senja-di-pelabuhan

Senja Buta

Senja Buta

“Sesungguhnya apa yang tampak lebih baik itu belum tentu terbaik untukmu, maka jalan satu-satunyha hanyalah dengan bersyukur atas apa yang kamu miliki saat ini, karena batuan mulia paling berharga tak terletak bersama kerikil – kerikil yang mudah kautemui di hamparan muka bumi, melainkan terletak pada perut bumi terdalam, tak terlihat oleh kasat mata, dan hanya orang- orang tertentulah yang dapat menikmatinya.

Sayangnya, kadang kesadaran dan kekecewaan hadir bersamaan di ujung cerita, sehingga tak ada cukup waktu untuk sekedar meratapi dan mengucapkan satu kata terimakasih. Hati itu terlalu naif ataukah manusianya yang bodoh, dua hal tak sama namun menimbulkan dampak yang tak jauh berbeda. Kadang bingung akan rasa itu menjadi suatu yang wajar ketika seseorang menghadapi situasi yang tak jelas, menyebabkan keraguan haruskah tertawa ataukah menangis, atau keduanya di saat yang sama.

Dunia begitu jauh menipu kita dengan segala hingar bingar sandiwaranya, tak ada yang sanggup berpaling ketika ia dengan keelokannya menyapa begitu rupa, seakan yang tak mungkin pun menjadi terlihat begitu nyata, sedangkan kenyataan entah bagaimana caranya diputarbalikkan dan diingkari bak fatamorgana.

Pada akhirnya, masing- masing dari kita tak dapat menentukan satu dan lain hal, ketika diri sendiripun masih dalam ketidakpastian. Mirisnya, kadang menasihati seseorang bukanlah hal yang sulit, tapi untuk bangkit dari keterpurukan sendiri menjadi masalah yang tak berujung solusi. Menangis setiap hari, mengeluhkan apa yang tak seharusnya dirasai oleh keinginan diri, begitu hebatnya dunia mempermainkan kita, padahal semua ilusi, fana, palsu belaka.”

Itulah beberapa coretan yang kutulis, entah sedang terpikir apa atau malah karena sama sekali tak berpikir, kata- kata itu muncul begitu saja. Seperti telah lama terbelenggu dalam kungkungan, dan menemukan celah untuk membuat semua keluar begitu saja, bersamaan, tak satu persatu. Kadang semua itu terjadi karena otak memproses kenangan yang begitu lamban, berbagai episode yang terjadi tak serta merta dapat diartikan, baru setelah beberapa saat semua menjadi kumpulan memori yang bertautan namun tak beraturan.

Yah, itulah hal- hal yang mengisi otakku untuk beberapa saat ini, faktor keadaan, emosi, ataupun kadang cuaca yang mendukung berbagai atraksi dalam simphoni pikir yang menipu telak.

Pikiran-pikiran itu tiba-tiba terbuka, setelah senja bersama seseorang yang entah siapa, yang pasti, seseorang itu memancing segala benak dan penghayatan untuk kubuka kembali. Kisah tentang hidup, egois, dan emosi. Lihat saja bagaimana anganku berjalan mengisahkan kilasan cerita yang baru saja terjadi.

Senja tadi, seorang pengemis di persimpangan jalan, duduk di tepian trotoar. Sudah menjadi pemandangan yang biasa tentunya, pengemis itu dengan tampilan yang sama setiap hari. Kaos kumal lusuh bergambar wajah anggota caleg tak terpilih lengkap dengan slogannya, kerah gripis koyak seperti bekas ngengat atau lapuk karena kotor, tak pernah pergi dari bertengger di tubuh tuannya. Pemandangan tak jauh berbeda dengan celana butut yang sudah tak jelas bentuk dan warnanya. Jenggot dan jambang panjang, gimbal, memutih kotor, rambut yang tak kalah panjang, putih,abu, coklat ah entah apa warnanya. Melihatnya saja seperti sudah mencium bau apak dan penguk yang timbul dari perpaduan yang mempesona itu.

Yang menjadikannya tak biasa, tiba-tiba pengemis paruh baya itu berdiri, menghampiriku. Duduk bersebelahan di antara orang-orang yang mengisi bangku halte. Tampak yang lain berjengit, meringsut sejauh mungkin dari pengemis itu, takut kalau-kalau secara mendadak ia menggigit atau menarik tas-tas mahal mereka. Atau mungkin takut tertular sejenis penyakit yang menyebabkan penampilan mereka menyerupai pengemis itu. Aku terjebak di antara tiang halte dan sang pengemis, tak ada pilihan lain selain tetap duduk diam setenang mungkin, dan menghindari kontak apapun dengan manusia di sampingku ini.

Yang membuatku lebih terkejut, tiba-tiba pengemis itu berbicara pelan, “bukankah miris, hidup hanya sebatas perbandingan materi, lihat mereka yang menjauhi tubuh ini seakan aku adalah seonggok racun mematikan, hanya karena penampilanku berbeda..”

“Maaf..?” tanyaku agak kaget.

“Begitupun kau, jika mungkin, pasti kau sudah memilih untuk menjauh bersama mereka..”

“Maaf pak, emm maksud Anda apa?”

“Hidup itu luas Nak, tak sebatas pada sepatu mahalmu atau sejumlah trilyun pada tabunganmu, kadang seseorang yang terkungkung oleh keterbatasan duniawi lebih memiliki pikiran yang luas, dan hidup yang tenang, dibanding dengan mereka yang menghabiskan waktunya untuk menghitung keuntungan..”

“Lalu apa sebenarnya hidup..?”

Tak sadar pertanyaan itu meluncur begitu saja, aku tahu ini bodoh menanyakan sesuatu pada seseorang yang mungkin tak waras, tapi tak apa lah, setidaknya mengisi kejenuhanku menunggu bus yang tak kunjung datang.

“Hidup itu tak lebih dari pengabdian, sejauh mana kau mengabdikan dirimu pada sesuatu yang memberimu segalanya..”

“Tapi bukankah kehidupan seseorang tak pernah sama meski sama-sama mengabdi..?”

“Apa yang tak sama, hanya terbatas pada pemikiran dan egoisme manusianya..”

“Tidak juga Pak, nyatanya ada yang berhasil dan ada yang gagal, bukankah itu berbeda?”

“Apa hakikat berhasil, dan apa hakikat gagal. Seseorang yang berpenampilan seperti diriku berarti gagal, dan yang berpenampilan sepertimu berarti berhasil, begitukah?”

“Mungkin..” jawabku sekenanya saja.

“Itu adalah cara berpikir egoisme manusia Nak, apa gunanya berpenampilan baik, harta melimpah, namun tak mau peduli dengan makhluk-makhluk marginal sepertiku, seperti golongan kami, orang-orang kaya berdasi itu telah gagal mengabdikan dirinya pada yang memberi segalanya..”

Aku terdiam, kata-kata pengemis itu terlalu dalam, terlalu sulit aku membantahnya.

“Sedangkan kami, yang hidup dalam garis pembatas, menghabiskan sepanjang waktu dalam hidup dalam belas kasih orang lain, tak ada waktu untuk mengabdikan diri dan menghamba padaNya. Kami adalah hamba bagi mereka yang berjalan dan melemparkan koin rupiah, atau mereka yang hanya berpaling jijik. Kepada manusia-manusia seperti itu kami menghamba, lalu dimana bedanya..?”

“Emmm..”

“Kita sama-sama gagal dalam pengabdian bukan, lalu untuk apa saling menyisih karena perbedaan yang tampak, jika pada hakikatnya sama.. jika aku ini hina, maka kalian juga hina..”

Pengemis itu berdiri, beranjak pergi. Aku masih tertegun oleh apa yang baru saja terjadi.

Seorang pengemis paruh baya yang memberiku kuliah seperti seorang profesor dan ahli filsafat. Siapakah dia, pengemis gila yang terobsesi pada hidup dan penghambaan? Ataukah seorang doktor yang sedang menyamar sebagai pengemis untuk penelitian disertasinya? Atau malaikat yang menjelma sebagai manusia untuk menegur manusia macam aku? Atau, bukan siapa-siapa?

Aku tak tahu siapa dia, yang kutahu apa yang ia katakan tak perlu disanggah atau argumen pendukung untuk pembenaran. Pengemis itu benar, tapi, entahlah.

Senja berikutnya, aku tak melihat pengemis itu lagi, begitupun dengan senja- senja yang datang setelahnya.  Pengemis itu enyah, menghilang, setelah memberiku pencerahan setidaknya untuk sekali senja dalam hidupku.

Senja yang berlalu setelah saat itu, tak ada lagi pelita yang duduk di tepi trotoar persimpangan  jalan. Sama saja seperti senja sebelum dialog pertama dan terakhir dengan pengemis, atau entah siapa itu. Senjaku dan senja mereka tetap buta. Buta tanpa tahu hidup sebenarnya.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan