imagestt

Sahabat Semu

            Hal yang sangat membingungkan. Keringat dingin di setiap tubuhku hampir saja membanjir. Gadis itu benar-benar tidak ingin melakukan hal konyol semacam itu.

            Payah. Seperti di film-film saja. Batinnya bergulat saat itu. Orang belagu di depannya bersedekap menunggu jawaban. Tatapan sinisnya sempat terlontar. Tapi yang dialami gadis itu saat ini benar-benar gawat. Uang yang Vanya tawarkan sangat dibutuhkannya. Refleks, ia mengangguk.

            Tidak mungkin. Maaf Aya, aku terpaksa. Butiran air matanya sedikit keluar setelah Vanya pergi dari hadapannya. Misi buruk itu harus dimulai besok.

            Aya masih hanyut dalam bacaannya pagi itu. Olimpiade Sains Nasional Kimia yang sepekan lalu ia ikuti, sangat sukses ditaklukkan. Orang-orang pemberi selamat serta pujian itu tak digubrisnya. Yap, karena masih hanyut dalam bacaan.

            Ana yang sedari tadi memerhatikan, tidak ingin menunggu lagi. Sentuhan lembut di pundak Aya, Ana berikan. Tatapan tajam sebagai balasan.

            “Ada apa?”sahut Aya datar.

            “Tidak. Aku hanya ingin mengajakmu ke kantin. Mau ikut?”ajak Ana, matanya lenyap saat senyumannya datang. Aya kembali ke bacaannya. Tidak peduli.

            Baiklah. Jawaban minus. Dingin sekali anak ini. Biarkanlah. Ana mengangkat bahunya pasrah. Setelah beberapa detik, meja Aya yang tidak jauh dari pintu sudah Ana lewati. Aya terlihat sedikit cemas. Ia langsung berdiri dan berlari menyejajarkan langkah dengan Ana.

            “Hei, aku ikut! Cepat sekali kau pergi.”gerutunya. bibir mungilnya mengerucut gemas seperti gadis-gadis Jepang yang manja.

            “Lama sekali kau berpikir. Kukira orang cerdas sepertimu bisa berpikir secepat kilat. Ternyata lebih lama, ya?!”goda Ana menyeringai lebar.

            “Eits,”alisnya sedikit mengangkat. “Bukan seperti itu.”sanggahnya dengan volume lebih kecil.

            “Tidak, aku hanya bercanda.”ujar Ana menepuk lembut pundak Aya. Sunggingan manis terbit di wajah Aya. “Cepat! Bel masuk sebentar lagi.”Aya mempercepat langkahnya.

            Ana terkejut melihat gadis imut yang sudah berdiri di depan mejanya. Hari ini, ia mengajak Ana pulang bersama.

            “Kau mengajakku? Waw, apa aku harus mencatatnya di buku harianku?”candanya berjalan keluar kelas.

            “Haha.. menggelikan. Tidak perlu.”tanggap Aya disertai tawa kecil.

            “Oya, kau penggemar negara Jepang, ya?!”tebak Ana menunjuk.

            “Hae, bagaimana kau tahu?”matanya terbelalak. Ana tak membalas.

            Berbagai macam candaan berjalan dengan baik. Membuat Aya menjadi lebih santai dan terbuka. Juga menyukseskan misi buruk. Hal konyol yang memberatkan itu kembali teringat.

            Perempatan di depan terpaksa menjadi pemisah. Rumah Ana di arah kiri. Aya sebaliknya.

            “Jumpa lagi esok!”pamit Ana yang dibalas dengan anggukan Aya.

Hari demi hari berlalu. Karakter Aya semakin bisa Ana baca. Rasa takut terus menghantui. Ia menyesal. Seharusnya ia tak menerima sodoran uang Vanya itu.

            Aya sudah banyak mengalami perubahan. Sikap dinginnya perlahan berganti. Wajah (masih) imutnya itu sangat mendukung terbentuknya karakter lucu ala Jepang. Kecintaannya pada anime –kartun Jepang- pasti jadi poin penting bagi Vanya untuk menghancurkan gadis imut itu. Ana semakin bingung harus berpihak pada siapa. Vanya bilang akan menghampirinya waktu istirahat tiba.

            Ana bergegas pergi saat bel selesai bordering. Entah kemana tujuannya. Aya dengan napas memburu, mengejar Ana. Pintu perpustakaan terlihat saat itu. Tanpa berpikir panjang, Ana berusaha memutar gagangnya. Sebuah tarikan Anna dapatkan sebelum pintu itu terbuka. Ana tahu siapa pelakunya, Aya.

            “Cukup! Jangan ikuti aku untuk saat ini!”hentakan keras itu membuat Aya tersentak dan mendesak mata indah itu untuk berkaca-kaca. Cengkraman yang diberikannya refleks terlepas bersamaan dengan bentakan.

            “Hei, ada apa denganmu?”protesnya melangkah pergi membiarkan Ana sendiri. Tidak peduli dengan Aya, Ana melangkah masuk menuju perpustakaan. Menjernihkan pikirannya. Bersembunyi dari Vanya dan berusaha memustuskan akan seperti apa jadinya.

            “Baiklah, ini keputusanku. Maaf.”ujarnya berdiri dari kursi. Meninggalkan ruang banjir buku itu dan kembali ke kelas setelah memastikan keadaan ‘mencekam’ telah stabil.

            Tanpa menunggu Aya, Ana beranjak dari kursinya, keluar kelas, setelah bel pulang sekolah yang memekakkan telinga siapa pun yang mendengarnya.

            “Jangan ikuti aku!”pintanya saat menyadari Aya membuntut. Aya terdiam sejenak.

            Hei, apa salahku? Protes Aya dalam diam, tidak terima.

            Ana berjalan lurus setelah perempatan ia jumpai. Ke rumah Vanya, bukan ke rumahnya. Menjalankan misi buruk yang selama ini tak pernah ia sukai. Apalagi, semakin hari ia semakin menganggap Aya sebagai teman yang baik.

            Vanya sudah terlihat tidak jauh dari tempat Ana berdiri. Sekelilingnya jadi menyeramkan karena perasaan tak lezat yang Ana rasakan.

            “Kemana saja kau? Menyusahkan.”komentar Vanya ketus. Ketusan itu tidak Ana gubris. Diam. Bersiap-siap merobek bibir.

            Maaf.

            “Baiklah, ini dia. Aya itu otakku –pecinta anime-. Mudah menangis. Mudah marah. Sifat kekanakannya sepeti gadis Jepang di anime. Tidak pandai bergaul. Suaranya juga tidak begitu..”

            “Hei, maaf?”Ana terkejut melihat si pemilik suara, Aya. Pipi kemerahannya benar-benar terhujani.

            “Aya, maaf. Ibuku masuk rumah sakit dan membutuhkan biaya yang banyak. Ayah Vanya membayar biaya pengobatan dan rawat inap dengan syarat..”

            “Dengan syarat membongkar kelemahanku?!”emosinya membludag saat itu. Amarah terbesar yang pernah Ana lihat.

            “Dengar! Tidak ada yang gratis di dunia ini sekarang. Biaya pengobatan rumah sakit itu besar. Ayahku baru saja meninggal, aku tidak ingin kehilangan lagi. Kita tidak bisa hidup tanpa uang, Ya!”Ana tak kalah membludag. Volumenya setinggi tiang listrik depan rumah.

            “Oke.”masih bersama air matanya, Aya memutuskan pergi.

            “Kerja bagus, Ana. Lanjutkan!”Vanya merasa kagum atas apa yang telah Ana lakukan.

            “Tidak. Cukup sampai disini. Terima kasih untuk semuanya. Kalian baik sekali. Hanya dengan satu syarat ringan, aku terbantu. Tapi maaf, aku tidak bisa lagi memenuhi syarat.”Vanya sedikit terkejut mendengar yang baru saja Ana katakan. “Kuberi tahu. Kelemahan Aya memang seperti itu adanya. Tapi kelebihannya terlihat jauh lebih banyak kalau kau benar-benar mendalami. Dia cantik, pipi kemerahannya tidak pernah membuat siapa pun bosan. Dia pintar, sampai-sampai OSN Kimia bisa ia takluki. Dia memang otaku, tapi jangan salah, bahasa Jepang hampir ia kuasai. Masih banyak lagi. Perlu aku sebutkan semuanya?”

            “HEI, cukup! Baiklah sampai disini.”putus Vanya meninggalkan tamunya-Ana-.

            “Oke, sampai jumpa!”

            Ana tidak menyangka Aya benar-benar membuntutinya, seperti anak bebek yang mengekor induknya. Juga kata-kata buruk yang membuatnya sangat menyesal.

            Mulai hari ini, uang keluarga Vanya tidak mengalir lagi dalam hidup Ana. Harus bisa mengais uang dengan cara yang benar. Tidak lagi seperti yang pernah dilakukan.

            Administrasi rumah sakit sudah menunggu. Ana menghampiri dengan langkah perlahan. Hanya uang tabungan yang selama tiga tahun ia simpan ini yang menjadi satu-satunya jalan untuk sekarang. Mencuri tidak mungkin ia lakukan. Uang dari kerja sampingan juga tidak secepat kilat bisa didapatkan dalam waktu singkat.

            “Permisi, saya ingin membayar biaya pengobatan Ibu Sekar.”sapanya sopan.

            “Tunggu sebentar ya,”suster itu membolak-balikkan kertas berkas ibu Sekar, ibu Ana. “Oh, sudah lunas semuanya, mba.”lanjut suster itu.

            “He? Yang benar, mba?”anggukan lembut Ana dapatkan. Selembar amplop surat yang suster sodorkan mendarat tepat di depan wajahnya. Segera ia terima dan lekas pergi.

            Surat dari si pembayar? Waw, seperti di film-film lagi. Duniaku penuh dengan drama, ya?! Haha..

            Amplop yang terkunci itu perlahan Ana buka. Sedikit sobekan kertasnya tidak membuyarkan isi surat. Tulisan rapi yang diamatinya terasa sangat ia kenal. Berpikir keras. Meneliti tiap-tiap huruf yang terukir. Memastikan tebakannya tak salah dan akhirnya ia yakin siapa pelakunya saat matanya beralih ke alinea terakhir.

            ‘Kita tidak bisa hidup tanpa uang’, kau benar. Aku setuju. Tapi, kebahagiaan hakiki itu tidak hanya didapatkan dengan uang. ‘Tidak ada yang gratis di dunia ini’, kau benar. Aku juga mengakui itu. Tapi, sekali lagi, kebahagiaan hakiki itu tidak selalu dibayar dengan uang, sebab uang bukanlah tolak ukur baginya. Kuberi tahu, uang itu bukanlah segalanya. Terima kasih

Aya

‘Uang bukanlah segalanya’, dia benar.[]

sumber ilustrasi: bercintaselepasnikah.my

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan