lagu-rindu-buat-ayah

Setangkai Rindu buat Ayah

Setangkai Rindu buat Ayah

Aku lelah, tapi harus tetap berjalan. Tanah becek dengan genangan air selebar ukuran sandal orang dewasa, dan kerikil kecil-kecil lancip terasa menusuk karet sandal jepitku. Ah, susah sekali berjalan sendiri begini, licin, perih. Seharusnya ayah memanggulku, tak perlu aku bersusah payah, tapi dimana dia, aku tak tahu kenapa dia tak memanggulku hari ini atau sekedar menggandeng tangan kecilku.

Orang-orang ini aneh sekali, mereka kan sudah dewasa, kenapa melewati jalan licin saja mereka harus menangis. Lihat aku, meski tubuhku mungil, aku tetap bisa berjalan sendiri, aku tak menangis. Bahkan ibu, tampaknya ia kelelahan, sedari tadi hanya diam sesekali melihatku dan tersenyum. Ada pula beberapa orang di depan sana membawa sesuatu seperti almari, mungkin itu perbekalan kami. Tapi kenapa juga harus ditutupi dengan kain begitu, lebih-lebih mereka memayunginya seperti raja saja. Tidakkah mereka melihat disini ada anak kecil, aku iya aku, seharusnya mereka memayungiku saja. Uh, rasanya aku marah sekali, kenapa tak ada yang menggendong atau memperhatikanku. Orang dewasa memang egois.

Semakin lama langkahku semakin pelan, jalan ini benar-benar sulit. Kenapa ada orang membuat jalan hanya selebar pintu dapur rumahku. Mengapa juga mereka pelit sekali sampai-sampai jalan ini tak diberi semen seperti jalan gang menuju rumah mbak Tika. Aku tak mengerti, sebenarnya orang-orang ini mau kemana. Siapa orang yang mau tinggal di tempat yang jalannya jelek begini, uuh.

“ibu,. Nada lelah..”

aku tak tahan lagi.

Sabar ya sayang, sebentar lagi kita sampai..”

“kita mau kemana sih Bu,.kenapa jalan jauh-jauh begini..”

“kita mau bertemu seseorang..”

“seseorang siapa Bu..?”

Ibu hanya tersenyum lalu diam lagi. Ah, aku benar-benar jengkel. Tahu begini, lebih baik aku tak mau ikut tadi, biar saja aku di rumah sendiri. Pasti ayah sekarang sudah di rumah, ia berjanji membelikanku bakso hari ini, ya karena ini ulang tahunku yang ke lima. Harusnya aku tidak perlu melewati jalan jelek ini, dan melewatkan hari istimewaku.

Akhirnya orang dewasa di depanku berhenti, namun mereka menangis lebih kencang. Sebenarnya apa yang mereka takuti? Aku melihat sekeliling, tak ada satu rumah pun di tempat itu. Hanya ada batu-batu yang diukir seperti pasak, atau ada yang seperti perahu, wah ada juga yang memiliki atap genting dengan ukuran pendek. Tak kusangka, mereka mengajakku ke tempat bermain, tapi di sini sepi sekali tak ada anak kecil. Besok akan ku ajak Tiur dan Radi kesini, batu seperti perahu itu akan kujadikan kapal besar, dan ya rumah rumah pendek itu akan ku gunakan sebagai rumah mainan kami. Ahh pasti kawan-kawanku akan senang.

Seseorang meraih tubuhku, membawaku menuju apa yang dikerumuni orang-orang dewasa itu. Aku hanya diam, mungkin orang ini ingin membawaku ke tempat bermain yang lebih menyenangkan. Tapi, aku melihat ke arah lain, seseorang merengkuh ibuku, dan ia, mereka menangis. Ibu sama sekali tak melihat kepadaku, ia lalu jatuh terduduk sambil terus menangis.

Lagi-lagi aku tak mengerti, apa yang orang-orang tangisi di tempat bermain seperti ini. Bukankah seharusnya mereka senang dan tertawa. Uh entahlah, aku tak bisa memahami orang dewasa.

Awalnya aku tak memperhatikan apa yang sebenarnya kami kerumuni ini, hingga seseorang berkata

“ayo segera masukkan..”

Entah apa maksudnya, atau apa yang ingin mereka masukkan. Seseorang yang menggendongku mengajakku lebih dekat. Wah, aku mulai takut, jangan-jangan aku yang ingin mereka masukkan ke dalam entah apa.

Tunggu dulu, apa itu? Sesuatu yang terbungkus seperti permen sugus, iya seperti permen yang sering ku beli di warung budhe Sarni, tapi ini lebih besar dan berwarna putih. Apakah itu permen raksasa? Aah, tapi kenapa mereka memasukkan ke dalam lubang tanah itu? Dan, itu sebenarnya tak berbentuk seperti permen, tapi nampak seperti guling yang berlekuk-lekuk. Aah apa sebenarnya yang dilakukan orang-orang ini sih, membosankan. Masa dari tadi hanya menangis dan, ini memasukkan permen,eh guling atau entahlah ke dalam tanah. Apa maksudnya.

Ku lihat orang-orang di dalam lubang itu berkerumun, tangan mereka memegang bungkusan itu, dan hey, mereka membukanya. Mungkinkah itu benar-benar permen? Mereka mungkin akan membagikannya. Syukurlah kalu begitu, aku sudah capek begini masa tak mendapat apa-apa.

Mataku menyusuri bungkusan putih bersih itu, tak sabar ingin melihat apa yang di dalam. Tiba-tiba hatiku tersentak. Tidak, wajah itu. Itu sama sekali bukan permen. Mengapa ayah tidur dalam bungkusan itu? Mengapa mereka meletakkannya di dalam lubang tanah ini? Apa yang terjadi, kenapa ayah tak juga bangun? Biasanya ayah cepat sekali bangun jika ku sentuh atau ku cubit. Tapi kenapa sekarang ia diam saja, kenapa ia bisa tidur selelap itu padahal orang-orang ini menangis kencang. Haruskah aku membangunkannya? Haruskah aku turun dan mencubit lengannya?

“Ayaah..”

“Kenapa ayah di situ? Ayo bangun yaah, mana bakso buat Nada..?”

Aku kesal sekali, bukannya membeli bakso untukku, ayah malah tidur begini.

“Ayaaah, ayoo banguun, Nada mau bakso…”

“Nada,. “

Seseorang memanggilku lirih, aku tahu itu Ibu. Kenapa ia juga tak membangunkan ayah. Apa yang sebenarnya mereka lakukan pada ayahku.

“Ayaah, kenapa ayah diam saja..? ayo lekas pulang, Nada capek berjalan sendiri Yah..”

“Nada, tenanglah sayang,.”

Ibu meraihku, dan tetap menangis. Kenapa ia harus menangis saat ayah tidur begini? Biasanya Ibu akan marah jika ayah tak juga bangun di pagi hari. Tapi sekarang kenapa ia tak marah, kenapa ia malah menangis.

“Ibu, kenapa ibu menangis, ayo cepat bangunkan Ayah Bu,.Nada nanti tak mau berjalan sendiri lagi,..”

“Ayaah kenapa tak menjawab Nada, ayah marah ya gara-gara Nada minta bakso..?”

Orang-orang di sekelilingku menangis lebih hebat lagi, aku juga menjadi ingin menangis. Aku kesal kenapa ayah tak juga bangun, kenapa orang-orang ini memasukkan ayahku ke dalam tanah?

“Ayaah, ayo pulaang.. Nada tak mau jalan sendiri, kaki Nada sakit Yaah, tak ada yang memanggul Nada tadi..”

Ibu mendekapku lebih erat, ia menangis semakin dalam. Air mata ibu mengalir lebih deras. Aku sedih.

“Ibu, . kenapa ayah tak mau bangun..?”

“ibuuu..!”

Ibu tak menjawabku, ia hanya terus menangis dan mendekapku, aku sedih sekali. Kenapa semua orang menangis. Aku menangis dengan kencang, jengkel, marah,takut.

Kulihat lagi ayah, mungkin kini ia bangun mendengar tangisanku. Tapi ia tetap diam dan matanya terus terpejam. Ayah benar-benar marah kali ini. Tunggu, kenapa orang-orang ini melemparkan tanah ke arah ayahku, mengapa mereka menutupi ayahku dengan tanah? Kenapa mereka jahat sekali?

“Ayaaah, kenapa ayah ditutup tanah..? kenapa ayah diam terus?”

Tega sekali orang-orang dewasa ini, apa yang mereka lakukan pada ayahku?

“Ayah,.. ayo pulang, Nada takut. Kenapa ayah ditutup tanah..?”

Aku hanya menangis dan terus menangis. Hatiku sedih sekali, bagaimana ayah bisa pulang jika mereka menguburnya seperti itu, ayahku di injak-injak, pasti sakit sekali. Kasian ayah.

Lubang itu akhirnya penuh dan tertutup, dengan ayahku berada di dalamnya. Aku marah sekali pada mereka yang membuat ayahku seperti ini. Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku hanya terus menangis dan memanggil ayah, berharap ayah bangun dan muncul dari tumpukan tanah itu untuk memarahi semua orang.

Seseorang maju, dan merapalkan doa-doa. Setelah itu semua orang pergi, begitupun dengan ibu dan aku. Tapi, ayah. Kenapa mereka meninggalkannya sendiri terkubur di tempat bermain yang sepi itu?

“Ibu.. kenapa ayah ditinggal sendiri?”

“Karena ayah sedang tidur Nada, ayah tak mau diganggu..”

“kenapa ibu dan orang-orang menangis..?”

“Nada juga kenapa menangis..?”

“Nada sedih melihat Ayah,.”

“Ibu dan semua orang juga begitu,,”

“Bohong, Ibu bohong.. Jika mereka sedih, kenapa mereka tega menguburkan dan meninggalkan ayah seperti itu..”

“Itu karena permintaan ayah sayang..”

“Permintaan ayah? Kenapa..?”

“Ayah merasa sangat lelah, jadi ia harus tidur lama dan tak mau diganggu.. Nada tahu kan, bagaimana jika ayah sedang tidur dan diganggu..?”

“ayah akan marah..?”

“benar, maka agar ayah tak marah orang-orang ini menguburkannya, agar ayah bisa beristirahat dengan tenang..”

“Tapi,. Bagaimana jika Nada kangen ayah..?”

“Nada boleh mengunjungi Ayah kapanpun..”

Aku diam, bagaimana mungkin aku melewati jalan jelek ini lagi sendiri. Ah tentu aku akan mengajak Tiur dan Radi.

“tapi Bu, bagaimana aku menemui ayah di dalam lubang itu..?”

“kau tak perlu menemuinya sayang,. Cukup kau sapa saja dari luar, ayah pasti mendengarmu..”

“Tapi bagaimana jika Nada rindu pada wajah ayah..?”

“Maka Nada harus berdoa setiap malam, agar ayah bertemu Nada dalam mimpi..”

“Tapi, kenapa harus dalam mimpi Bu..Apa Ayah tak mau bertemu dengan Nada? Apa Ayah tak mau memanggul Nada lagi..?”

“Ayah hanya lelah sayang,. Jika dalam mimpi pasti ayah mau menggendongmu..”

Aku tak paham, mengapa aku harus bertemu ayah dalam mimpi, mengapa aku tak bisa bertemu Ayah seperti biasanya saja? Huh, tapi sudahlah, aku pasti akan datang ke tempat itu setiap hari. Biar ku ajak kawan-kawan, agar aku tak perlu datang sendiri, dan ayah tak akan kesepian di sana. (interval)

Pagi ini seperti biasa, aku berjalan menyusuri jalan setapak kecil becek dan berliku. Sejak hari dimana ayah ditinggalkan sendiri, aku sudah berjanji untuk selalu menemaninya. Selain di malam hari tentu saja, karena saat malam, aku telah mempersiapkan tidurku sedini mungkin untuk bertemu ayah dalam mimpi. Entah mengapa setelah satu minggu ayah tertidur di tempat bermain itu, tak sekalipun ayah menemuiku, mungkin ia marah karena aku selalu datang sendiri. Mau bagaimana lagi, tak ada kawan yang mau bermain denganku di tempat itu. Padahal aku ingin mengajak mereka berlayar seperti pelaut dengan cor batu yang menyerupai kapal itu. Akhirnya aku harus selalu datang sendiri seperti pagi ini.

Anak lain seusiaku kini sedang sekolah di tempat yang mereka sebut taman, aku heran bagaimana bisa taman disebut sebagai sekolah. Entahlah, lagi pula itu memang tempat buatan orang dewasa, dan aku selalu tak paham dengan mereka. Ibu tak menyekolahkanku, ia bilang tubuhku masih terlalu kecil, selain itu jika nanti kawan-kawanku berlari, aku tak akan bisa menyusul, karena sebelah kakiku pincang. Itulah sebabnya mengapa ayah selalu memanggul, menggendong, atau sekedar membimbing tanganku. Huh, sebal rasanya tak bisa seperti yang lain, tapi kata ayah aku tak boleh rendah diri. Justru bagian kakiku yang tak tumbuh sekarang sedang disimpan Tuhan untuk diberikan padaku saat bentuknya sudah sangat indah. Sehingga siapapun pasti akan iri melihat kakiku nantinya.

Jalan kecil ini rasanya semakin susah saja ditapaki, aku mulai hafal jumlah barisan mahoni yang memagar tepi kanan jalan. Pokok randu yang tumbang dan jajaran bambu hitam yang mengeluarkan bunyi derit indah, menemaniku saat menghampiri ayah. Hari ini aku membawa setangkai bunga sepatu berwarna ungu dan merah, aku tahu ayah tak suka bunga, tapi aku berharap jika kuberi bunga ini maka ayah tak kan marah lagi padaku. Aku sangat rindu padanya, jika ia terus marah, bagaimana aku bisa bertemu dalam mimpi. Kali ini ayah pasti akan senang, dan nanti malam ayah akan menemuiku.

Kenapa jalan ini lebih panjang dari biasanya, kakiku mulai lelah, lutut kaki pincangku terasa linu. Kepalaku pening, dan tubuhku berkeringat, tapi terasa dingin. Mungkin karena sehabis hujan. Tanah tempat berbaring ayah telah terlihat, namun kenapa aku begitu lemas, mataku seperti melihat dari dalam air. Aku harus segera sampai, pasti ayah sedang menunggu. Akan ku pastikan setangkai rindu ini sampai pada ayah. Kakiku lemas, aku terduduk di samping gundukan tanah ayah. Entah kenapa tubuhku seperti melayang, terasa ringan. Aku sangat mengantuk. Tunggu, ada seseorang dihadapanku. Ayah.

“Ayah,.Nada kangen..”

Ayah hanya tersenyum, kulihat ia telah mengambil setangkai bunga dariku. Syukurlah.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan