sisa-sisa-cerita-tembakau

Sisa Cerita Tembakau

Kemarin petang, aku melihat juragan Hermawan tengah duduk berdua dengan sang istri. Aku yang berseragam kuli, tersenyum tulus kepada sosok pemilik tembakau ini. Tentu, senyumku benar-benar tulus. Bukan sekedar penghias muka saat berhadapan dengan atasan, lalu mencaci maki saat di belakang. Sungguh, aku benar-benar tulus tersenyum.

Bukan apa-apa, aku sangat mengagumi juragan. Orangnya ramah dan dermawan. Dulu, Hermawan bukan siapa-siapa. Sama sepertiku. Kuli tembakau di sebuah gudang milik keturunan China.

Hermawan salah satu kuli kepercayaan sang juragan, yang sudah lama ditinggal mati bini dan anak pun tak punya. Akhirnyalah, setelah bertahun-tahun bekerja dan menjadi kaki tangan atasan, ia menerima warisan gudang tembakau beserta isi-isinya saat sang juragan meninggal.

Melejitlah nama Hermawan sebagai juragan anyar asli putra kampung. Cerita Hermawan terus menyambung dari satu mulut ke mulut yang lain. Banyak yang mendukung, tak sedikit yang mencibir. Alasannya sederhana, semua menginginkan posisi Hermawan yang tiba-tiba mendapatkan warisan gudang tembakau yang memiliki ratusan kuli, dan ratusan kwintal tembakau di dalam gudang.

“Abu Raung sudah mematikan ekonomi, apalagi sekarang hujan terus menerus turun,” ujar Satroni saat mengambil tumpukan tembakau.

Aku mengangguk pelan. Mengiyakan ucapannya.

 “Berdo’a saja, semoga tidak ada lagi yang dipecat,” jawabku membesarkan hati Satroni. Meski, hatiku sendiri cetar-cetir adanya isu harga tembakau yang jauh turun merosot.

“Ya, semoga saja. Semoga pula tak ada yang bunuh diri selepas mengunjungi gudang kita,” kali ini, Satroni menatapku tajam.

Aku menghela nafas panjang. Mengingat kejadian musim tembakau kemarin. Saat seorang lelaki membawa satu truk tembakau yang penuh debu. Karman, yang kebetulan bertugas sebagai penafsir harga, tak mau membeli tembakau lelaki tadi. Selain abu yang tebal, warna tembakau pun amat buruk. Terdapat banyak bercak hitam dan hanya sedikit warna kecoklatan.

Setelah mengantri dua hari dua malam, dan tembakau ditolak sebab tak laku dijual, lelaki tadi langsung membakar berkwintal-kwintal tembakau di depan gudang. Semua kuli berhamburan keluar. Berusaha memadamkan api agar tak menjalar ke atap gudang.

Lelaki ini terus mengoceh kalau ia memiliki hutang ratusan juta sebagai modal menanam tembakau. Setiba di rumah, lelaki ini ditemukan bergantung diri di dalam kamar.

Cerita lelaki yang bunuh diri gara-gara tembakau itu, hanyalah segelintir kisah yang ada saat abu Raung bertaburan. Hutang puluhan bahkan ratusan juta, telah menjadi legenda bagi petani tembakau. Bahkan, beberapa lelaki terpaksa meninggalkan kampung dan memilih bekerja di negeri Jiran. Apalagi, kalau bukan bermaksud menutupi hutang tembakau.

***

Siang ini, Hermawan kembali memecat ratusan pekerja. Menyisakan segelintir kuli yang sejatinya khawatir diberhentikan di suatu hari. Hanya satu persoalannya. Harga tembakau kian merosot. Selain hujan yang tak kunjung diam, kenaikan harga rokok di pasaran juga turut andil menjadi musabab bangkrutnya gudang tembakau. Tak dapat dipungkiri, kenaikan harga rokok, hanya manipulasi di kalangan atas saja. Nyatanya, harga jual dan beli di kalangan petani kian lesu. Beruntung, aku dan Satroni tak masuk dalam daftar nama yang harus berhenti dini. Jika hal ini terjadi, aku tak bisa membayangkan keadaan keluarga kecilku di rumah.

Usai pengumuman kuli yang dipecat, semua karyawan dipulangkan lebih awal. Seperti rutinitas sebelumnya, kembali kulihat kemesraan Hermawan dan istrinya di depan rumah. Ah, tampak sangat serasi keduanya. Mungkin, dengan gelimang harta, keduanya tak perlu susah payah memikirkan makan keesokan hari. Ah, sayang, juragan Hermawan belum dikaruniai seorang anak. Andai satu anak saja, sangat terasa lengkap hidupnya.

“Kenapa kau, Dir?” tanya Satroni dengan mata sedikit awas

“Kayaknya, hidupnya Juragan tenang. Gak kekurangan apapun,”

“Eh, liat pak Hermawan apa liat bininya?”

Satroni cekikikan melihat ekspresi mukaku.

“Tak usah marah. Kita tahu kalau istri juragan jadi rebutan,” Satroni kembali tersenyum sambil melihat juragan.

Tanpa disangka, sang juragan membalas senyumanku yang memang selalu melewati depan rumahnya setiap pagi dan petang. Rupanya, sang juragan mengantarkan istrinya sampai gerbang. Sang istri terlihat bepergian jauh. Mungkin, akan melepas lelah sebab harga tembakau semakin menyusut dan terpaksa mengurangi jumlah karyawan.

***

“Dir, kau sudah dengar kabar Juragan?” Satroni yang tampak selalu santai, kini datang dengan raut muka mencemaskan.

“Ada apa dengan Juragan?” tanyaku tak enak

“Kau ingat sewaktu kita pulang kerja sore itu, lalu Juragan mengantarkan istrinya di depan gerbang saat siang?”

Aku mengangguk. Menunggu cerita meluncur dari bibir Satroni.

“Istrinya selingkuh, Dir. Sama sahabatnya di kota sebelah. Sialnya, ia membawa semua uang dan perhiasan.”

Aku diam. Tak merespon cerita Satroni. Mataku terpaku melihat kedua anakku yang berjalan di depan teras rumah. Baru selesai pulang ngaji.

***

Keesokannya, kabar perselingkuhan istri juragan mencuat hebat. Kampung sebelah pun turut mendengar cerita pengkhianatan ini. Meski tak ada pengumuman berhenti, aku tetap pergi ke gudang. Berharap, permasalahan ini tak berimbas kepada pekerjaan.

Rumah Hermawan yang bersebelahan dengan gudang tampak sepi. Tak ada kemesraan yang biasa kulihat setiap pagi. Pun tak ada senyuman tulus yang bisa kusunggingkan. Mataku nanar melihat sunyinya rumah juragan. Dan, mataku jauh lebih nanar saat aku berada tepat di depan gerbang gudang. Tampak sebuah papan berukuran besar terpampang tulisan:

DIJUAL: Gudang Tembakau Beserta Isi-isinya

sumber photo: pixabay.com

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan