perbedaan-fiksi-dengan-nonfiksi-penelitian-sastra-bandingan

Rumitnya Menerjemahkan Sastra Indonesia

Pernahkah kamu membaca novel-novel terjemahan? Di beberapa toko buku, novel terjemahan bahkan mendapatkan perlakuan khusus. Mereka di pajang di rak tersendiri, dengan label “Terjemahan” di atasnya, terpisah dari novel-novel buatan pengarang Indonesia. Ketika saya melihat fenomena ini, terlintas di pikiran saya, apakah ada novel-novel atau karya sastra Indonesia lainnya yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa asing?

Tentu saja ada, meskipun jumlahnya tidak banyak. Beberapa karya sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yakni Ziarah (Iwan Simatupang, 1969), Telegram (Putu Wijaya, 1973), dan Belenggu (Armijn Pane, 1940). Ketiganya merupakan bagian dari program “Modern Library of Indonesia” Yayasan Lontar. Masih ada lagi judul-judul karya sastra lainnya, yang memang sebagian besar merupakan judul lawas. Pada tahun 2012, terhitung sudah ada 20 karya yang diterjemahkan oleh Yayasan Lontar dari total 23 buku. Untuk judul modern, di antaranya yakni novel Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (Dewi Lestari, 2001) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata, 2005).

Di samping itu, ada beberapa karya yang sengaja diterjemahkan untuk Frankfurt Book Fair 2015. Di antaranya yakni Lelaki Harimau (Eka Kurniawan, 2004) dan Pulang (Leila S. Chodori, 2012).

Mengapa Sedikit?

Sedikitnya karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya, sedikitnya jumlah penerjemah, masalah biaya, dan kualitas terjemahan itu sendiri.

Kualitas terjemahan sangat tergantung pada tata bahasa. Jika tata bahasanya bagus, maka terjemahannya sudah pasti bagus. Misalnya ketika Saman (Ayu Utami) diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Banyak yang tidak berminat karena tata bahasanya menjadi buruk, padahal novel itu sebenarnya bagus.

Di samping itu, dari sisi penerjemah, mereka dituntut untuk mempunyai rasa bahasa yang bagus. Jadi untuk menghasilkan sebuah karya terjemahan yang bagus, dibutuhkan waktu cukup lama, lebih dari setahun. Bayarannya juga tidak banyak. Mungkin hal inilah yang mempengaruhi jumlah penerjemah. Padahal, kenyataannya, sebagian besar penerjemah adalah orang asing yang mungkin kurang mempunyai “rasa” bahasa Indonesia.

Bagaimana dengan proses produksi? Sudah lama diketahui bahwa pihak penerbit hanya mendapatkan sedikit dalam proses produksi hingga publikasi sebuah buku, yakni 10 persen. Ketika sebuah karya diterjemahkan ke dalam bahasa asing, pihak penerbit bisa tidak mendapat apa-apa. Karena itulah, pihak penerbit bersikap selektif ketika memilih karya yang akan diterjemahkan; hanya buku-buku yang kemungkinan besar laku yang hanya akan diterjemahkan.

Begitu rumitnya proses menerjemahkan karya sastra negeri sendiri ini membuat pengarang Indonesia tidak bisa go-international jika dibandingkan dengan pengarang-pengarang luar negeri lainnya, misalnya seperti Haruki Murakami atau Dan Brown. Karya-karyanya hanya sedikit populer di luar negeri, dan mungkin di dalam negeri sendiri juga kurang dihargai. Bagaimana menurut kamu? (detik, cnnindonesia)

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan