sinetron

Sinetron dan Dunia Pendidikan Kita

Lembaga Kebudayaan Rakyat atau yang akrab dikenal dengan Lekra adalah salah satu paguyuban para seniman yang pernah ada di Indonesia. Orientasi mereka menjadikan seni sebagai sarana perjuangan rakyat. Seni, bagi Lekra, tidak hanya sebagai sebuah ekspresi tentang sesuatu yang bernilai tinggi. Seni, bagi mereka, adalah sebuah perjuangan ideologis. Seni, bagi Lekra, adalah sarana pendidikan rakyat.

Jadi tidak mengherankan, jika para seniman Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer, sering melahirkan karya-karya yang menggambarkan kehidupan rakyat. Tema-tema seperti penindasan perempuan dalam budaya patriakis seperti novel “Gadis Pantai” dan “Midah, Simanis Bergigi Emas” adalah realita yang terjadi di kenyataan rakyat. Contoh lain yang paling fenomenal apalagi kalau bukan Tetralogi Pulau Buru yang tersohor itu.

Seni, bagi Lekra, bukan hanya sekedar seni, apalagi bisnis. Seni, bagi Lekra, adalah sarana komunikasi cerminan realita rakyat. Seni adalah senjata perjuangan sekaligus sarana pendidikan.

Dunia Sinetron Kita

Namun, apa yang terjadi sekarang tentang seni, tentu jauh berbeda dengan apa yang diperjuangkan Lekra. Seni, sekarang ini, tak lebih hanya komoditi bisnis. Sederhananya, seni adalah alat untuk cari uang. Seni tak lagi pusing dengan usaha pendidikan rakyat. Selama seni laku dijual, itulah seni yang “bermutu”. Pasar adalah tolok ukur kualitas seni.

Ini bukan tuduhan murahan. Banyak fenomena yang bisa membuktikan. Salah satunya adalah dunia sinetron kita. Apa yang ditawarkan dunia sinetron kita? Bagaimana sinetron menggambarkan kenyataan rakyat? Apakah sinetron menggambarkan realitas rakyat dengan jelas? Atau, jangan-jangan sinetron malah menampilkan mimpi-mimpi semu rakyat? Bagaimana pula sinetron ini berdampak pada pendidikan?

Jika jujur menilai, sinetron hanya menawarkan gaya hidup yang jauh dari realitas rakyat. Sinetron hanya mengumbar kemewahan dan gaya hidup papan atas. Sinetron kerap kali mengambil latar belakang rumah mewah, mobil bagus, mal, dan berbagai tempat yang menggambarkan kehidupan mapan.

Apalagi jika melihat tema-tema yang diangkatnya. Tema sinetron kita didominasi oleh cerita-cerita roman picisan, tentang perselingkuhan, tentang balas dendam, kekerasan, dsb. Lewat tema itu, sinetron memberi gambaran teladan yang buruk bagi rakyat. Apalagi, untuk anak-anak yang belum cukup dewasa.

Dengan begitu, bisa dikatakan, sinetron pada dasarnya tidak menggambarkan realitas kehidupan rakyat. Realitas rakyat yang miskin jauh dari sinetron. Realitas dunia politik yang penuh dengan drama sarat kepentingan politikus tidak terwakilkan oleh sinetron. Apalagi korupsi yang merajalela, seperti sekarang ini, sama sekali tidak disentuh oleh sinetron. Jika menyentuh saja tidak, bagaimana kita mengharapkan sinetron akan melakukan kritik terhadapnya sebagai bagian dari pendidikan rakyat? Jauh panggang dari api.

Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis, adalah tokoh yang memperkenalkan istilah: simulakra. Simulakra adalah gambaran realitas yang palsu. Istilah ini juga dikenal sebagai hiper-realitas. Hiper-realitas, secara sederhana, digambarkannya sebagai sebuah realitas palsu yang diproduksi seolah-olah sebagai realitas sejati. Artinya, hiper-realitas tak lebih hanya sebagai sebuah realitas semu.

Realitas semu inilah yang ditawarkan oleh dunia sinetron kita. Sebuah realitas yang jauh di awang-awang. Dia tidak mendarat. Hiper-realitas adalah dunia manipulatif. Persis seperti apa yang ditunjukkan sinetron.

Dampak Sinetron bagi Dunia Pendidikan Kita

Apa dampak paling signifikan dari sinetron terhadap dunia pendidikan kita? Lihat saja perilaku anak sekolah zaman sekarang. Masih jelas terekam dalam ingatan saya ketika melihat sepasang anak-anak usia belasan (laki-laki dan perempuan), bermesraan dengan cara yang orang dewasa pun tidak akan lakukan di tempat terbuka. Darimana anak bisa meniru cara berpacaran dengan tidak senonoh seperti itu? Bahkan, untuk anak usia belasan tahun, yang belum menyentuh usia akil balig, keberanian untuk bermesraan di depan umum pun sudah jadi sebuah keheranan.

Fenomena geng motor, misalnya. Geng motor kerap melakukan keributan dan berbagai tindak kekerasan. Tidak jarang, tindakan mereka sudah mengarah pada tindak kriminal. Ironisnya, banyak anggota geng motor adalah anak-anak remaja usia sekolahan.

Lihat juga fenomena perempuan yang dibuat jadi taruhan diajang balapan anak-anak geng motor. Perempuan taruhan ini kita kenal dengan istilah “cabe-cabean”. Cabe-cabean yang sekarang ini sering digunakan sebagai bahan candaan dalam percakapan sesehari, sebenarnya menyimpan ironi. Bukan hanya ironi karena menggunakan manusia sebagai bahan taruhan, tapi juga mengingat usia mereka yang masih sangat muda. Mereka masih anak sekolahan.

Melihat kenyataan ini, Nurani Soyomukti menuding, “intervensi media ikut bertanggung jawab” (Teori-Teori Pendidikan, 2015). Nurani Soyomukti menuding bahwa penyimpangan perilaku moral anak-anak sekolah juga dipengaruhi oleh tayangan media. Salah satunya adalah sinetron. Lebih lanjut Nurani Soyomukti mengatakan, “lembaga pendidikan telah dikotori pemahaman anak-anak didik yang dibawa dari menonton televisi.” Pernyataan ini seolah ingin mengatakan bahwa ada dampak langsung dari tayangan televisi (sinetron) terhadap perilaku anak didik dalam kesehariannya.

Dunia sinetron kita yang identik dengan kekerasan dan adegan-adegan romantis picisan ternyata dijadikan anak-anak sebagai panutan dalam keseharian mereka. Tayangan televisi itu dijadikan sebagai standard moral.

Dengan begitu, televisi (secara umum) dan sinetron (secara khusus) telah mencemari lembaga pendidikan. Apa yang ditayangkan oleh sinetron telah memperlambat (bahkan bertentangan) dengan apa yang menjadi tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang ingin menciptakan manusia yang berakhlak dan bermoral tinggi, telah dikhianati oleh dunia sinetron kita. Sederhananya, dampak dunia sinetron kita adalah buruk bagi pendidikan kita.

Kesimpulan

Kenyataan ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan kita. Semua unsur di dalamnya harus berperan aktif. Pertama, negara harus turun tangan karena ini sudah menyangkut masa depan generasi bangsa. Negara, lewat kementrian pendidikan dan departemen yang berwenang untuk menjaga dunia pertelevisian, harus mengambil kebijakan-kebijakan yang bisa mengurangi dampak buruk sinetron bagi dunia pendidikan.

Kedua, keluarga, sebagai lembaga yang berdiri di garda terdepan dalam dunia pendidikan, harus lebih berhati-hati dalam menyajikan tontonan bagi anak. Orang tua harus mendampingi anak ketika menonton televisi. Televisi, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tidak hanya sebagai sarana informasi. Televisi juga bisa sebagai tolok ukur penilaian moral dan standard etika bagi anak.

Ketiga, lembaga pendidikan (sekolah) juga harus mampu memberi tandingan terhadap apa yang ditawarkan televisi. Sekolah tidak lagi hanya sekedar mendidik anak untuk tahu banyak informasi lewat buku dan hafalan saja. Sekolah juga harus mendidik karakter muridnya agar bermoral mulia.

Artinya, semua unsur dalam dunia pendidikan harus bahu-membahu untuk mengurusi persoalan ini. Jika tidak, banyak bahaya yang sedang menanti bagi generasi masa depan bangsa ini.

, , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan