kani-kosen

Revolusi dalam Kani Kosen

Oleh Budiawan Dwi Santoso

Novel Kani Kosen : Sebuah Revolusi (2013) garapan Kobayashi Takiji. Dalam novel ini, pembaca mendapati kisah kehidupan para nelayan dan buruh pengolahan kepiting di dalam sebuah kapal Kani Kosen—kapal pengolah kepiting kalengan—yang berlayar di perairan Kamchatka. Selain mereka, ada orang-orang yang dianggap penting dalam kapal tersebut, yakni nakhoda kapal, kepala kelasi, mandor kapal, dan kapten kapal—yang sikap dan perilakunya layaknya seorang jenderal.

Di kapal Kani Kosen ini, para nelayan dan buruh sudah seperti ikan-ikan hasil tangkapan yang ditumpuk begitu saja. Dan, setiap pekerjaan dalam kapal tersebut selesai, mereka semua kembali ke dalam ruangan—yang kerap disebut sebagai ‘pispot kotoran’—dengan beraturan. Ini cukup mengerikan. Apalagi, jika mengetahui sikap mandor kapal bernama Asakawa, yang sering bersikap kasar, penuh amarah, dan otoriter.

Bagi Asakawa ketika berada di hadapan mereka, pekerjaan yang dilakukan para nelayan dan buruh pengolah kepiting ini “…bukanlah sekadar pekerjaan untuk memakmurkan sebuah perusahaan tetapi sebuah hal yang besar dalam hubungannya dengan negara lain.” Asakawa pun melanjutkan, “Dengan kapal ini kita buktikan; apakah kita, warga negara kekaisaran Jepang yang hebat ataukah orang-orang Rusia itu yang hebat—dimana, kapal Kani Kosen ini beroperasinya hampir sampai berada dalam kawasan laut Rusia. Ingat… kita di sini ada di garis depan pertempuran!” (hlm. 21).

Bagi pembaca, apa yang disuarakan oleh si mandor Asakawa, merupakan sikap licik, licin, dan penuh kepura-puraan. Ia kerap mencoba membangkitkan semangat pada para awak kapalnya untuk terus bekerja keras, yang sebenarnya sudah seperti kerja rodi, dengan mengaitkan semua pekerjaan itu “untuk Kerajaan Jepang.” Padahal, pada realitasnya, uang yang dihasilkan oleh kapal Kani Kosen, pada akhirnya masuk ke kantong si mandor saja. Bahkan lebih dari itu, si mandor sambil mengendarai mobilnya kadang-kadang berpikir ingin mencalonkan diri jadi anggota dewan, hanya untuk mendapatkan uang yang lebih stabil (hlm. 47).

Peristiwa itu menjadi faktor utama penyulut terjadinya pemberontakan yang dilakukan para nelayan dan buruh. Dari segala sikap dan perilaku si mandor kapal justru membuat sadar mereka bahwa ada ‘kekuatan dari dalam diri’ untuk melawan penindasan. Apa yang dialami dan kemudian dilakukan oleh mereka ‘bagaikan ulat akan menjadi kupu-kupu.’ Mereka yang tak tahu tentang organisasi, tiba-tiba mulai tahu cara berorganisasi dan mengorganisir apa yang menjadi tujuannya. Para nelayan mulai membagi menjadi tiga kelompok kecil dan melakukan ‘propaganda komunis’ lewat pamflet yang disebar dan dibagikan. Isinya berupa masalah upah, jam kerja, serta profil semua perusahaan-perusahaan besar (hlm. 146-149). Pemogokan dan perlawanan dari mereka pun terjadi.

Menurut Ketut Surajaya, pengantar novel ini, Kani Kosen merepresentasikan tentang Jepang dalam kurun waktu tahun 1920-an yang mengalami suasana zaman ketegangan antara kelompok sosial miskin versus kelompok sosial berada, ekonomi kapitalis versus ekonomi terpuruk, kelompok politik fasistis militeristis versus kelompok politik proletariat. Kaum majikan borjuis versus kaum pekerja.

Maka, tak salah bila novel garapan Kobayashi Takiji (1903-1933) ini dinyatakan sebagai salah satu karya klasik kesusastraan proletariat Jepang yang mengangkat secara lugas perlawanan rakyat miskin (pekerja) melawan kapitalis. Novel ini begitu konstruktif dan subversif.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan