cerita-rakyat-sangkuriang

Sangkuriang vs Malin Kundang

Berita Buku – Dalam prosa cerita rakyat, sebagai bagian dari folklore, ditemukan tipe cerita yang menunjukkan relasi ketakpatutan anak terhadap ibunya. Tentu saja, tipe cerita ini bukan tipe cerita yang sudah dikodifikasi para ahli folklore, tetapi sekadar cara bagi saya untuk mempermudah kesalingpahaman kita terhadap tema yang akan saya bicarakan di bawah ini. Yang saya maksud dengan relasi ketakpatutan anak-ibu adalah hubungan yang ditunjukkan oleh perilaku atau tindakan yang secara moral dianggap tak pantas dilakukan oleh seorang anak terhadap ibunya. Perilaku yang dianggap tak pantas secara moral, misalnya, sikap durhaka kepada ibu dan menginginkan hubungan terlarang (incest) dengan ibunya. Untuk kasus pertama, anak yang durhaka kepada ibunya dicontohkan pada cerita rakyat Malin Kundang, sedangkan untuk yang kedua, contohnya adalah Sangkuriang. Tapi, yang ingin saya bahas adalah sejauh mana ketakpatutan itu mendapat respons dari masyarakat yang menjadi tempat berkembang dan terpeliharanya cerita rakyat tersebut. Ketaksukaan terhadap tokoh utama? Atau, bagaimana? Mengapa pada satu cerita rakyat, sang tokoh begitu tak disukai, malahan dibenci oleh masyarakatnya, sedangkan tokoh lain—tentu saja di masyarakat lainnya—tidak dibenci, bahkan memperoleh sedikit citra atau kesan positif.

Dengan mengomparasikan tokoh Sangkuriang dan Malin Kundang, kita dapatkan respons yang berbeda sebagaimana saya maksudkan di atas. Menurut saya, ada citraan positif pada masyarakat Sunda terhadap tokoh Sangkuriang. Terbukti, misalnya, dengan adanya sebutan “Bumi Sangkuriang” yang diberikan orang Sunda terhadap tatar Pasundan, sebagai ungkapan kebanggaan. Sebaliknya, citraan negatif begitu melekat pada masyarakat Sumatra Barat terhadap tokoh Malin Kundang. Beberapa informan yang saya tanyakan tentang kesannya terhadap tokoh Malin Kundang, semua mengungkapkan bahwa perilaku Malin Kundang adalah perilaku yang sangat tidak pantas dan menganggap cerita tersebut mengandung ajaran penting tentang kewajiban menghormati ibu.

Apabila kita cermati ceritanya, ada penilaian yang menganggap bahwa perilaku Sangkuring lebih tak pantas dibandingkan Malin Kundang. Konon, pada Sangkuriang terdapat dua kesalahan, yaitu (1) tidak mengakui Dayang Sumbi sebagai ibunya, dan (2) bahkan, berniat menikahi ibunya sendiri. Sebaliknya, si Malin hanya melakukan satu kesalahan: tidak mengakui ibunya. Namun, tentu saja ini bukan hitung-hitungan kuantitatif, tetapi harus dicari alasan kuatnya mengapa terjadi beda tanggapan seperti itu.

Alasan pertama adalah ada pada cerita itu sendiri. Sangkuriang masih kecil ketika diusir ibunya, Dayang Sumbi. Ia pun berkelana sangat lama sebab dimulai saat dia kecil dan kembali ke kampung halamannya saat dia sudah dewasa. Sebab itu, wajarlah jika ia tidak mengenali lagi ibunya. Apalagi dia memperkirakan bahwa ibunya pasti sudah tua, tetapi ternyata Dayang Sumbi tetap muda. Selain itu, Sangkuriang tidak pernah beniat kembali ke kampung halamannya. Bertolak belakang dengan Sangkuriang, saat menginjak remaja, dengan kesadarannya sendiri, Malin Kundang pamit kepada ibunya untuk merantau. Lamanya Malin merantau hanya beberapa tahun saja. Ketika ia memutuskan untuk ke kampung halamannya dan menyandarkan kapalnya di pantai di kampung halamannya, banyak orang yang mengenalinya. Ibunya pun tahu “kedatangan” putra kesayangannya itu dari kabar orang lain. Artinya, Sangkuriang benar-benar tidak mengenali ibunya, sedangkan Malin berpura-pura tidak mengenali ibunya. Sebetulnya, alasan ini bisa menjelaskan perbedaan respons masyarakat terhadap kedua tokoh tersebut.

Kedua, dengan membandingkan sistem kekeluarga yang berlaku pada kedua masyarakat pendukung prosa itu, dapat diketahui bahwa kedua masyarakatnya menganut sistem kekeluargaan yang berbeda. Pada masyarakat Sunda berlaku sistem patrilineal, sebaliknya pada masyarakat Minang berlaku sistem matrilineal. Patrilineal mengatur alur keturunan melalui jalur ayah, sedangkan matrilineal melalui jalur ibu. Menurut saya, sistem keturunan itu berpengaruh terhadap respons kedua masyarakat terhadap tokoh cerita. Orang Minang yang menganut matrilineal mungkin menempatkan posisi Ibu pada kedudukan yang luar biasa sehingga perilaku-perilaku yang tak pantas terhadap Ibu dianggap kejahatan yang luar biasa, yang tak termaafkan. Sebab itu, bisa dimaklumi jika Malin Kundang sama sekali kurang mendapat respons positif dari masyarakat Minang. Namun, simpulan yang sangat keliru jika menganggap orang Sunda kurang menghormati Ibu sebab menganut patrilineal.

Wallahu a’lam

Mampang Prapatan, 22 Juni 2015

, ,

Satu tanggapan ke Sangkuriang vs Malin Kundang

  1. 106930947625845318672 6 Desember 2021 pada 04:34 #

    Sangat membantu, terima kasih.

Tinggalkan Balasan