ruang-berpikir-bagi-remaja

Ruang Berpikir Bagi Remaja Kita

Remaja, memang identik dengan yang mengejutkan, tak terduga. Dalam tahapan ini, orang berada di tapal batas. Ia berada di sebuah wilayah yang penuh singgungan, antara matang, dan belum matang. Tapi disanalah terletak yang autentik. Begitupula saat kita menemukan curahan atau catatan dari seorang remaja bernama Asa Firda Inayah (AFI). Remaja ini sontak menjadi sorotan media dan juga publik saat menuliskan catatan di facebook bertajuk Warisan. Kontroversi pun muncul, ada dugaan plagiat di tulisannya, hingga tuduhan yang sepertinya tak berhenti sampai sekarang.

Koran Tempo edisi Akhir pekan edisi (10-11) juni 2017 membeberkan profil singkat gadis remaja ini. Konon, ia bertekad untuk terus membaca dan menulis. Langkah Tempo Institute di sini memang patut ditiru bagi orang dewasa lain ketika menanggapi AFI. Cara seperti itulah yang sebenarnya kelak akan menguji gagasan atau pikiran remaja tersebut asli atau plagiat.

Tapi, Asa Firda Inayah adalah yang langka, unik. Ada dorongan yang kuat dari dalam dirinya untuk terus belajar. Saat di SMP Negeri 1 Genteng, ia memberikan pengakuan bahwa buku-buku di perpustakaan banyak, tapi guru tak memberikan dorongan untuk membaca buku. Ada yang ironi dari dunia sekolah kita. Buku-buku tak mampu memikat lebih lanjut orang untuk menjadi pembaca yang baik. Sekolah dengan bejubel buku tak menjamin melahirkan seorang intelektual tanpa didukung guru yang baik yang terus memberikan teladan dan dorongan. Sekolah mana yang percaya prestasi bisa dibangun tanpa perpustakaan yang memadai? Meski demikian, banyak para warga sekolah percaya, sekolah yang baik bisa dibangun tanpa perpustakaan. Sebab yang menonjol dan dianggap bagus oleh kebanyakan masyarakat kita adalah prestasi, bukan seberapa banyak buku yang kita baca.

Kita tak hendak menguliti persoalan sekolah dan pendidikan kita yang tak habis-habis. Tapi kita hendak memerkarakan gagasan Asa Firda Inayah (AFI). Gadis belia ini boleh saja bergembira ketika disambut dengan gempita oleh berbagai kalangan hingga presiden. Tapi bila kita tilik apa yang menjadi gagasan AFI seolah memang sudah menjadi gagasan yang jamak di negeri kita. Apa yang membedakannya?, yang membedakan adalah ia dilontarkan oleh seorang remaja, seorang gadis belia yang baru keluar dari masa sekolahnya di SMA.
Pertama dari sisi ruang, ruang di media sosial memang menjadi tempat yang paling nyaman atau enak untuk menuliskan sesuatu hal. Di facebook, yang menjadi editor, sekaligus penulis adalah kita sendiri, dan penanggungjawab dari tulisan adalah kita sendiri. Dari sisi ini, berbeda ketika tulisan kita dikirim ke koran dan mengalami proses seleksi redaksi. Saat ada seleksi redaksi itulah gagasan kita setidaknya merupakan gagasan yang dianggap layak dibaca publik. Artinya, di dunia maya, uji kelayakan akan gagasan itu belum sepenuhnya meyakinkan. Selain itu, komentar di facebook tak lebih banyak dan kurang memadai, orang cenderung berkomentar sedikit, dan malas melontarkan gagasan yang cukup panjang di facebook.

Kedua, dari sisi pertanggungjawaban pribadi. Meski di media sosial, facebook merupakan media pribadi, yang menuntut tanggungjawab pribadi. Meski menulis di facebook, AFI sendiri merasa mendapat tanggapan yang cukup banyak mengenai tulisannya. Disanalah AFI beradu, serta diuji gagasannya. Tentu saja sebagai remaja, kita tak bisa sepenuhnya memintanya menanggapi layaknya mahasiswa. Tapi dari sisi keaslian gagasan inilah yang kemudian mencuat. Bila AFI sendiri saat diwawancarai Tempo (11-12/6/17) cenderung tak mengungkapkan secara terang perihal dugaan plagiarismenya, maka untuk membuktikan apakah AFI bisa menulis atau tidak adalah menunggu tulisan AFI berikutnya untuk dikirim ke koran.

Ketiga, adalah persoalan guru. Sehebat apapun AFI, tentu ia punya guru. Dalam tradisi jawa, seorang murid yang baik, tentu tak melupakan gurunya. Dalam hal menulis, demikian halnya. Bila AFI memang terbiasa menulis, tentu ia punya guru. Setidaknya guru bahasa indonesianya, yang memberikan kesaksian mengenai AFI. Sayang, sampai sekarang, kita justru terpaku pada sosok AFI yang mencuat begitu cepat hingga lupa melacak siapa guru atau sosok dibalik gagasan yang ia lontarkan.

Persoalan Ruang

Apa yang terjadi pada AFI sendiri seolah merupakan gebrakan, atau sindiran. Mengapa orang dewasa menjadi begitu resah, goyah saat ada seorang remaja yang dulunya tak pernah muncul sekarang mencuat bagai seorang pemikir baru?. Bahkan hanya melalui media sosial, suaranya didengar sampai presiden.

Disinilah sebenarnya era kompetisi tak mengenal batas. Semua memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi yang terdepan. Barangkali karena penulisnya seorang remaja yang baru belasan tahun itulah, kita jadi merasa ada yang membuat kita sontak terkejut. Tapi disisi lain, ada masyarakat yang seperti mendiamkan atau tak mau tahu soal AFI. Sebab apa yang ia lontarkan sebenarnya memang menjadi realitas masa lampau bagaimana perbedaan agama mesti disikapi secara bijak.

Menyikapi gagasan yang dilontarkan AFI, sebenarnya persoalan yang mendesak berikutnya adalah bagaimana memberikan ruang atau tempat bagi gagasan remaja kita. Bila pada kenyataannya sekolah tak memberikan ruang memadai bagi tumbuhnya pemikiran kritis. Bahkan kampus sendiri, saya rasa belum sepenuhnya memberikan ruang bagi pemikiran kritis.

Jangan sampai ke depan, remaja kita yang lain hanya berhenti di facebook, mereka perlu diberi ruang berkreasi, ruang berfikir, agar kelak kritisismenya terwadahi dengan baik. Tentu saja kita tak asing dengan remaja-remaja kita meski usianya belia telah melanglang buana sampai di mancanegara. Dari pengalaman itu, mereka bisa menuliskan atau menuangkan gagasannya mengenai ide-idenya buat bangsa kita. Koran, majalah, atau media massa lain perlu kiranya memberikan ruang bagi pemikiran remaja kita. Bila gagasan atau pemikiran AFI tak diberi ruang, maka ia hanya menjadi tumbuh kemudian mati sia-sia, dan kita tak berharap yang demikian itu.

*) Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo, Pengasuh MIM PK Kartasura

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan