IMG_20170304_170152

Selendang Cinta Ainun

Jarum jam sudah melewati angka dua belas pada malam itu. Tapi rasa kantuk rupanya belum bermain di mata Labib, lelaki 35 tahun yang berprofesi sebagai PNS. Beberapa hentakan suara tokek yang dari tadi mengintip dari balik langit-langit kamar yang sedikit berlubang di bagian ujungnya seketika menyadarkan Labib dari sekian banyak lamunannya. Labib refleks menggelengkan kepalanya, menarik nafas dan kemudian mengusap wajahnya. Sejurus kemudian pandangannya menepi pada sebuah poto yang beberapa lama ini sengaja ia jauhi, tak di lihat tak di sentuh. Ada kerinduan yang semakin menelusuri setiap desiran darahnya, menembus hingga relung hati terdalam dan kemudian menjadi seperti mencekiknya karena rindu yang di ubun-ubun itu tak menemui tepian. Labib mengangkat poto itu dan mendekapnya. Perlahan suaranya lirih, mengucapkan nama yang sama yang hampir tiap hari di tasbihkannya, “Ainun…” Labib membungkukan bahunya pertanda bahwa dia sedang memeluk erat poto itu.

Perlahan telaga matanya tumpah, butiran bening menelusuri kulit pipinya. Rintihan tangis Labib mengalun tertahan bersama suara malam yang semakin sepi. Gemercik hujan dan samar lolongan anjing dari jauh membuat bulu kuduk merinding. Mungkin saja pada malam itu tidak ada orang yang merasakan suasana seperti itu karena semua tengah terlelap, kecuali Labib yang terjaga dengan isak tangisnya. Ya, pada saat itulah Labib merasa bahwa dia bukan seorang laki-laki. Sebab hanya wanita saja yang biasanya menangis cengeng semacam itu. Tapi Labib tidak peduli! Selagi dia tidak menangis, mengeluh, dan tidak membagi kedukaan hatinya kepada orang lain, maka selama itu pula dia adalah lelaki sejati. Biarlah tangisnya akan menjadi bagian dari malam-malamnya, dan biarlah poto Ainun saja yang akan menjadi saksi bisu atas kelemahannya. Labib menyeka air matanya, menyudahi kedukaannya. Dia beranjak meninggalkan kursi kerjanya di samping ranjang tidurnya yang usang, menaruh kembali poto Ainun ke tempat semula, tepat di sisi kiri laptop tuanya.

Beberapa cicak mondar-mandir di atas langit-langit kamar, menyaksikan Labib yang terlentang dengan kedua tangannya yang di angkat ke atas kepala yang jari-jarinya menyatu membentuk sebuah lingkaran. Matanya mengarah ke arah langit-langit kamar, tepat ke arah cicak-cicak tadi berada. Tapi sesungguhnya Labib tidak melihat apapun di langit-langit kamar itu, kecuali gambaran Ainun yang saban waktu di lihatnya sebagai bidadari syurga yang turun ke dunia untuknya. Labib menutup matanya perlahan, mencoba menjemput rasa kantuk yang nyaris hilang dari matanya. Hal terbaik yang harus dia lakukan untuk menghapus wajah Ainun dari pelupuk matanya adalah dengan tertidur. Tapi semakin dia menghindar semakin merajalela pula rindunya.

Labib mencoba cara lain, dia membalikan badannya ke arah  kiri. Dan pada saat itu dia melihat poto Ainun di meja kerjanya. Tak ingin rasa rindunya semakin menggila, Labib kemudian segera menghindari poto Ainun. Dia membiarkan tubuhnya tengkurap di atas kasur yang setengah keras itu.

Benar saja dengan posisi tidur terlentang separuh dari ingatan Labib telah menembus alam mimpi. Namun antara sadar dan tidak, tiba-tiba Labib mencium aroma khas yang tak asing lagi dari penciuman hidungnya. Aroma itu mengorek-ngorek lubang hidungnya hingga benar-benar membangunkan alam sadarnya.

Labib mengangkat wajahnya yang terbenam di atas bantal. Dia membalikan tubuhnya hingga kembali menghadap ke arah langit-langit rumah, posisinya sebelum dia setengah terlelap.

Aroma khas itu sedikit memudar tatkala dia terlentang. Tapi Labib merasa penasaran akan asal aroma harum itu. Dia bangkit dan mencari…dan dia merasa yakin bahwa itu berasal dari wangi khas apapun yang di kenakan Ainun: Baju, kerudung dan selendang. Tapi bukankah baju dan kerudung Ainun telah habis disedekahkan tepat di hari ke-7 kepulangannya ke alam baka? Labib menarik nafas dan mengusap wajah, mungkin itu hanya penciumannya saja yang ngawur. Tidak mungkin sesuatu yang telah pergi dari rumah itu setelah sekian lama masih meninggalkan aroma khasnya.

Jarum jam telah menunjukan angka dua. Labib berusaha memejamkan matanya, kali ini dia berharap agar dapat  tertidur hingga pagi nanti. Dia memiringkan badannya ke arah kiri, tampaklah poto Ainun yang manis di meja kerja samping ranjangnya. Dan pada saat itu semerbak aroma khas kembali mengusik hidungnya. Labib tidak ingin menghiraukan itu, dia berusaha membodohi diri sendiri bahwa dia tidak mencium aroma apapun. Kemudian Labib membenamkan wajahnya ke dalam bantal barangkali dengan begitu aroma khas itu tak lagi mengusik penciumannya. Namun, semakin dia bersembunyi di balik bantal semakin kuat pula aroma khas itu menusuk lubang hidungnya.

Kini Labib tidak dapat menyangkalnya bahwa ada rasa takut yang membuat bulu romanya berdiri. Tidak di sangka kerinduannya pada Ainun telah menghadirkan suasana mistis di kamarnya. Mungkinkah Ainun mendengar kata hatinya dan kini dia hadir disini? Bukankah aroma khas itu adalah bau parfum Ainun yang dulu sering di kenakannya?

Tidak, Labib tidak percaya itu! Bukankah seseorang yang telah tiada tidak mungkin kembali ke dunia? Jika memang kita melihat sesuatu yang menyerupainya niscaya itu adalah tipu daya syetan atau jin. Labib sangat yakin itu, dia berusaha meneguhkan iman bahwa wangi khas itu bukanlah pertanda bahwa adanya Ainun di sana. Sekalipun dia merindukan cinta sejatinya itu, tapi dia tidak akan pernah terperdaya oleh apapun.

Sekalipun Labib merasa ada hawa aneh di sekitarnya, dia yakin bahwa akan ada penjelasan logis dari hadirnya aroma parfum Ainun. Kepalanya yang terbenam ke dalam bantal kemudian sedikit di angkat, dan aroma parfum itu sedikit berkurang kekuatannya. Labib kemudian bangun dan duduk menjauhi bantalnya, maka aroma parfum itu semakin berkurang. Labib mengerutkan dahi, dia mulai menerka dari mana asal parfum itu dan dia mulai mencurigai sesuatu.

Dengan posisinya yang masih duduk di atas ranjang Labib memutar tubuhnya. Dia segera menggapai bantalnya dan menciumnya, dan pada saat itulah aroma parfum Ainun tercium kuat. Labib merasakan ada suatu ganjalan di dalam bantal itu. Dia mengerutkan dahi, Lalu tangan Labib perlahan menelusuri bagian dalam sarung bantal, dan di pojok kanannya Labib menemukan satu lipatan kain coklat muda.

” Ainun…” Mulut Labib lirih menyebut nama itu. Tangannya gemetar dan perlahan mendekap lipatan kain coklat itu. Wangi parfum Ainun rupanya tertanam pada kain tersebut, selendang kesayangan Ainun.

Bagaimana bisa dia tidak tahu kalau istrinya telah meninggalkan selendang kesayangannya di dalam bantal itu, bantal yang selama setahun ini tidak pernah di sentuh Labib oleh karena ketakutan akan rindunya yang akan semakin memuncak jika menyentuh barang-barang bekas istrinya.

Labib teringat akan satu perkataan Ainun beberapa hari sebelum kepergiannya, ” Akan ku simpan sesuatu untuk membuatmu selalu ingat padaku dan kau akan memimpikanku.”

Kali ini Labib mengetahui makna dari ucapan Ainun, bahwa selendang di dalam bantal itu yang akan membuatnya selalu merindukan dan memimpikan istrinya itu. Labib mencium lembut selendang itu, isak tangisnya pecah. Labib membiarkan dirinya tergeletak di atas ranjang kerasnya, ranjang yang selama setahun ini tidak pernah di pakainya untuk tidur. Ranjang yang dulu menjadi saksi cinta kasihnya bersama Ainun, ranjang yang menjadi saksi perjuangan Ainun dalam merasakan dahsyatnya sakaratul maut.

Alunan suara adzan subuh menembus gendang telinga Labib, mengalahkan bangsa syetan yang hendak kencing di dalamnya. Labib melawan rasa kantuknya dan bangun dengan mata sembab dan masih terasa perih, sisa tangisnya semalam. Apa yang terjadi semalam terasa mimpi, namun selendang dan harum parfum Ainun kini nyata dalam genggamannya. Labib menyimpan kembali lipatan selendang itu di dalam bantal, dan akan selalu begitu. Kemudian dia melangkah mengambil air wudhu, melaksanakan sholat lalu berkirim do’a buat sang istri.

Semua anak telah keluar dari kelas dua IPA itu. Tinggal Labib sang guru matematika yang masih berdiam di kelas, menahan dagunya dan melempar pandangan kosongnya ke arah bangku-bangku kelas.

Jam istirahat seperti ini adalah waktu yang tidak di sukainya, sebab pada saat itu seorang wanita akan datang mengantarkan makan siang untuknya, lalu mengajaknya makan bersama. Jika sedang berada di rumah maka wanita itu akan terus-terusan menelepon Labib bahkan datang berkunjung. Perjuangan wanita yang bernama Sri itu memang luar biasa. Menanti cintanya Labib jauh sebelum Labib menikah dengan Ainun. Sampai hari ini ketika Labib hidup dalam kesendirian, Sri tetap setia dengan perjuangannya mendapatkan cinta Labib.

Semakin Sri mendekat, semakin menjauh pula Labib darinya. Semakin besar perjuangan Sri, semakin besar pula cintanya Labib pada Ainun. Bukannya Labib tidak melihat ketulusan cinta Sri, tapi hatinya sungguh tidak dapat mengelak dari kesejatian cintanya pada Ainun. Bukan dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa istri tercintanya telah tiada, hanya saja dia merasa bahwa keterbukaan hatinya untuk wanita lain butuh waktu yang tak sedikit.

Cinta akan terasa manis jika ada penerimaan, namun akan terasa pahit tatkala adanya penolakan. Kepahitan itulah yang kini di rasakan Sri, kepahitan yang menumbuhkan benih-benih kebencian terhadap Labib.

Matahari baru saja melewati puncak teratasnya tatkala Sri datang ke rumah Labib.

” kenapa lama sekali pintunya di buka?!” Suara Sri lantang, membentak.

” Maaf.” Datar saja Labib menyahuti.

” Kembalikan semua yang telah ku beri!”

” Berapa kilogram beras, sayur, dan daging yang telah kau beri? Akan ku ganti.”

” Apa maksudmu?”

” Aku tidak pernah menerima apapun selain hantaran makan siang darimu.” Tenang sekali Labib berkata.

” Kau telah meremehkan kasih sayang dan kepedulianku!” Sri semakin marah, merasa tidak di anggap.

” Bukankah dari awal aku tidak pernah meminta itu, bahkan ku bilang jangan pernah berharap banyak dariku. Maaf!”

Sri hanya terdiam mendengar perkataan Labib, dia berusaha menahan amarah yang telah mencapai ubun-ubun. Dan di antara pandangannya dia melihat Labib tengah memegang selendang berwarna coklat dengan aroma parfum khas perempuan.

” Apa yang ada di tanganmu? Bukankah itu milik perempuan?”

” Pada saat kau kemari aku sedang merindui istriku, ini selendang miliknya.”

” Hanya sebuah selendang, banyak yang lebih baik diri ini.”

” Tapi tidak ada yang lebih baik dari Ainun, tidak juga dirimu.”

” Kau memang sudah gila!” Sri meradang. Dengan segera dia merebut selendang itu dari Labib. Membuangnya ke atas tanah dan menginjaknya penuh kebencian.

Tersayat sudah hati Labib. Melihat selendang Ainun di injak, maka serasa Ainunlah yang sedang di sakiti. Selendang itu adalah harga diri Ainun, maka Labib sebagai seorang  suami berkewajiban membelanya, begitu fikir Labib.

” Hentikan! Jangan pernah lakukan ini!” Amarah Labib meledak, lalu dia menyuruh Sri pulang dengan segera.

Malam telah melewati separuh waktunya ketika Labib masih terjaga dengan lipatan selendang Ainun di bawah pipinya tatkala ia berbaring. Labib merindukan bau parfum Ainun yang menebar dari selendang itu, namun bau parfum itu kini telah lenyap.

Berniat tidak akan pernah mencucinya, namun kejadian siang itu membuat selendang Ainun penuh tanah. Merelakan selendang Ainun di cuci sama beratnya dengan merelakan kepergian Ainun tempo lalu. Hilangnya bau parfum Ainun dari selendang itu, membuat Labib merasa bahwa tidak ada tepian lagi untuk rindunya.

Labib sebenarnya tidak ingin cengeng, tapi tetap saja telaga di matanya tidak bisa di bendung. Butiran bening itu satu persatu membasahi selendang di bawah pipinya hingga merata.

Labib kembali terlarut dengan dukanya sampai ia menangis sesenggukan, seperti anak kecil merindui ibunya. Tanpa di sadarinya Labib pun tertidur…Hingga tiba-tiba seseorang membangunkan tidurnya, bau parfum Ainun yang telah hilang kini merebak lagi di kamarnya.

Labib perlahan membuka mata, dia melihat seorang wanita yang ia kenali berdiri di ujung ranjangnya, senyumnya begitu hangat.

Wanita itu lalu mendekat dan menaruh secangkir teh hangat di meja kerja Labib. Senyumnya tidak pernah lepas dan tatapannya selalu menuju ke arah Labib. Labib  pun bangun dan duduk di atas ranjang dengan selonjoran kaki. Dia hanya melongoh sambil menggisik matanya. Wanita itu semakin mendekat ke arah ranjang, lalu menggapai selendang yang tergelatak acak-acakan. Dia melipat kembali selendang itu dan memasukannya kembali ke dalam sarung bantal, posisi dimana dulu Labib menemukan selendang itu untuk pertama kalinya.

Labib seperti tersirap, dia membisu tanpa kata. Wanita itu pun hanya tersenyum tanpa suara. Kemudian menjauhi kamar itu dan lenyap di balik pintu kamar. Pada saat itulah Labib menyadari tentang apa yang telah di lihatnya.

Labib segera turun dari ranjangnya, dia berlari mengejar wanita itu. Beberapa ruangan di rumahnya telah dia lewati tapi tetap saja tidak menemukan wanita yang di carinya. Lalu dari balik kaca Labib melihat wanita itu tengah berdiri di luar rumah sedang merapikan beberapa vas bunga yang tergeletak tak beraturan.

Gembira luar biasa hati Labib melihat wanita itu. Dia keluar dari rumah dan memburunya. Labib tiba di hadapan wanita itu dan tak segan meraih tubuhnya, kemudian memeluknya erat. Tapi wanita itu malah meronta, dia mendorong tubuh Labib hingga terjerembab. Wanita itu segera berlari ke luar pagar rumah. Labib pun segera bangkit dan mengejar. Namun rupanya wanita itu telah lenyap. Labib tidak bisa melihat apapun kecuali kabut tebal yang menyelimuti halaman rumahnya. Labib terduduk dan menguraikan kembali air matanya. Lalu seketika dia menjerit, memanggil nama wanita itu, ” Ainun……..”

Tepat ketika Labib memanggil nama Ainun seketika itulah tubuh Labib tersentak, Labib terbangun. Bola mata Labib memutar ke segala sudut kamar, dia mencari wanita yang baru saja di temuinya…dalam mimpi!

” Astaghfirullah…” Labib mengusap wajah, mengembalikan kesadarannya. Mimpi itu benar-benar seperti nyata. Namun tidak  ada sedikitpun yang berubah dari kamar itu: tidak ada cangkir teh yang di simpan Ainun, tidak ada pula semerbak parfum  Ainun yang memenuhi ruangan kamar itu. Kecuali…selendang Ainun yang kini terlipat rapi di dalam bantal, percis ketika Ainun melipat dan menyimpannya dalam mimpi.

Labib merasa tidak percaya dengan apa yang di lihatnya, tapi dia tidak ingin menduga-duga terlalu jauh. Satu hal yang di yakininya bahwa semua terjadi karena adanya sebuah keajaiban. Dan tidaklah perlu dia banyak bertanya siapa yang telah  membuat keajaiban itu, benarkah yang merapikan dan menyimpan selendang itu adalah Ainun atau sesuatu yang menyerupai Ainun sehingga semuanya nampak di luar nalar?

Kini Labib dapat memaknai semua kisah yang telah di laluinya di alam bawah sadarnya, bahwa cinta sejati tak harus membuatnya menutup pintu hati. Hidup harus tetap berjalan, dan hidup tak cukup sendiri. Tak cukup hanya dengan mempertahankan cinta kepada orang yang telah tiada, tapi tidak juga melupakannya. Iya, bukankah dalam kemayaanpun Ainun tak menghendakinya untuk di peluk erat?

Lantunan surah Yasin baru saja Labib khatamkan. Sebotol air telah di tuangkan dan bunga-bunga telah di taburkan di atas pusara Ainun. Perlahan Labib melangkah menjauhi makam itu. Sedangkan di ujung sana seorang perempuan telah menunggunya. Setibanya di depan perempuan yang menunggunya itu Labib berucap ,” Terima kasih sudah mengantarku berziarah ke makam Ainun. Aku selalu merasa bersalah padamu. Mohon di maafkan, Sri!”

Sri tidak menyahut, dia hanya tersenyum penuh makna. Kemudian mereka berlalu…

 

Sementara di jauh sana ada perempuan lain yang tersenyum memandangi kepergian Labib dan Sri dari tempat itu. Perempuan itu berada pada tempat yang tak terjamah oleh apapun, tak dapat di lihat tak dapat di sentuh.

 

 

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan