pramuka-praja-muda-karana

Pramuka dan Pendidikan Karakter?

Kemendikbud baru-baru ini kembali mewacanakan kebijakan baru, yakni hendak menjadikan pramuka sebagai pelajaran wajib bagi siswa-siswi kita. Mendikbud menilai bahwa melalui kegiatan pramuka (praja muda karana), diharapkan karakter anak bisa terbentuk.

Bila ditilik dari tujuan pendidikan kita menurut UU SISDIKNAS nomer 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Rumusan yang indah itu ternyata masih jauh dari harapan. Pendidikan karakter meski sudah digaungkan dan didengung-dengungkan melalui kurikulum 2013 kenyataannya belum meresap ke dalam jiwa anak-anak kita. Masih banyak anak-anak dan generasi muda kita yang masih kurang menghormati orangtua, semakin kehilangan sopan santun dan kurang memiliki adab dan budi pekerti yang luhur.

Kita bisa merujuk kembali bagaimana karakteristik dibina dan dibangun di pendidikan taman siswa. Di taman siswa, Ki Hajar Dewantara selalu mendengungkan dan menerapkan karakter ketimbang kecerdasan kognitif. Penerapannya sudah dimulai dari umur 0-21 tahun. Karakter dibentuk tak hanya mengurusi etika dan adab di sekolah, di masyarakat, dan di dalam keluarga. Anak-anak taman siswa dididik untuk menghormati guru. Selain itu, murid-murid taman siswa juga dididik untuk mandiri. Disiplin diterapkan dalam belajar, tapi disiplin dalam taman siswa lebih merujuk pada disiplin diri dan mentalitas, bukan disiplin seperti yang ada dalam lingkungan pendidikan selama ini.

Karakter yang hendak diterapkan oleh Kemendikbud melalui Pramuka lebih mengarah kepada disiplin (ala) militer. Sebab yang saya rasakan selama ini, pramuka lebih identik dengan baris-berbaris dan bentak-membentak serta hukuman bagi yang tak tertib. Kemah, yang selama ini mestinya dijadikan sebagai alat untuk membina mentalitas kemandirian anak, justru sering dijadikan ajang bagi senior untuk unjuk gigi dan gagah-gagahan.

Selama ini, PERSAMI pun lebih banyak memanfaatkan makanan siap saji ketimbang mencari alat seadanya dan belajar hidup di hutan sebagaimana perkemahan yang ada di masa lalu. Kemah sekarang lebih mengarah pada konsumtif ketimbang kemandirian.

Problem Teknis dan Pengetahuan

Selama ini, pramuka memang tidak diurusi oleh kelembagaan yang boleh dibilang professional dan tertata. Kurangnya manajemen yang baik, serta pengkaderan yang tertata, membuat kegiatan ini hanya sebatas formalitas belaka. Pelatihan-pelatihan bagi para pembina pramuka lebih sering berbau teknis dan kurang filosofis. Akhirnya para pembina yang semestinya mampu memberikan materi dan membangun kesadaran dan mentalitas hanya terpaku pada materi teknis. Akibatnya, kegiatan pramuka terkesan tak jauh berbeda dengan pelajaran baris berbaris semata.

Meski wacana pramuka akan masuk ke pelajaran, hal ini belum mengubah image kegiatan sebagai gerakan yang cukup memberi manfaat bagi anggotanya. Perlu juga diingat, karakter kemandirian, dan karakter pribadi yang kuat dan tahan banting dalam hidup, tak melulu dibangun dengan berpramuka. Memang, mestinya pramuka mampu memberi bekal kecakapan hidup. Tapi kenyataannya kegiatan yang sering menjadi eks-kul ini belum mampu membangun citra di mata siswa sebagai organisasi yang  mampu mendidik anggotanya menjadi lebih cakap dan mandiri.

Sejauh pengalaman saya sejak SMP sampai SMA, pramuka hanya kegiatan baris-berbaris dan perkemahan semata. Amat minim sekali materi-materi yang mengarah pada adab, etika pergaulan remaja, sampai dengan kemandirian dan keterampilan remaja.

Padahal, peluang bagi pramuka untuk lepas dari jerat disiplin (ala) militer cukup tinggi. Misalnya dengan membekali siswanya untuk berlatih usaha, atau keterampilan kerajinan tangan (kriya) yang bisa bermanfaat ketika mereka nanti dewasa. Baris-berbaris memang penting, tetapi tak terlampau substansial tatkala baris berbaris justru jadi materi pokok. Selama ini, materi yang dilatihkan jarang mengacu dan menilik ulang buku-buku sejarah kepramukaan. Dasa darma pramuka hanya sekadar jadi hafalan dan bukan praktek yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Bila cinta alam dan cinta sesama misalnya diterapkan dalam keseharian kita, maka tak mungkin lagi ada siswa kita yang buang sampah sembarangan dan merusak lingkungan dengan semena-mena.

Karakter yang ada dalam pramuka bisa menjadi praktik keseharian siswa terutama bila para pembina pramuka mulai mengubah dan menyusun ulang materi mereka. Tak melulu berorientasi pada disiplin (ala) militer atau latihan baris-berbaris setiap pertemuannya, tetapi juga mengenalkan siswa pada sejarah pramuka di dunia dan Indonesia, serta mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bila para penggerak pramuka tak mau mengubah cara pandangnya, dan mengubah pola kerjanya, saya yakin, pramuka yang sebenarnya ‘kepanduan’ akan tetap tak disukai dan semakin tak populer di mata remaja kita.  Tentu saja mereka lebih suka nongkrong di pinggir jalan, serta makan di warung bersama, atau jalan-jalan ke pantai bersama kekasih ketimbang ikut pramuka yang isinya hanya baris-berbaris.

*) Guru MIM PK Kartasura, Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Penulis Buku Ngrasani (2016)

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan