sekularisasi-bahasa

Sekularisasi Gaya Berbahasa Kita

Sekularisasi merupakan sebuah gejala sosial yang berdampak signifikan pada pola relasi dan interaksi sosial. Sekularisasi berkemampuan menggeser nilai yang berlaku dalam struktur masyarakat. Ini jelas terlihat dari perubahan pola bermasyarakat sehari-hari.

Proses Sekularisasi

Secara etimologi, sekularisasi berasal dari kata Latin saeculum yang berarti sebuah masa atau zaman (an age). Harafiahnya, sekularisasi diartikan sebagai proses perpindahan paradigma. Umumnya, sekularisasi diartikan sebagai (tindakan) proses yang tidak berpusat lagi pada agama. Sekularisasi seolah diterjemahkan perpindahan nilai dari yang sakral (kudus) kepada yang profan (duniawi ).

Definisi ini sebenarnya terlalu sederhana. Para sosiolog meluaskan perspektif, bukan hanya agama yang digeser dari sekularisme, tapi budaya juga. Agama memang salah satu unsur pembentuk sebuah kebudayaan, tetapi kebudayaan jauh lebih besar dari agama. Budaya lebih luas karena mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia, seperti; sastra, filsafat, kesenian, perilaku ekonomi, dan (ber)bahasa.

Globalisasi akar dari sekularisasi. Globalisasi, sederhananya diartikan sebagai penghapusan batas-batas wilayah yang ada. Batas-batas dunia dihilangkan. Jarak diperpendek. Ruang dilipat.

Globalisasi dipicu aktifitas ekonomi yang tidak terkekang. Dia bergerak liar atas nama pasar bebas. Ini memecah tembok-tembok pemisah antar wilayah. Ditambah lagi, globalisasi ditopang  teknologi sebagai instrumen efektif memecah batas-batas geografis yang ada.

Ancaman Sekularisasi Terhadap Kebudayaan

Semua wacana ini akhirnya berujung pada pembentukan identitas. Identitas bukan sesuatu yang ajek. Dia bisa berubah. Manuel Castells dalam bukunya, ”The Power of Identity” menyebutkan bahwa identitas dibentuk oleh institusi dominan. Dia adalah aktor yang menginternalisasi ide, gagasan, dan pemikiran kepada seseorang (personal atau komunal). Orang yang diinternalisasi akan memaknai konsep-konsep yang diterimanya sebagai bagian dari identitasnya. Institusi dominan ini bisa muncul dari keluarga, lembaga agama, atau negara. Dalam perkembangan lanjutan, Castells menyebutkan jejaring sosial bisa juga mengambil peran sebagai aktor internalisasi tersebut.

Teknologi internet membuat dunia menjadi kecil. Dari benda kecil bernama ponsel, kita sudah bisa mengakses informasi dari belahan dunia mana saja. Pertukaran informasi yang cepat, mudah, dan instan membuat proses pertukaran nilai antar daerah, negara, dan benua menjadi memungkinkan. Pertukaran informasi inilah yang menyebabkan pergeseran budaya. Sekularisasi pun tercipta.

Budaya kebarat-baratan merupakan sebuah produk dari sekularisasi. Lihatlah gaya bahasa ”gado-gado” masyarakat kelas menengah kita. Bahasa Indonesia dicampur bahasa Inggris dengan tata bahasa yang tak jelas pula. Beberapa pengamat menyebut fenomena ini sebagai budaya nginggris. Seolah, semakin nginggris, jadi semakin pintar.

Bahasa bukan saja berguna sebagai alat komunikasi. Dia adalah identitas. Selama penjajahan, identitas kita sebagai Indonesia terkikis habis. Identitas kabur itu membuat persatuan dan kesatuan menjadi sesuatu yang mustahil diwujudkan. Kala itu, kita korban politik devide et impera penjajah. Retaknya kesatuan bangsa itu semakin melanggengkan penjajahan bumi Indonesia. Untuk itulah Sumpah Pemuda 1928 dikumandangkan. Identitas menjadi kekuatan khas untuk melawan.

Warisan itu kini sudah hilang. Bahasa Indonesia sebagai pemersatu dianggap tidak lagi signifikan. Prinsipnya, ”If you know what I maksud, everything is beres.” Bahasa direduksi hanya pada kegunaannya. Identitas dipinggirkan – dianggap tidak perlu.

Sering pula, budaya nginggris itu dijadikan bukti modernitas. Semakin nginggris, seolah semakin maju pula peradaban. Padahal, itu bukan cermin kemajuan. Sebaliknya, itu tanda tercerabutnya akar identitasnya. Itu bukti sah retaknya mentalitas, rapuhnya citra diri, dan miskinnya kebanggaan pribadi. Nilai dirinya dibangun dari luar, bukan dari sebuah refleksi dan pencarian dari dalam.

Kondisi ini diperparah pula oleh tayangan sinetron. Tidak jarang  tayangan itu menunjukkan bahwa tokoh kampungan memainkan peran dengan logat bahasa dari etnis tertentu. Semakin kental logat bahasanya, semakin kampungan dia terlihat. Tidak mengherankan, dalam pergaulan sesehari, kita sering tertawa mendengar seseorang bicara dengan logat kental bahasa daerahnya. Tawa kita seolah mengejek betapa kampungannya dia.

Disadari atau tidak, pemujaan kita pada budaya nginggris merupakan bahaya laten kebudayaan. Situasi ini adalah ancaman terhadap nasionalisme. Rasa bangga pada bangsa sendiri terkikis karena menganggap budaya lain superior. Dan disaat yang sama sekaligus menunjukkan inferioritas. Ironisnya, kekerdilan itu dipertontonkan dengan rasa bangga.

Kondisi seperti ini membuat kita mempertanyakan lagi apa itu arti merdeka. Para ahli menyebut neo-liberalisme ekonomi menjajah kita. Rakyat miskin dan melarat. Ternyata, penjajahan secara ekonomi bukanlah satu-satunya penjajahan yang kita hadapi. Telah ditunjukkan sebelumnya, ternyata kita pun terjajah secara budaya. Kebudayaan kita digerus oleh arus sekularisasi. Identitas kebudayaan kita tertunduk malu dihadapan hegemoni budaya barat.

Saran

Ini sebuah situasi yang tidak bisa dibiarkan. Indonesia bisa hilang dari masa depan jika ini diteruskan. Sekularisasi memang sebuah fakta yang tak bisa dihindari. Bahaya besar yang dihadirkannya bukan hanya berpotensi merusak identitas, tapi struktur-struktur tradisional yang merupakan dasar kebangsaan.

Kenneth B. Pyle, dalam buku ”Generasi Baru Zaman Meiji” bercerita bagaimana pergumulan orang Jepang bergulat dengan budaya barat. Dari buku itu, setidaknya ada empat hal yang bisa dipelajari dari pengalaman Jepang berkenaan dengan persinggungan mereka dengan budaya barat.

Pertama, menegakkan kembali fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan yang paling awal. Jepang dalam tradisi Tokugawa, menempatkan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang menegakkan nilai-nilai tradisional, kebudayaan, dan kebangsaan. Sejak kedatangan Commodore Perry (1853) krisis politik yang mendera merembes pada krisis kebudayaan Jepang yang ditandai berakhirnya zaman Tokugawa. Relasi dalam keluarga adalah salah satu lembaga yang dirusak oleh krisis. Akibatnya pendidikan tentang jati diri pun terbengkalai.

Fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan harus dikembalikan karena inilah garda terdepan untuk melawan penjajahan kebudayaan.

Kedua, sekolah harus mendidik karakter kebangsaan. Sekolah tidak saja hanya mengisi siswa dengan seperangkat pengetahuan kognitif, tapi juga memperlengkapi mereka dengan identitas keindonesiaan. Siswa harus dididik berperilaku dengan budaya, bahasa, dan perilaku Indonesia. Sekolah harus melawan balik budaya kebarat-baratan yang diterima dari sekularisasi. Sekolah harus menunjukkan kepada siswa betapa agung dan luhur kebudayaan kita sendiri. Sekolah harus berperan aktif sebagai filter dari kebudayaan yang masuk dari banyak pintu.

Ketiga, orang Jepang, dalam penelitian Pyle, mengembangkan budaya korespondensi diantara para intelektualnya di media massa. Para intelektual Jepang beradu ide dan gagasan untuk mengatasi penjajahan budaya yang sedang mereka hadapi. Banyaknya argumen yang muncul, mulai dari tinjauan filosofis sampai historis, membantu rakyat Jepang dalam menganalisa persoalan dan mencari solusinya.

Keempat, berdikari secara ekonomi. Sekularisasi diawali oleh pasar bebas. Kepentingan ekonomilah yang menjadi pintu pertama pertukaran informasi dan nilai kebudayaan. Untuk mengatasi ini, mau-tidak-mau, kita harus berusaha untuk maju secara ekonomi. Kemandirian kita secara ekonomi akan menuntun kita pada kemandirian secara budaya. Selama kita membiarkan diri dijajah secara ekonomi, selama itu jugalah kita akan terjajah juga secara budaya. Disaat itulah, pelan tapi pasti, identitas kita juga akan terkikis. Bukankah itu sama saja kita kehilangan (lagi) kemerdekaan?

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan