buku-bagus-tentang-perang

Apa Yang Kau Tahu Tentang Perang?

Berita Buku – Perang itu ibarat nyamuk yang menyerangmu dalam tidur lalu kau mengejarnya sampai pagi. Ibarat seorang anak bandel yang dipukul ayahnya supaya masuk sekolah. Ibarat seekor anjing menggigit anjing lain saat melihat seonggok tahi. Atau seperti singa yang mengklaim kerajaannya dengan membunuh mahkluk lain di dekatnya. Pada akhirnya, perang adalah satu otak kotor yang mampu menggerakkan jutaan tentara, tank-tank, meledakan Molotov dan mengusirmu dari rumah dengan todongan senjata.

Melihat pengungsi Rohingya di televisi mengingatkan pada salah satu buku bagus tentang perang yang pernah ditulis; The Kite Runner. Oleh Khaled Hosseini Kite Runner menemui pembaca dengan sangat lembut dengan menghadirkan sosok-sosok mereka yang hidup di tengah perang Afghanistan. Mereka hadir untuk mewakili kenyataan pahit bahwa di tengah peperangan yang kejam  hiduplah manusia-manusia biasa sebagaimana orang yang hidup di negeri tanpa perang. Di sana ada seorang ayah-ayah yang menghidupi anak lelaki mereka, ada anak-anak dengan masa kecil yang riang gembira yang mengejar layang-layang di atap rumah hingga di lorong kota.

Mirip sebuah dongeng, Hosseini mengisahkan tentang dua bocah kecil, Amir dan Hassan, dengan latar belakang keluarga berbeda. Ayah Amir termasuk orang kaya sementara ayah Hassan adalah pelayan di rumah Amir. Hal yang sama adalah bahwa baik Amir maupun Hassan telah ditinggal oleh ibu-ibu mereka dimana Amir ditinggal mati sementara Hassan ditinggal pergi. Kemudian, sesuatu yang istimewa malah hadir dari dua bentuk kehilangan tersebut ketika seorang wanita telah disewa untuk menyusui mereka. Amir lahir terlebih dahulu sebelum Hassan, dan dikatan dengan mengharukan bahwa kata pertama yang dia sebut adalah panggilan kepada ayahnya Baba. Ketika Hassan lahir dan disusui dari payudara yang sama, kata pertama yang dia sebut adalah “Amir!”. Dua bocah itu telah hidup dari air susu yang sama. Keduanya tumbuh bak saudara, sebelum perang pada akhirnya kembali memisahkan.

Sebelum perang terkutuk itu, Baba  mempunyai kehidupan bagus di mana di rumahnya dia punya waktu untuk minum, merokok dan bercerita soal bola dengan teman-temannya. Amir juga. Dia menghabiskan waktu bersama Hassan untuk membaca di atas pohon, mendaki bukit dan menerbangkan laying-layang; hal yang menyenangkan tentu saja. Memang, The Kite Runner tidak mengumbar perang secara brutal, malah justru Hosseini terkesan tidak terlalu mementingkan bagaimana perang itu terjadi di tanah Afghanistan, tetapi dari apa yang kemudian dikenang oleh Amir pembaca bisa tahu kalau perang dengan apa pun kepentingannya adalah hal yang sangat disayangkan. Mirip sebuah efek domino, perang menggerakan konflik yang menggoncang setiap segi kehidupan yang kemudian membuat Baba dan Amir harus pergi jauh-jauh ke Amerika bila masih ingin hidup lebih lama.

Novel ini merupakan sebuah drama keluarga yang mengharukan, dimana pada bagian menjelang akhir, usai perang dan Amir sudah besar, dia kembali ke negaranya untuk mencari Ali dan Hassan. Apa yang dia temui adalah berita bahwa mereka berdua telah dihabisi perang dan pendudukan paksa. Lalu Amir akan hidup dengan terus mengenang pelayan dan sahabat baiknya. Namun, ternyata ada kenyataan lain yang tersembunyi. Hassan adalah saudara tirinya. Ibu Hassan tidur dengan Baba, bukan dengan Ali. Amir terpukul memang, tetapi apa mau dikata karena ketiga orang terdekat dengannya; Baba, Ali dan Hassan sudah mati. Novel ini berakhir ketika anak Hassan diasuh oleh Amir dan istrinya di Amerika.

Peperangan yang dilakukan segelintir penguasa telah menjerumuskan berbagai orang yang tidak berdosa ke dalam kematian mengenaskan dan eksodus pengungsian yang membuat berjuta orang tercerabut dari budayanya. Dalam satu tulisannya tentang Palestina (Al-ludd) Gunawan Moehamad mengutip kata-kata yang dikatakan oleh Shmarya Gutman bahwa Perang memang tak manusiawi tetapi perang bisa memecahkan soal-soal yang tak terpecahkan di masa damai. Maka, patutlah dipertanyakan soal macam apa saja yang hanya bisa selesai oleh perang? Di Afghanistan, perang tidak menyelesaikan apa yang tidak selesai di masa damai. Malah sebaliknya, perang datang untuk menyebarkan masalah yang tidak ada saat masa damai.

Melihat anak-anak di televisi saya mengenangkan sosok dalam novel perang itu, Amir dan Hassan. Hassan yang mati oleh selongsong peluru di kepala di tanah kelahirannya dan Amir yang hidup di tanah pengungsian dengan kenangan akan lorong-lorong kecil di lingkungannya dulu sewaktu mengejar layang-layang. Ketika Sovyet dan Taliban berturut-turut menghancurkan Afghanistan, Amir akan ingat bahwa kehidupannya ibarat layang-layang yang telah putus dari sesuatu yang berpijak di bumi sendiri. Dan dari Amerika, tempat dia menyelamatkan diri Amir akan melihat kenyataan bahwa perang menyisakan kenangan yang selalu menemukan jalan keluarnya dari ingatan mereka yang pernah terbuang, seperti katanya; sekarang saat Aku melihat ke masa laluaku menyadari bahwa aku telah mengintip gang sempit yang terbengkalai itu selama dua puluh enam tahun. (The Kite Runner).

Pengungsi Rohingya di hari-hari terakhir ini sedang pontang-panting keluar dari negeri mereka oleh karena peperangan yang tidak pernah mereka picu. Di antara anak-anak yang terbuang dari rumah tersebut, terdapat Amir dan Hassan yang baru dimana ada yang akan mati dan ada yang akan hidup di tanah pengungsian. Dia yang hidup jauh dari tanah lahir itu mungkin suatu hari mengikuti jejak Amir, usai perang akan mencoba kembali ke negerinya hanya untuk menemukan puing-puing kota yang hancur bersama kenangannya.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan