puisi-cinta-dan-doa

Puisi, Cinta, Doa

Puisi adalah ruang. Di dalamnya, kita bisa menampung banyak hal. Puisi tak hanya menampung ekspresi manusia seperti sedih, senang, maupun duka lara. Selain itu, puisi juga dapat menampung cerita dan kisah. Begitu pula, puisi bisa dijadikan sebagai doa. Seorang penyair, biasanya memerlukan waktu-waktu yang memungkinkan mereka untuk menulis puisi. Ada suasana “suwung” yang tak sekadar diartikan sepi, kalau dalam bahasa jawa ada yang lebih mewakili kta ini, yakni “nyenyet”. Di waktu-waktu itulah, biasanya penyair bisa menciptakan puisi sebanyak yang dia mau, atau kadang kala hanya satu atau dua puisi. Terlepas dari itu semua, seorang penyair lebih mirip sebagai seorang pertapa sekaligus penderma.

Penyair, ia tak memiliki motif untuk mendapati sesuatu dari puisinya. Yang paling memungkinkan dari motif penyair adalah berderma, membagi. Meski yang ia bagi hanyalah kata-kata, janganlah tuan dan puan menganggap remehnya. Sebab dari kata-kata itu pula, hati kita jadi tersentuh, jiwa kita jadi ikut merasakan trenyuh. Seperti itu pula yang menjadi motif Ishadi SK. Penyair yang tak hendak berpretensi menjadi penyair ini menulis puisi di sela-sela kesibukannya. Ia bekerja menjadi pendiri Trans TV dan menjadi Komisaris Trans Media. Pembaca boleh saja membantah dan tak percaya kalau penyair mampu menghasilkan hampir dua ratus halaman puisi di buku Puisi Untuk Meis (2014). Namun dari puisi yang kita baca itu, bisa kita lihat bahwa puisi di buku ini melingkupi tahun-tahun yang melompat-lompat dari tahun 1989 bahkan. Pembaca bisa menangkap kesan puisi seperti dokumentasi dan album.

Di puisi-puisi Ishadi, kita bakal bertemu tempat, kenangan, memori sampai dengan ekspresi ketakjuban, keintiman dialog serta gundah gulananya penyair di waktu hatinya dan dadanya berkecamuk. Kita bisa menengok diantara campuran perasaan itu di puisi bertajuk Tuhanku, Tuhanku (2) : Engkaulah sumber dari segala cinta dan kasih sayang/ lambang dari yang indah-indah/ ketika hatiku kering dan tulangku lunglai/ manakala bagai makhluk lemah, tersungkur/ menghadapi berbagai cobaan/ kau datang dengan penuh kekuatan.

Bila di penggalan puisi diatas kita lebih terkesan dengan puisi bernada doa, maka di puisi berikut ada cinta, serta canda yang hendak disampaikan dengan mengalir. Di hari ulang tahunmu ini/ ku lihat kau bagai bayang-bayangku/ karena sekian lama kau telah mengikutiku/ dalam sedih dalam suka/ dalam kerinduan maupun kebencian/ ……/ naik pesawat atau Dul Kuat (becak)/ ke jalan yang curam maupun menembus awan/ duduk di depan sawah yang menguning atau mendengarkan aku meniup seruling/ pokoknya rame deh…. (Dalam Bayang-Bayangku).Penyair terkesan luwes memasukkan kata-kata yang barangkali terasa keluar dari keterkaitan bait sebelumnya. Tapi penyair justru berhasil memasukkan kata-kata itu sebagai sebuah canda tanpa menghilangkan isi puisinya.

Kita bisa menyimak puisi serupa yang berbahasa biasa, namun juga mengesankan doa yang mengalir. Di hari ulangtahunmu ini, Meis/ aku kepingin berkata.” Aku ingin hidup 25 tahun lagi”/ agar ku bisa menyaksikan/ ‘Khalista bersanding di kursi pengantin’/agar ku bisa melihat ‘Muhammad Maulana naik limusin’/agar ku bisa mengantarkan cucu-cucuku ke sekolah Al-Azhar/ agar ku bisa ikut belanja kebutuhan dapur di pasar / meskipun memakai tongkat dan destar (25 Tahun Lagi). Ada kesadaran ruang dan waktu, saat usia semakin lama semakin cepat melaju. Puisi ini menyiraktan bahwa menjadi tua adalah doa sekaligus harap menyaksikan harapan-harapannya menjelma dalam cita-cita dan keberhasilan anak-cucunya.

Sebagai dokumentasi ruang dan waktu penyair, buku puisi boleh sekali-sekali meleset dari tema utama. Meski tema utama buku Puisi Untuk Meis (2014) adalah tema cinta sebagaimana tagline judulnya puisi cinta dan sebayanya. Namun, penyair tak malu memasukkan puisi intimnya saat menikmati ruang para birokrat dan wakil rakyat kita. …..Ah diskusinya lucu-lucu/soal korupsi, kolusi, nepotisme tidak ditanggapi/ karena katanya “sudah ketinggalan taksi”/soal keadilan, penggusuran dan kesewenangan tidak digubris/ karena itu “kan suara dari musik kalengan” (MPR).

Di halaman-halaman tengah, kita bakal mendapati puisi bernada cerita, kesan, dan pengharapan. Salah satu puisi ini ditujukan kepada Chairul Tanjung. Wah betapa tajirnyaa anda/ di usia demikian muda, namun wah/ betapa sederhananya gaya hidup anda/ anda kan tidak pernah belanja di Bandung Super Mall?/ Anda tidak pernah meminjam uang di Bank?/Anda kan jarang nongol di televisi?/Anda tidak mau bermewah-mewah/ masih mau nongkrong di warteg/ meskipun kartu kredit anda seabreg (Selamat Ulangtahun ke-40 Pak CT : jangan lengah, angan pongah, jangan gegabah!). Inilah barangkali bagian dari puisi dokumentatif, meski sudah dimaksudkan dijadikan satu tema, tapi tak bisa menghindari keterpecahan tema-tema yang lain.

Di puisi-puisi Ishadi SK, kita memang bakal mendapati diksi-diksi sederhana, seperti seorang pendo’a yang sedang khusyuk. Kita juga disuguhi memori, serta perasaan saat dada penyair membuncah teringat kenangan cintanya bersama istri. Panyair pun lihai membuat diksi-diksi yang sederhana itu membuat pembaca terkesan. Misal saja di puisi cinta berjudul Cinta Cemberut:  Apa ada ya cinta cemberut?/ ada, ya, cinta yang salah urut/ cinta itu ada tahapannya/ paling awal pandangan pertama/ ada terasa di hati tidak?/ kalau tidak jangan diteruskan, nanti salah urut/kalau ada rasa coba disambungkan/ apakah ada getaran di hatinya?/ kalau tidak, ya stop disini, jangan dipaksa, nanti salah urut….

Buku kumpulan Puisi Untuk Meis (2014) ini merupakan bagian dari kerja dokumentatif pengarang untuk terus membagi kepada publik. Meski ia dikenal sebagai tokoh publik, penyair tak cukup berbagi dalam bentuk materi, barangkali puisi inilah mediumnya. Ada titik kesadaran bahwa hidup manusia sebesar apapun mesti mengakui kebesaran pencipta-Nya. Saya hendak menutup tulisan ini dengan penggalan puisi berikut : “Manusia, oh manusia/ betapapun perkasa dan angkuh/ pada suatu waktu kau akan bersimpuh/ ketika hari-hari hidup bisa dihitung dalam jari/ ketika wibawa dan harta tak lagi berarti” (ICU Pertamina). Ishadi Sk memang hendak dikenang sebagai penyair sederhana, meski posisi dan jabatan boleh saja tak henti diembannya, puisi-puisinya tak boleh terkesan sibuk bekerja.

*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, tuan rumah Pondok Filsafat Solo

puisi-cinta-dan-doaJudul Buku                       : Puisi Untuk Meis
Penulis                                : Ishadi SK
Penerbit                             : Penerbit Buku Kompas
Tahun                                  : 2014
Halaman                             : 194 Halaman
ISBN                                     : 978-979-709-811-7

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan