novel-dendam-eka-kurniawan

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Kajian tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam persoalan kesetaraan dan keadilan gender merupakan persoalan lama yang sampai saat ini masih jadi diskursus menarik dalam berbagai kajian. Pembagian peran berdasarkan jenis kelamin merupakan sejarah kultural yang paling tua. Perbedaan tubuh, khususnya perbedaan (alat) seksual, menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagaimana posisi yang satu dianggap lebih tinggi daripada yang lain. Kejantanan adalah kebanggaan. Maskulinitas dianggap superior dihadapan femininitas.

Dalam tradisi masyarakat dunia, kejantanan sering disimbolkan dalam banyak sifat dan tanda. Seseorang  dianggap jantan kalau kuat, bernyali, dan jago berkelahi. Bahkan, mereka yang disebut jantan adalah laki-laki yang memiliki (maaf) penis yang besar dan tahan lama bercinta. Kita bisa mengatakan ini konyol. Tapi suka atau tidak, penilaian ini tertanam dalam sistem masyarakat yang ada.

Novel Eka Kurniawan, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, mengambil tema tentang ini. Novel ini berbicara tentang kemaluan. Eka Kurniawan, sastrawan Indonesia yang mulai diperhitungkan dikancah internasional, sepertinya sedang melabrak ketabuan budaya timur untuk berbicara tentang kemaluan. Eka berusaha membongkar nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam memahami kemaluan itu sendiri. Tidak hanya membongkar, Eka pun mengkritiknya.

Ajo Kawir mengambil peran utama. Laki-laki yang “burungnya tak mau hidup” ini menjadi representasi bagaimana masyarakat kita memahami apa itu arti kejantanan. Karena sebuah pengalaman traumatik, “burung”nya selalu mengkerut. Dalam sebuah kebudayaan dimana kejantanan adalah kebanggaan, situasi ini tak dapat diterimanya begitu saja. Jalan lain dipilihnya sebagai pembuktian, “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati.” Begitu kata Iwan Angsa, bapak si Tokek, sahabat Ajo Kawir. Ciri sebagai orang kuat dan jago berkelahi dipilihnya untuk membuktikan bahwa dia masih jantan.

Pembuktian inilah yang membawa Ajo Kawir pada sebuah petualangan yang kompleks, mulai dari petualangan asmara sampai pada sebuah petualangan spiritual. Eka Kurniawan cukup cerdik menempatkan tokoh Iteung, perempuan yang dicintai dan mencintai Ajo Kawir. Iteung adalah kontras yang melabrak semua konsepsi umum tentang apa arti menjadi perempuan. Walau tidak berjenis kelamin “jantan”, dengan tangannya sendiri, Iteung mampu membunuh tiga orang laki-laki; seorang preman yang bernama Budi Baik dan dua orang polisi bejat pemerkosa Rona Merah. Karakter Iteung setidaknya mengajak kita bertanya, “Betulkah jago berkelahi menjadi syarat utama kejantanan?”

Keputusan-keputusan untuk menjadi “jantan” akhirnya membawa Ajo Kawir pada sebuah pengalaman spiritual. Keluar masuk penjara dan konflik asmaranya dengan Iteung menjadikan “burung mengkerut”nya sebagai guru spiritual. “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini.” Begitulah filosofi Mono Ompong, kenek truk Ajo Kawir, yang juga berjuang untuk membuktikan bahwa dia laki-laki bernyali. Ajo Kawir pun tak mau kalah, “Tapi kemaluan juga bisa memberimu kebijaksanaan. Itu juga yang kupelajari dari milikku.”

“Burung yang tidur” selayaknya resi yang bersemedi di gunung sepi bagi Ajo Kawir. Dia penuh kebijaksanaan hidup. Sekali Mono Ompong pernah bertanya, “Kenapa kau selalu bertanya kepada burungmu untuk segala hal?” Jawaban Ajo Kawir menarik, “Kehidupan manusia hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja.”

Sampai disini, lengkap sudah Eka Kurniawan mengkritik sistem kehidupan bermasyarakat kita. Hasrat dan nafsu memuaskan diri adalah kunci untuk bertahan hidup dalam dunia yang serba kapitalistik ini. “Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang,” adalah motto bagaimana “kemaluan”lah yang sesungguhnya menjadi motor penggerak manusia.

Adakah solusi yang ditawarkan Eka pada kritiknya ini?

Lewat “burung tidurnya”, Ajo Kawir belajar ternyata berkelahi dan memamerkan nyali bukanlah simbol kejantanan. “Burung”nya mengajarkan sebaliknya. Justru mereka yang bisa menahan sabar dan setia pada cintalah yang layak disebut jantan. Perjalanan spiritual Ajo Kawir dan kemaluannya membolak-balik sistem nilai yang selama ini dianutnya. Ternyata, disisi lain, Iteung, perempuan “jantan” itu, pun berbuat serupa. Kejantanan justru mengajarkan mereka apa itu arti memaafkan kesalahan.

Novel ini diberi simbol “21+”. Artinya novel ini adalah novel dewasa, tapi bukan novel “selangkangan”. Walau dihiasi oleh kosa kata alat kelamin dan sedikit adegan nakal, tapi novel ini bukan novel cabul. Kadang, suatu hal (memang) perlu dibicarakan secara vulgar agar maksud-maksud yang terang bisa ditunjukkan secara benderang.

Keberanian Eka mengangkat sebuah topik yang tabu ini layak diapresiasi. Budaya timur yang berkebiasaan melarang berbicara tentang kemaluan, disatu sisi justru membahayakan. Tapi perlu diingat, Eka tidak sedang berbicara tentang kemaluan. Dia sedang berbicara tentang sistem nilai masyarakat yang dibangun dibalik interpretasi terhadap kemaluan itu. Dengan menggunakan kemaluan, Eka mencoba menyadarkan betapa rendahnya mutu kemanusiaan yang sedang kita jalani ini. Eka cukup bernyali untuk menegur kita dan mencoba menunjukkan arah yang sebenarnya.

Kritik terhadap novel ini adalah kenapa Eka hanya mengangkat realitas dari masyarakat miskin saja? Padahal, jika kita menggunakan pisau analisis Marxisme, kemiskinan dan penderitaan kolektif sebagian masyarakat dunia justru disebabkan oleh kerakusan, hasrat, dan nafsu yang tak terkendali dari orang-orang kaya – pemilik kapital. Merekalah orang-orang yang tidak memahami apa itu cinta dan kesetiaan. Sebagian besar dari merekalah yang seharusnya dijadikan sasaran tembak. Merekalah orang-orang yang digerakkan oleh kemaluannya. Merekalah orang-orang yang berpikir dengan kemaluannya.

Sementara, Iwan Angsa, Ajo Kawir, Iteung, Si Tokek, Mono Ompong, dan bahkan Si Kumbang adalah determinasi sosial dari kemiskinan yang disebabkan oleh segilintir orang kaya itu. Hobi mengintip si Tokek dan Ajo Kawir dimasa mudanya adalah simbol bagaimana orang tua miskin tak mampu mendidik anaknya karena waktu-waktunya habis untuk bekerja mencari nafkah. Sementara Paman Gembul, si Jendral itu, hanyalah tokoh pelengkap yang memilih bertobat dan dimasa tuanya berusaha menebus dosa-dosanya. Tak adil rasanya memahami si Kumbang, seprofesi Ajo Kawir sebagi supir truk, menjadi tokoh antagonis yang iri pada Ajo Kawir karena kalah dalam persaingan bisnis. Toh kebencian si Kumbang adalah murni alasan ekonomi yang merembes pada harga diri dan ejekan pada reputasi.

Tak lengkap rasanya jika tidak mengkritisi permainan plot Eka Kurniawan dalam novelnya ini. Hampir semua novel Eka Kurniawan bermain dengan metode plot yang sama: maju mundur. Setelah membaca novel ini, saya seolah ingin menantang Eka Kurniawan untuk menulis novel dalam plot yang tidak maju mundur. Disatu sisi, permainan plot maju mundur itu memang menarik. Dia membuat kita seperti sedang membaca sebuah teka-teki. Kita dirangsangnya untuk menebak-nebak cerita. Itu memang kenikmatan tersendiri. Tapi, beranikah Eka, dalam novel-novel berikutnya untuk memilih cara bermain plot yang beda? Jelas, itu sesuatu yang menarik dan layak ditunggu.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan