my-love

(S)he is My Love

(S)he is My Love

Karya: Annie Annisa

Di siang yang cerah, matahari tersenyum indah. Semilir angin yang berembus  menambah ceria suasana. Namun, tidak dengan hati seorang gadis yang dirundung resah dan gelisah. Sentilan menyakitkan atas konflik masalah menyisakan goresan luka yang menghunjam. Annie termenung memikirkan pria yang dicintai nyaris enam tahun lamanya. Ia sadar bahwa pria tersebut tak kunjung membalas cintanya, meskipun ia telah mengungkapkan perasaan.
Tiba-tiba sentuhan lembut di pundak mengagetkannya. Annie menolehkan kepala, lalu tersenyum simpul saat mendapati kedua sahabat telah berada di rumahnya.
“Apa yang kau lamunkan? Gadis fakir asmara sepertimu tak layak melamun,” ucap Fitri menggoda Annie yang kini mengerucutkan bibir.
“Betul sekali.” Ayu ikut menimpali.
Annie tersenyum kecut, “Mencintai seseorang itu dibutuhkan bukti. Tidak bisa asal-asalan bilang cinta kalau ternyata tidak mampu mempertanggungjawabakan apa yang diucapkan.”
Fitri dan Ayu sudah terbiasa menghadapi Annie yang selalu saja mengagung-agungkan cinta. Meskipun cinta yang dimiliki Annie tak kunjung terbalas.Entah apa yang membuat Annie tetap sanggup berdiri di tempat yang sama, setelah sekian banyak goresan luka tak kasat mata.
“Tadi aku dapat kabar dari Fauzi, katanya akan diadakan reunian SMA angkatan kita,” tutur Ayu
Fitri mengangguk membenarkan ucapan Ayu.
“Reuni?” Annie bergumam pelan.
“Kamu harus datang, An! Itu kesempatan yang bagus, barangkali Abid akan datang. Bukankah kamu ingin bertemu dia? Mungkin ini cara Tuhan mempertemukan kalian,” ucap Fitri menggebu.
Annie mendengus pelan, menelan ludah pahit. Sepahit hatinya yang rumit seperti kopi tanpa gula.
“Aku tidak yakin apakah sanggup untuk bertemu dengannya. Bagaimana jika dia tidak ingin bertemu denganku?”
Ayu tersenyum sendu, memahami perasaan sahabat karibnya, “jangan takut, An. Bila Tuhan tidak memberikan Abid sebagai pendampingmu, kau masih tetap bisa hidup, kan?”
Benar. Selama Abid bukan oksigen, aku masih tetap bisa hidup, batin Annie.
“Kau benar, Yu. Aku nyaris lupa bahwa bahagia itu sederhana. Aku pasti akan senang jika Abid di sisiku, tapi jika memang Abid tidak ditakdirkan untuk selalu ada di untukku maka harus lebih menyederhanakan kebahagiaanku lagi,” ucap Annie.
“Dengan cara ikhlas dan ikut bahagia saat melihat dia bahagia bersama orang lain, kan?” Fitri ikut menimpali. Meskipun dia tidak tahu yang dikatakan tadi sebuah pertanyaan atau pernyataan.
Annie mengangguk.
Ayu tersenyum lebar. Merasa senang saat melihat raut wajah sahabatnya kembali berbinar.
“Nah, sekarang jangan mellow lagi, calon pengacara andal kok mellow karena asrama, eh asmara,” goda Ayu.
“Handal jepit atau handal–”
“Itu sandal!” sergah Fitri.
Annie menggeplak lengan Ayu, tidak terlalu keras namun cukup membuat sahabatnya itu meringis, lalu kemudian mengurai tawa. Bagi Annie, tak ada yang lebih menyenangkan selain kebersamaan. Annie sangat bersyukur karena memiliki dua sahabat yang selalu melimpahinya kasih sayang.
Bahagia itu sederhana, sesederhana senja. Senja yang keindahannya disuguhkan oleh Sang Pencipta. Namun, tak banyak yang menyadari keindahannya. Kebanyakan manusia menyukai sesuatu yang berkilauan, sampai mereka lupa bahwa yang berkilau tidak semuanya emas.
Seperti biasa mereka menghabiskan waktu bersama hingga sore menjelang. Batas waktu kebersamaan mereka bersamaan dengan batas waktu  sang surya bersinar, dengan ditandai senja di ufuk barat, digantikan dengan pekatnya malam.
Satu hal yang pasti, rasa sayang di hati gadis penyuka warna ungu tak akan hilang meski tertelan keusangan. Kehadiran Abid di hidup Annie bagaikan coretan bollpoint di kertas, meskipun telah menghapus menggunakan tipe-ex coretan itu tak akan hilang, hanya sekadar terlihat samar dan akan tetap ada walau sebatas bayangan.
Mencintai Abid membuat Annie sadar bahwa cinta untuk dirasakan bukan untuk digenggam. Namun, rasa nyeri di hatinya tak mudah untuk diabaikan, bukan? Sekalipun berusaha untuk rela. Merelakan Abid bahagia, meski alasan Abid bahagia bukanlah dirinya. Setidaknya keberanian Annie memberikan ruang untuk orang lain membahagiakan pria yang dicintainya itu. Sebisa mungkin Annie mencoba untuk tidak menangis. Akan tetapi sebagaimana kesedihan dipenjarakan, selalu ada yang berhasil melarikan diri.
***
“Wah! Abid datang dengan siapa?” tanya Owi. Salah satu teman seangkatan mereka yang kabarnya menjadi seorang penulis.
“Deswita Dwi Pramaja, kekasihku,” jawab Abid.
“Cantik sekali,” puji Owi.
“Terima kasih, kau pun terlihat sangat cantik.” Dwi tersenyum lebar memamerkan deretan giginya.
“Kapan akan diresmikan, Bid?”
“Minggu depan kami akan bertunangan,” jawab Abid singkat. Senyum mengembang di wajahnya.
Di sudut ruangan Annie menatap mereka dengan rasa sesak yang kian mendera hati. Entah mengapa rasa sakit di dadanya tak kunjung berkurang. Pilunya masih saja membuat lemas bak jelly. Pengakuan Abid tadi cukup meruntuhkan pertahanan yang selama ini dibangun.
 Namun, Annie percaya bahwa rasa dari keikhlasan jauh lebih manis. Maka dari itu untuk yang kesekian kalinya Annie akan mencoba mengikhlaskan Abid. Belajar untuk merelakan meski hatinya menentang keputusan itu. Karena gadis manis yang saat ini mengenakan dress panjang berwarna ungu sadar, tak seorang pun bisa memaksakan cinta.
“Annie….”
Panggilan itu membuat Annie menolehkan kepala ke belakang, menghapus air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya. Gadis itu tersenyum sendu, “Kupikir kalian tersesat.”
Ayu dan Fitri saling melempar pandang. Iris coklat dan hitam pekat saling menumbuk.
Tatapan iris coklat teralih, mengembuskan napas kasar saat melihat seorang gadis yang sedang tertawa, sedangkan pria di hadapan gadis tersebut memandang dengan tatapan memuja.
Fitri menepuk pundak Annie pelan, diikuti oleh Ayu. Mencoba memberikan dukungan dan semangat untuk sahabatnya yang sedang diserang virus berbahaya bernama cinta.
“Bukankah selama ini kau mencintainya dengan kejujuran?”
Fitri mengangguk membenarkan ucapan Ayu. “Kalau begitu sekarang kau harus jujur pada hatimu dan pada keinginanmu.”
Annie mengerjap, sadar arah pembicaraan Ayu. Menghela napas dalam-dalam, kini gadis itu memantapkan hatinya untuk mencari sumber kebahagiaan yang lain. Mencari titik temu yang akan menyempurnakan kisah hidupnya.
Pandangan Annie tertuju pada sang pemilik hati. Tersenyum meski terasa perih.
Jangan karena kau tahu ada seseorang yang mengejar di belakangmu, kau lari begitu cepat. Sampai-sampai ketika kau berhenti berlari, kau tidak lagi menemukan siapa pun di belakangmu. Akan kupastikan, ketika kau berhenti aku tak lagi ada jejak langkahku di sana, batin Annie.
Tiga sekawan saling berpelukan, mengabaikan bisik-bisik teman-teman mereka yang merasa heran. Yang terpenting adalah kebersamaan, sederhana tapi luar biasa maknanya.
“Hei, boleh aku ikut memeluk kalian?”
Sontak ketiganya melepaskan diri satu sama lain, Annie mengeryit saat mendapati seseorang yang asing dihadapannya.
Siapa dia?
“Tatapanmu seakan aku ini penculik.” Pemuda itu  mengedipkan sebelah matanya.
“Jika penculik berparas sepertimu, aku yakin kadar penculikan di negara ini akan meningkat drastis,” jawab Annie. Ucapannya mengundang gelak tawa para sahabatnya.
“Apa dengan begitu kau mengakui bahwa aku tampan, hmm?”
Annie mencebik. “Sedikit lebih tampan jika dilihat dari puncak Monas.” Annie menajamkan tatapannya. “Siapa kau? Aku merasa tak mengenalmu,” lanjut Annie. Padahal reuni khusus SMA seangkatannya, kan? Itu berarti ….
“Reno Collins, masih ingat denganku?” Reno mengulum senyum hangat, sedangkan Annie memekik tidak percaya. Annie melirik kedua sahabatnya yang kini justru terkekeh geli. Jelas sulit dipercaya! Reno yang dikenalnya dulu tidak seperti sekarang.
Annie masih sulit mempercayai penuturan pria di hadapannya. Reno yang dulu duduk di bangku kelas setara dengannya adalah seorang kutu buku, cerdas dan selalu mendapatkan posisi pertama setiap semester. Tapi penampilannya benar-benar berubah, sangat berbeda. Reno yang di hadapannya ini terlihat sangat maskulin, aroma hutan pinus menguar dari tubuhnya.
“Sepertinya kita perlu berkenalan kembali,” ucap Reno dengan senyum mengejek.
Annie mendengus dan meninggalkan mereka semua, gelak tawa kedua sahabatnya masih terdengar sampai Annie menghilang di balik pintu.
***
“Mau ke mana?”
Annie melirik sekilas pria yang berjalan sejajar di sampingnya. “Taman. Mengapa kau mengikutiku?”
“Karena aku ingin,” jawab Reno. Senyuman manis bertengger di wajahnya.
Annie duduk di bangku taman milik Fauzi diikuti Ren yang sedari tadi mengekori. Keheningan menyelimuti kebersamaan mereka, semilir Kota Lampung di siang hari sangat mendukung. Beruntung, karena mereka dilindungi pohon besar yang tidak membuat serangan keganasan sang surya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Reno.
“Baik, seperti yang kau lihat.”
“Oh, iya! kamu ambil kuliah apa, An?”
“Hukum. Bagaimana dengan kuliahmu?” Annie menolehkan kepala, tatapan matanya bertemu dengan Reno yang juga sedang menatapnya dalam. Entah mengapa gadis itu merasakan sorot kerinduan di balik tatapan Reno.
Kerinduan, ya? Benarkah?
“Berkeinginan menjadi ahli hukum?” tanya Reno.
“Ya. Aku ingin menjadi pengacara. Aku ingin hukum di negara kita semakin baik. Mengutamakan keadilan. Aku kagum pada seorang pengacara. Karena mereka tidak bisa sembarangan menilai kasus. Pengacara harus melihat dengan kacamata hakim, kemudian melihat dengan kacamata klien, lalu melihat dengan kacamata lawan. Baru setelah itu melihat menggunakan kacamatanya sendiri sebagai seorang pengacara,” Annie menjeda ucapannya sejenak. “Dan apa pun keputusan hakim mengenai benar atau salah, seorang pengacara berperan di balik itu semua. Jadi, aku ingin menjadi seorang pengacara yang selalu membela kebenaran,” lanjut Annie
“Bukankah seorang yang salah pun berhak didampingi pengacara, berhak membela diri?”
“Setiap orang selalu merasa dirinya benar dan fungsi adanya pengadilan adalah untuk memecahkan misteri antara yang benar dan yang hanya merasa benar. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing. Jika menurutku benar bukan berarti kau juga sependapat, kan? Masing-masing dari kita tidak berada dalam posisi yang sama,” jawab Annie.
Reno tersenyum senang saat melihat Annie terlihat sangat antusias membahas cita-citanya.
“Kau belum menjawab pertanyaanku?”
“Pertanyaan yang mana?”
“Kuliahmu,” ulang Annie.
“Aku ambil bisnis, karena memang itu yang kuperlukan agar nanti aku bisa menggantikan Daddy meneruskan perusahaan keluarga, An.”
“Wow! Daddy-mu CEO Colins Group, kan?”
Reno mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Annie. Lantas, menatap gadis manis yang kini tersenyum riang karenanya.
“Calon CEO tampan, hati-hati dengan sekretaris sexy-mu, haha…. ”
Reno terkekeh. “Kau lebih berbahaya dari sekretaris paling sexy sekalipun. Jika aku melakukan kesalahan padamu, bisa dipastikan aku akan berakhir di pengadilan.”
Obrolan ringan pun terus mengalir, bahkan beberapa kali Annie tertawa melupakan rasa nyeri yang sempat singgah memenuhi penjuru hati. Tanpa sadar keduanya merekam dengan pasti dalam memori dan berharap kebahagiaan yang saat ini menyentuh jiwa tak akan pernah ada habisnya, untuk hari ini dan seterusnya.
Reno melarikan tangannya mengelus lembut surai sang gadis dan Annie tidak berniat menghindar, menikmati kenyamanan yang ditawarkan oleh pria menawan berkcamata itu.
Bila esok tiba kebahagiaan pasti akan datang untuk mereka yang mau berjuang, kendati pada kenyataannya akhir sebuah cerita adalah kematian. Cinta dan ketulusan tergores bagai lukisan. Walau terkadang cinta membunuh logika, tetapi tetap saja cinta menjadi topik utama. Sebab yang paling berharga tidak bisa dibeli dengan uang, tetapi dengan cinta dilapisi ketulusan.
*SELESAI*.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan