaan roh-roh.  Buku Pulau Seram yang ditulis oleh Dyah Maria ini merekam bagaimana pergeseran dan sikap Suku Alune yang berubah. Selain dari pada memunguti dan merekam kebijaksanaan Suku Alune yang memperlakukan pertanian bukan sebagai aspek yang tunggal, melainkan berkaita erat dengan keharmonisan alam, manusia, dan pekerjaannya.

*)Penulis adalah Peneliti di Bilik Literasi SOLO,Guru di MIM PK KARTASURA

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan