industri-politik-di-indonesia

Politik Sebagai Industri

Dalam buku Dialektika Pencerahan Theodor W. Adorno membahas budaya dan perilaku masyarakat, untuk akhirnya dianalisa secara kritis. Sejalan dengan George Lukacs, Adorno mengulas dan turutserta menyumbang pemikiran tentang reifikasi. Reifikasi dijelaskan Lukacs sebagai tereduksinya hubungan antar manusia karena menjadi relasi alat produksi. Dasarnya adalah “penurunan” nilai relasi manusia karena hubungan antar manusia didominasi kepentingan ekonomi. Dalam masyarakat modern persoalan ini menyebabkan keterasingan yang berakibat  diperlakukannya manusia (masyarakat) layaknya objek, bukan sebagai subjek atas tindakannya.

Reifikasi berakar pada prinsip pertukaran komoditas yang membandingkan barang-barang serta proses-proses kerja yang secara kualitatif berbeda dengan mereduksinya kedalam ukuran kuantitatif (nilai uang). Berbeda dengan Karl Marx yang berpendapat bahwa nilai tukar ini adalah satu-satunya sarana dimana nilai suatu komoditas berasal, bagi Lukacs kuantifikasi dari sesuatu yang secara kualitas unik terjadi bukan hanya dalam pertukaran komoditas saja, tetapi ke dalam semua bentuk interaksi sosial, termasuk juga organisasi birokratis seperti tempat kerja dan Negara.

Adorno menambahkan dalam teori reifikasi miliknya bahwa reifikasi dalam masyarakat akan membawa dominasi proses pertukaran yang terus menerus meningkat sampai pada kontrol terhadap institusi, tingkah laku manusia, dan susunan kelas sedemikian rupa sehingga meniadakan bentuk-bentuk kesadaran kritis dan otonom. Ini diakibatkan oleh adanya budaya industri. Bagi Adorno budaya industri adalah bentuk penipuan massa yang menstandarisasi reaksi yang justru mengafirmasi stasus quo kapitalisme. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan hanya digunakan sebagai pendorong kegiatan produksi komoditas-komoditas yang menciptakan standar dengan alasan utama mencukupi kebutuhan konsumen. Budaya industri ini sekaligus menghasilkan sirkulasi manipulasi dengan kesatuan sistem yang semakin menguat.

Budaya menjadi industri yang taat pada peraturan yang terintegrasi dengan ekonomi kapitalis secara keseluruhan. Hal itu membuat budaya komoditas atau budaya industri memiliki kemampuan menghasilkan budaya massa yang membangun kejiwaan manusia kearah sifat kompromis dan pasif.

Kapitalisme lanjut (hari ini) yang ditandai dengan terintegrasinya masyarakat secara “global” dan “seragam” melalui pertukaran komoditas, birokrasi, dan budaya industri. Media massa seperti film, radio, majalah, dan (kini) internet menjadi faktor utama dari penyeragaman dari sistem. Media massa sebagai bagian dari industri, ikut berperan mempengaruhi keputusan konsumen dalam pertukaran sehingga konsumen tidak memiliki kemampuan menetapkan standar yang jelas. Ini berbeda dengan kapitalisme awal di mana subjektifitas konsumen masih memungkinkan untuk ikut serta dalam menentukan nilai kegunaan suatu barang. Pada kapitalisme lanjut pilihan konsumen dibentuk sedemikian rupa mengikuti keinginan produsen. Dengan demikian komoditas diadakan bukan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen tetapi hanya untuk dipertukarkan dengan tujuan memberi keuntungan bagi produsen.

Menurut Adorno keadaan itu terjadi secara menyeluruh dalam masyarakat. Maka situasi ini hanya mempertahankan kelangsungan status quo yang memenangkan kapitalisme. Karena keseluruhan telah terintegrasi ke dalam masyarakat yang teradministrasi dalam sistem ini termasuk pula kesadaran masyarakat maka menjadi tidak mungkin hadirnya kesadaran kritis. Bahkan, menurutnya, filsafat dan ilmu pengetahuan yang ada sebagian besar hanya akan mendukung dan mempertahankan sistem yang ada.

Oleh karena itu Adorno fokus pada “kecurigaan” terhadap kemungkinan pola pikir sistematis, koheren, dan kritis  yang berada dalam kontrol logika kapitalisme. Adorno ingin mencari sebuah pendekatan bagi analisis sosial yang mampu memisahkan diri dari logika kapitalisme sehingga memungkinkan menemukan sebuah pandangan baru mengenai masyarakat.

Industrialisasi Politik

Sejalan dengan apa yang dijelaskan Adorno tentang kondisi masyarakat yang telah terbius sistem kapitalisme. Masyarakat Indonesia yang tentunya tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan sistem kapitalisme global, kondisi kesadarannya telah mencapai fase yang mengkhawatirkan. Khususnya kesadaran dalam politik. Industri budaya yang mengontrol ketidakhadiran kesadaran kritis bukan hanya dalam wilayah kegiatan ekonomi semata, namun mampu membentuk perilaku masyarakat secara keseluruhan, begitu juga di wilayah politik. Sistem yang mengontrol pola pikir masyarakat, ikut serta membentuk kegiatan politik sebagai sebuah industri. Politik tak bisa absen dari kontrol sistem sehingga ikut serta menjadi sebuah ruang yang ikut terindustrialisasi.

Industrialisasi merupakan suatu hal yang baru bagi proses politik di Indonesia. Khususnya ketika menjelang Pemilihan Umum, berbagai partai politik dan aktor-aktornya mulai menggelar berbagai langkah dan strategi politik untuk menuai kemenangan politik. Hal ini dilakukan untuk bisa  sebanyak-banyaknya memanen suara dari masyarakat. Para kontestan pemilu, menyadari bahwa langkah-langkah dan strategi politik begitu penting untuk menjaring suara dalam pemilu, karena saat ini kita sedang melangkah pada sistem politik yang “dianggap” lebih modern, berkualitas dan rasional.

Indikasi dari industrialisasi politik ini dapat dilihat dari banyaknya konsultan kampanye profesional untuk mengemas atau merekayasa citra demi mencapai kemenangan para calon. Partai yang memiliki modal lebih besar tentunya memiliki kemungkinan menggunakan jasa dari konsultan yang lebih terpercaya, bahkan banyak para konsultan yang sengaja didatangkan dari luar negeri. Tentunya tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk dapat menggunakan jasa ini. Sudah jadi rahasia umum bahwa kampanye seperti inilah yang kini sedang berkembang di Indonesia saat ini.

Model kampanye seperti ini lebih menekankan pada citra dan simulasi ketimbang realitas, dimana citra individu kontestan menjadi lebih penting daripada kapasitas dan program yang diusung para calon dan partainya. Hadirnya konsultan profesional ini sekaligus mendukung budaya demokrasi yang menjadikan masyarakat semakin pasif dan memiliki jarak yang jauh terhadap proses politik yang berlangsung. Hal ini karena elit kekuasaan baru yang demikian sedang tumbuh dan ikut berperan banyak dalam mengonstruksi elemen penting budaya berdemokrasi di Indonesia.

Maraknya industrialisasi politik ini menyebabkan munculnya ambigu dan kebingungan terhadap realitas politik yang telah terdistorsi secara progresif. Masyarakat memiliki potensi lebih mempercayai realitas artifisial dan semu yang sebagian besar telah terkena distorsi dan rekayasa, terutama mengingat kemampuan media dalam hal ini cukup mengkhawatirkan. Realitas buatan ini diciptakan lewat teknologi simulasi, sehingga, pada tingkat tertentu akan tampak lebih nyata ketimbang realitas yang sesungguhnya.

Kegiatan pengaburan realitas ini terjadi dan dapat dilihat ketika menjelang pemilu, kita melihat sebuah situasi dimana para tokoh politik berlomba memasarkan citranya dengan mengumbar janji dan rekam jejaknya dalam politik yang dianggapnya merepresentasikan kepemimpinan yang ideal. Ini dilakukan lewat peran media baik cetak maupun elektronik. Seolah ingin merekayasa citra diri (atau simulasi) sebagai sosok yang mampu menjawab permasalahan masyarakat jika akhirnya terpilih. Media adalah alat canggih yang merangsang publik untuk mempercayai kemampuan para calon dalam memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Meskipun lagi-lagi dengan cara menyembunyikan realitas yang sesungguhnya.

Aktifitas politik semacam ini akhirnya semakin membuat pola pikir kritis masyarakat terhadap politik semakin menurun. Bahkan terkadang dampak kegaduhan isu-isu yang hadir di masyarakat jauh lebih menonjol dalam agenda masa kampanye para calon.

Seperti apa yang dikemukakan Adorno, kepasifan masyarakat sendiri memang dipengaruhi oleh sistem global yang telah terjadi sejak hadirnya kapitalisme. Pola pikir tersebut mau tak mau ikut membangun karakter budaya demokrasi yang ada di masyarakat. Selain sistem global yang mendorong masyarakat untuk menerima realitas artifisial (buatan), proses industrialisasi politik itu sendiri juga sekaligus berperan sejalan dengan sistem dalam membentuk pola pikir masyarakat. Hal ini karena kegiatan industrialisasi politik telah terdistorsi oleh realitas palsu yang diciptakan industri budaya sistem kapitalisme. Sehingga karakter budaya politik yang berjalan tidak bisa lepas dari pengaruh sistem global yang secara beriringan berjalan melemahkan pola pikir kritis masyarakat.

Dampak Negatif

Dengan melihat fenomena tersebut dan tetap menggunakan cara pandang Adorno dalam mengkritisinya, setidaknya ada beberapa dampak negatif dari ”industrialisasi politik” bagi perkembangan budaya berdemokrasi di Indonesia. Dampak terburuk ada dibentuk karakter budaya demokrasi. Industrialisasi politik telah mereduksi makna demokrasi dengan ”kepalsuan”, dan ini membuka peluang bagi elit politik merealisasikan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata. Demokrasi tidak lagi dipandang sebagai budaya yang harus dijaga martabatnya, melainkan menjadi “ruang” yang terus dieksplorasi batasan kebebasannya selama dapat menghadirkan keuntungan bagi kepentingan para aktor. Sistem sekaligus lembaga politik hanya dijadikan tempat persinggahan untuk sekedar merealisasikan kepentingan baik pribadi maupun kelompok.

Hal ini juga memberi kesempatan pada budaya politik yang cederung fokus pada citra dan simulasi ketimbang realitas, dimana rekayasa citra individu menjadi lebih penting daripada  isu yang harusnya diperjuangkan partai. Apalagi jasa  konsultan profesional juga ikut hadir ditengah kegiatan ini. Standar pemimpin yang tepat juga akhirnya menjadi semakin tidak jelas dan menghadirkan kebingungan di masyarakat dalam menilai sosok seperti apa yang pantas mewakilinya.

Kesadaran politik masyarakat juga akan terus menurun. Terutama ditengah demokrasi yang  berusia dini. Proses industrialisasi politik tentunya mendukung rendahnya partisipasi  dari masyarakat dalam politik, karena ini akan menguntungkan elit. Hal ini akan menjauhkan masyarakat dari pengetahuan akan politik dan perannya sekaligus. Partisipasi masyarakat akhirnya hanya sekedar ikut menyumbang suara dalam pemilihan semata, sedangkan calon yang hadir belum tentu sesuai kriteria yang dapat memfasilitasi harapan kesejahteraan masyarakat.

Pola pikir politik yang dijalankan secara transaksional juga akan semakin berkembang. Penggunaan political marketing dalam proses demokrasi hanya akan menjadikan pemilihan umum sebagai sebuah pertukaran (transaksi) bak sebuah pasar yang menjadikan keuntungan sebagai orientasi utama kekuasaan. Suara yang diberikan masyarakat akhirnya hanya menjadi sebuah alat tukar, dan kepentingan rakyat yang berupa harapan kesejahteraan tidak benar-benar terealisasi. Masyarakat akhirnya mau-tidak-mau menukarkan suaranya dalam pemilihan dengan hasil yang tidak sesuai dengan harapannya. Justru realitas palsu yang hanya memberikan jalan bagi para aktor politik dalam mencari “keuntungan” yang lebih dominan dalam proses demokrasi. Apalagi pola pikir seperti ini juga mengundang hadirnya para aktor yang hanya berkepentingan untuk bisa menikmati uang rakyat semata.

Inilah yang harusnya dikritisi oleh masyarakat kita ditengah demokrasi yang selalu kita agungkan, bagaimana mengembalikan arah transisi demokrasi pada posisi semula. Yaitu menjadikan demokrasi sebagai budaya yang mendukung kesejahteraan dan akal budi yang agung, bukan sebagai industri yang hadir sebagai ruang eksplorasi kepentingan yang mengesampingkan kesejahteraan rakyat.

Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad Sahidah, Dialektika Pencerahan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002)

, , , , , , ,

2 tanggapan ke Politik Sebagai Industri

  1. anfabl 17 November 2016 pada 05:48 #

    Bung yan, jadi piye si young rif?

  2. Surwandono 15 November 2016 pada 16:43 #

    (Y) layla

Tinggalkan Balasan