seni-komunikasi-dan-radikalisme

Radikalisme, Komunikasi yang Terdistorsi dan Seni Memahami

Term “radikalisme” bukanlah sebuah term yang asing lagi bagi masyarakat saat ini. Maraknya aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal membuat term “radikalisme” menjadi seperti santapan harian bagi masyarakat. Namun, radikalisme bukanlah santapan yang lezat. Radikalisme adalah santapan beracun yang menakutkan sebab bisa membawa orang pada kematian.

Tentang akar munculnya masalah radikalisme, orang seringkali mengaitkannya dengan agama. Agama seolah-olah dijadikan penyebab dari segala macam kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikalis. Namun, yang menjadi pertanyaan di sini adalah benarkah agama menjadi penyebab dari segala macam kekerasan yang dilakoni oleh kelompok radikalis? Apakah Tuhan yang dipuja oleh orang-orang beragama khsususnya kelompok radikalis itu menghendaki adanya kekerasan?

Pertanyaan yang sama sebenarnya telah dirumuskan oleh Plato, Filsuf yang hidup di tengah politeisme Yunani kuno. Dalam dialog Euthyphro, lewat mulut Sokrates, ia mengajukan pertanyaan ini: “Apakah orang saleh dikasihi dewa-dewa karena ia saleh, atau ia saleh karena ia dikasihi dewa-dewa?” (Hardiman, 2018: 118). Pertanyaan ini memang sulit dan membingungkan, namun lewat pertanyaan ini kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan tentang agama di atas.

Kita bisa saja mengubah pertanyaan di atas menjadi: “Apakah Tuhan memerintahkan tindakan tertentu karena tindakan itu secara moral baik atau tindakan itu baik secara moral karena Tuhan memerintahkannya?” Tiap pilihan akan jatuh pada kesulitan, sehingga keduanya akan menjadi dilematis untuk dipilih. Pada pilihan pertama, jika Tuhan memerintahkan segala sesuatu itu baik, Dia hanya menyesuaikan diri dengan moral dan tidak berdaulat atasnya. Pada pilihan kedua lebih sulit lagi untuk dipilih. Jika sesuatu itu baik karena Dia memerintahkannya, kekerasan dan aksi intoleran bisa baik secara moral karena dianggap perintah Tuhan. Aksi teror dan persekusi terhadap umat berkeyakinan lain bisa menjadi kewajiban moral jika dianggap sebagai perintah Tuhan. Euthyphro sendiri yang adalah seorang ulama menyarankan kepada Sokrates bahwa kesalehan adalah persekusi atas penista agama.

Kelompok radikalis dan para persekutor religius sudah senantiasa hidup dalam pilihan kedua dalam dilema Euthyphro itu. Jika tidak lewat pola asuh, indoktrinasi dan provokasi telah menjauhkan mereka dari kegelisahan suara hati atas implikasi-implikasi etis tindakan. Adalah nyaman bagi mereka bahwa tindakan apapun baik karena Tuhan memerintahkannya seperti tertulis dalam Kitab Suci, karena nalar tak perlu lagi memeriksa ataupun menafsirkan alasan dan akibat moral tindakan-tindakan. Cukup percaya saja dan jangan pernah mempertanyakan apalagi menggugat.

Jika dicermati, dilema Euthyphro sebenarnya tidak perlu dilematis asalkan berlangsung penalaran yang sehat tentang Tuhan dan perintah-Nya. Akal budi yang sehat tahu bahwa Tuhan adalah Yang Absolut Baik, maka Dia tidak tunduk pada hukum moral di luar diri-Nya, karena Dia adalah sumber moral itu sendiri, dan moral tidak membenarkan kekerasan. Mustahillah Tuhan yang Mahakasih memerintahkan aksi bom bunuh diri, karena Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang sadis. Mustahil juga Tuhan yang Mahakuasa membutuhkan pembelaan kita, misalnya lewat aksi massa, karena bila demikian, Dia adalah Tuhan yang lemah. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa agama bukanlah penyebab dari segala macam aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikalis.

Akar masalah radikalisme sebetulnya terletak pada nalar sehat yang telah tertutup dalam diri kelompok radikalis. Mengapa nalar sehat itu tertutup bagi kelompok radikalis? Alasannya mungkin lebih psikologis-politis daripada logis. Mereka telah memutuskan untuk membenci target mereka. Sebagai ganti mengatasi kebencian dengan akal sehat, akal dikooptasi oleh kebencian sehingga menjadi sakit dan terdistorsi oleh sentimen dan prasangka-prasangka. Hal inilah yang oleh Habermas sebut sebagai komunikasi yang terdistorsi.

Komunikasi yang Terdistorsi

Komunikasi yang terdistorsi dalam pandangan Habermas, sebagaimana dijelaskan oleh Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Seni Memahami (2015), dapat dilihat dalam dua kasus yaitu kasus psikopatologis dan kasus perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Dalam kasus pertama, kasus gangguan kejiwaan, seorang pasien dalam klinik psikiatri menuturkan bahasa dan menunjukan perilaku yang tidak dapat dipahami bahkan oleh pasien itu sendiri, karena pasien itu mengalami gangguan dalam kesadarannya.

Kasus kedua merupakan kasus yang lebih rumit karena melibatkan bukan individu melainkan kelompok. Di dalam kasus kedua ini memang para pelaku dan penutur memahami bahasa dan perilaku mereka, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka telah salah paham satu sama lain, sehingga tuturan dan perilaku mereka itu sebenarnya tidak dihasilkan oleh akal sehat mereka, melainkan oleh indoktrinasi ideologis. Dengan ungkapan lain, mereka memiliki apa yang disebut Marx falsches Bewuβtstein, kesadaran palsu.

Para anggota kelompok yang terindoktrinasi, misalnya oleh ideologi rasis seperti yang dialami oleh warga Jerman di zaman Nazi atau oleh ekstrimisme religius, seperti yang dialami oleh kelompok radikalis dan fundamentalis agama, fanatikus dan pelaku bom bunuh diri, tampaknya “saling memahami”, karena mereka berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti dan perilaku agresif dan destruktif mereka juga mereka lakukan dengan sengaja bahkan terencana. Namun, yang terjadi sesunguhnya adalah bahwa kelompok ini telah jauh dari akal sehat bersama manusia, yaitu berada dalam kesadaran palsu, sehingga hanya orang luar yang dapat mengamati bahwa mereka telah salah paham satu sama lain.

Kedua kasus di atas disebut Habermas sebagai komunikasi yang terdistorsi. Komunikasi yang terdistorsi ini dibagi lagi menjadi dua yaitu komunikasi yang terdistorsi yang biasa dan komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Komunikasi yang terdistorsi yang biasa yaitu distorsi komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari misalnya karena perbedaan sudut pandang, ketidaktahuan atau prasangka, sehingga kita salah paham satu sama lain. Sementara komunikasi yang terdistorsi secara sistematis adalah distorsi yang menjauhkan atau mengisolasi para pelaku dari akal sehat sehingga makna-makna yang dihasilkan tidak memiliki acuan pada akal sehat.

Seni Memahami

Komunikasi yang terdistorsi sebagai akar masalah radikalisme dapat diatasi apabila kita sebagai warga masyarakat memiliki kemampuan yang baik dalam memahami. Memahami adalah sebuah seni. Oleh karena itu, setiap orang harus mampu menguasainya dengan baik.

Namun, perlu diingat bahwa ‘memahami’ tidak ekuivalen dengan ‘mengetahui’. Kata memahami menyiratkan kemampuan untuk merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang lain. Orang bisa saja memiliki banyak pengetahuan tetapi sedikit pemahaman. Memahami mengacu pada suatu kemampuan untuk menjangkau pribadi seseorang. Memahami mengandaikan keterlibatan pribadi dan tidak bisa diraih semata-mata dengan sikap berjarak, karena memahami tidak bertujuan untuk memperoleh data belaka, melainkan untuk menangkap makna.

Istilah seni memahami pertama kali diperkenalkan oleh Schleiermacher (Hardiman, 2015: 9). Sejak dialah memahami menjadi topik keahlian penting di dalam diskursus filsafat, teologi, dan ilmu-ilmu kemanusiaan. Dalam filsafat, ada cukup banyak filsuf yang menggeluti tema ini termasuk salah satunya adalah Habermas.

Karena konsep komunikasi yang terdistorsi yang merupakan akar dari radikalisme adalah konsep yang ditelurkan oleh Habermas, maka kita juga harus menyelesaikan masalah ini dengan menggunakan konsep hermeneutik atau memahami dari Habermas. Habermas merumuskan memahami sebagai praksis pembebasan (Hardiman, 2015: 233). Setuju dengan Dilthey, Habermas melihat memahami sebagai proses epistemis, tetapi lewat Gadamer, ia menempatkan proses epistemis itu dalam konteks yang lebih luas yaitu komunikasi sosial sehari-hari.

Memahami beroperasi di dalam komunikasi sehari-hari. Di dalam konteks ini kerap terjadi gangguan-gangguan komunikasi atau apa yang disebutnya komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Memahami partner komunikasi berarti berupaya untuk menangkap kendala-kendala komunikasi yang menyebabkan kesepahaman sulit dicapai. Praktik kritik ideologi dan psikoanalisis memperlihatkan bagaimana memahami merupakan sebuah jerih payah untuk membebaskan partner yang mengalami distorsi sistematis dalam komunikasi.

Berhadapan dengan masalah radikalisme, kita semua harus bisa menjadi partner dari kelompok radikalis. Partner yang dimaksudkan di sini bukan berarti partner yang membantu kelompok radikalis dalam melancarkan aksinya, melainkan partner dalam konsep Habermas di atas, yaitu partner yang membantu mereka agar terbebas dari komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Kita perlu berdialog dengan kelompok radikalis dan membantu mereka memahami doktrin religius mereka dengan nalar yang sehat dan kritis. Dengan itu, masalah radikalisme dapat dijauhkan dari kehidupan masyarakat.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan